Menteri Agama & Anjing Menggonggong

Oleh: Dhimam Abror Djuraid

Jumat, 25 Februari 2022 – 15:29 WIB
Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Foto: Ricardo/JPNN.com

jpnn.com - Anjir atau anjay adalah bahasa gaul untuk menyebut anjing. Anak-anak gaul milenial sering mamakai istilah itu sehari-hari.

Konotasinya tidak selalu negatif, sebaliknya istilah itu sering dipakai untuk menunjukkan ekspresi kekaguman atau kegembiraan.

BACA JUGA: Fauzi Bahar kepada Menag Yaqut: Jangan Coba-Coba Injak Tanah Minangkabau

Menyebut kata anjing dalam percakapan sehari-hari dianggap kasar. Karena itu anak-anak gaul mencari padanannya yang lebih halus, dan ditemukanlah kata anjir dan anjay.

Kosakata ini sempat menjadi perdebatan publik ketika menjadi viral pada akhir 2020. Ketika itu muncul kekhawatiran terhadap dampak negatif dari penggunaan istilah itu. Banyak kalangan yang meminta supaya istilah itu tidak dipakai dalam pergaulan. Dalam praktiknya anjir atau anjay tetap dipakai sebagai bahasa gaul sampai sekarang.

BACA JUGA: Pernyataan Kapitra PDIP Sangat Keras: Menteri Agama yang Enggak Cerdas Harus Diganti

Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas memakai anjing untuk perumpamaan suara yang mengganggu.

Ketika menjelaskan mengenai aturan baru yang dikeluarkannya untuk mengatur penggunaan pengeras suara di masjid dan musala, Yaqut mengumpamakan suara berisik dari sekitar sebagai suara berisik beberapa ekor anjing yang menggonggong bersamaan.

BACA JUGA: Reza Indragiri Menganalisis Ucapan Menag Yaqut dan Edy Mulyadi, Ini Kesimpulannya

Maunya Yaqut hanya sekadar membuat tamsil atau perbandingan. Namun, pemakaian gonggongan anjing untuk perbandingan dengan suara azan menyinggung banyak orang. Ditambah dengan suasana yang masih panas akibat kontroversi pengaturan pengeras suara di masjid, jadilah pernyataan Yaqut itu seperti bensin yang disiram ke api.

Perbandingan yang dibuat Yaqut itu memang sensitif. Jangankan diperbandingkan dengan gonggongan anjing, diperbandingkan dengan suara kidung pun sebagian umat Islam marah. itulah yang terjadi kepada Sukmawati Soekarnoputri yang suatu ketika membaca puisi dan memperbandingkan suara azan dengan kidung.

Di telinga Sukmawati kidung terdengar lebih merdu ketimbang alunan azan. Di mata Sukmawati konde lebih cantik dan anggun ketimbang hijab. Sukmawati mengaku tidak tahu syariat Islam, tetapi itu tidak bisa menghindarkannya dari serangan orang-orang yang menganggapnya melecehkan Islam. Sukmawati dipolisikan, dan Sukmawati meminta maaf.

Yaqut tidak bisa seperti Sukmawati yang mengaku tidak mengerti syariat Islam. Yaqut tentu mengerti syariat Islam.

Karena itu level kemarahan sebagian orang menjadi lebih tinggi ketimbang terhadap Sukmawati. Yaqut dipolisikan juga. Bahkan di Sumatera Barat muncul pernyataan yang menegaskan Yaqut haram datang ke wilayah itu.

Serangkaian demo protes akan digelar, dan sejumlah organisasi mendesak aturan itu dicabut. Kali ini gelombangnya akan makin membesar dan akan menguji ketangguhan Yaqut menghadapi penentang-penentangnya.

Kursi menteri agama menjadi salah satu kursi yang paling panas di kabinet Jokowi. Bahkan seorang jenderal sekelas Fachrul Razi pun tidak bisa bertahan lama di kursi itu. Hanya setahun menjadi menteri agama Fachrul terkena reshuffle.

Munculnya Yaqut sebagai pengganti Fachrul sempat mengagetkan banyak orang. Malah ada yang mengira salah nama antara Yaqut Cholil Qoumas dengan kakaknya, Yahya Cholil Staquf. Banyak yang menyebut Yahya lebih pantas menjadi menteri agama ketimbang Yaqut.

Belakangan, duet kakak beradik itu menduduki posisi yang sangat penting setelah Yaqut menjadi menteri agama dan Yahya menjadi ketua PBNU.

Keduanya ialah putra K.H Cholil Bisri, seorang ulama cum politisi dari Rembang Jawa Tengah yang bersaudara dengan KH Mustofa Bisri atau Gus Mus. Kiai Cholil lebih banyak menempuh perjuangan di jalur politik dengan menjadi anggota dewan dan ikut mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa.

Sementara itu, Gus Mus lebih banyak bergerak di jalur kultural dan intelektual dan dihormati sebagai ulama cum budayawan yang berwibawa.

‘’Geng Rembang’’ ini melahirkan tokoh-tokoh muda yang pada eranya memunculkan wacana yang menggegerkan. Menantu Gus Mus, Ulil Abshar Abdalla pada 2002 menimbulkan kegemparan nasional setelah memunculkan gagasan perlunya penyegaran ajaran Islam dengan mendirikan Jaringan Islam Liberal.

Artikel Ulil ‘’Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam’’ muncul di Harian Kompas dan menjadi ledakan bom yang menggegerkan jagat pemikiran Islam Indonesia.

Ulil menyampaikan pokok-pokok gagasannya untuk menyegarkan Islam yang disebutnya dilanda kejumudan atau kebekuan gagasan.

Dalam pandangan Ulil, sekumpulan hukum Islam yang selama ini diyakini sebagai hukum yang baku harus disegarkan kembali, karena tidak sesuai dengan kondisi dan tuntutan modernitas.

Sejumlah hukum Islam seperti potong tangan, pemakaian hijab, jenggot, dan beberapa hal lainnya adalah kompilasi adat pada abad ke-7 yang didasari oleh adat Arab, dan karena itu tidak bisa dijadikan sebagai hukum Islam yang universal.

Dalam pandangan Ulil hukum Islam itu bersifat lokal dan partikular serta situasional di wilayah Arab pada masa itu. Karena itu dibutuhkan reinterpretasi ulang terhadap hukum itu dari sumber Alquran untuk bisa menjawab semua kebutuhan manusia modern.

Ulil dan sekelompok temannya kemudian mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) yang membuat marah banyak tokoh Islam karena gagasan liberalismenya dianggap menyimpang dari ajaran Islam.

Artikel Ulil itu mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Banyak yang marah dan menuduh Ulil sudah melenceng dari ajaran Islam.

Bahkan muncul fatwa hukuman mati terhadap Ulil dari Forum Ulama Umat Islam (FUUI) yang diketuai tokoh NU KH, Athian Ali. Ulil juga dicekal masuk ke Malaysia dan beberapa kelompok organisasi Islam memboikotnya.

Sehari setelah artikel Ulil itu muncul, Gus Mus menulis artikel tanggapan di Kompas untuk sang menantu. Dalam artikel itu Gus Mus secara halus menyentil telinga Ulil. Menurut sang mertua, gagasan sang menantu mungkin mengandung kebenaran, tetapi cara yang dipergunakannya keliru.

Gus Mus menyebut Ulil menuliskan gagasannya dengan nada geram dan marah, seolah-olah di hadapannya ada orang-orang berjenggot yang menjadi musuhnya. Menulis dengan nada geram dan marah akan menghilangkan kejernihan pikiran. Begitu kata Gus Mus.

Selanjutnya Gus Mus mengkritik timing dan positioning Ulil dalam menulis gagasan itu. Artikel itu ditayangkan pada Ramadan ketika semangat keagamaan umat Islam sedang berada pada puncaknya.

Gus Mus menyindir menantunya dengan mengutip ‘’mahfudzat’’ atau peribahasa Arab, ‘’Kaifa yastaqimu al-dhillu wal ‘udu aw’aj’’, yang kurang lebih artinya, ‘’Bagaimana bayangan bisa lurus kalau tongkatnya bengkok’’. Gus Mus menyindir bahwa seharusnya Ulil meluruskan tongkatnya sebelum memperbaiki bayangannya. Yang dimaksud Gus Mus adalah Ulil harus memperbaiki kualitas pribadinya supaya bisa memunculkan bayangan yang lurus.

Ulil menjadi aktivis Islam liberal yang paling vokal selama beberapa tahun. Namun, kemudian Ulil pelan-pelan mulai ‘’memperbaiki tongkatnya’’ dan mulai lebih sejuk dalam menyampaikan gagasan-gagasan pembaruannya.

Sekarang, Ulil lebih dikenal sebagai sufi yang dengan tekun mengajarkan kitab ‘’Ihya’ Ulumuddin’’ karya Imam Al-Ghazali.

Hal itu menjadi simbolisme perjalanan intelektual Ulil. Setelah menempuh jalan yang penuh badai Ulil akhirnya memilih jalan tasawuf yang lebih tenang dana adem. Jalan yang sama ditempuh oleh Imam Al-Ghazali.

Yaqut dan Ulil lahir dari satu petarangan tradisi yang sama, meski jalur yang ditapaki berbeda. Ulil menempuh jalur intelektual, Yaqut menempuh jalur politik praktis. Ulil tidak pernah sepi dari kontroversi pada eranya.

Namun, Ulil menjadi lebih adem setelah lebih dewasa. Yaqut pun kelihatannya demikian. Karier politiknya tidak pernah sepi dan kontroversi, dan dia terlihat tidak takut menghadapinya.

Seperti halnya Ulil, ada masanya nanti ketika Yaqut akan menjadi lebih matang dan adem, dan tidak akan banyak menggongong dan menyalak lagi. (*)


Redaktur : Adek
Reporter : Cak Abror

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler