jpnn.com, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya berharap ada persamaan pandangan dan pendapat soal hutan dan deforestasi dari kalangan masyarakat lokal, pusat dan dunia internasional.
Pasalnya, kata Menteri Siti, belakangan ini istilah deforestasi cenderung dinilai negatif oleh sejumlah kalangan.
BACA JUGA: Inpres Moratorium Izin Kebun Sawit Sebentar Lagi Diterbitkan
Padahal, yang dilakukan selama ini lebih banyak untuk membantu kemajuan daerah, terutama yang masih belum tersentuh akses untuk perekonomian.
Hal ini disampaikannya saat membuka Workshop Hutan dan Deforestasi. Seri I Workshop Panel Internasional Metode pengukuhan, penghitungan, dan pelaporan deforestasi dan degradasi hutan di Manggala Wana Bakti, Jakarta, Senin (29/1).
BACA JUGA: Negara Hadir Untuk Lindungi Hutan Adat
"Deforestasi di Indonesia kadang-kadang mengandung arti yang negatif. Deforestasi tu, seolah-olah kita itu kayak primitif banget, bolak balik dibilang deforestasi. Sekarang gini, misalnya ada daerah 58 persen hutan, sebagian warganya tinggalnya di balik hutan itu, 60 desa tidak bisa diakses padahal sudah ada jalan yang bisa kita perbaiki. Masa itu disebut deforestasi?" ujar Menteri Siti.
Menteri suka bergaya sporty ini mengatakan istilah deforestasi tidak cocok dipakai di Indonesia.
BACA JUGA: Menteri Siti Ikut Terharu Saat Tol Bakauheni Diresmikan
Pasalnya, saat ini Indonesia sedang menuju perkembangan kemajuan sehingga membutuhkan langkah-langkah tertentu.
Karena itu, dia tidak sependapat dengan tekanan dunia internasional yang menyebut Indonesia sering melakukan deforestasi.
"Terminologi deforestation yang oleh internasional selalu diangkat, itu menurut saya tidak cocok untuk suatu wilayah administratif, apalg untuk Indonesia. Karena kita sedang berkembang. Bayangkan kalau tiang transmisi listrik harus lewat kawasan hutan, masa gak boleh. Padahal warga di pendalaman butuh. Masa kita sebut itu deforestasi. Maka itu saya bilang kita punya banyak arti dalam deforestasi," tegas Siti.
"Misalnya ketika suatu negara atau suatu wilayah provinsi, kabupaten, memerlukan kawasan hutan untuk keperluan fasilitas publik atau utilitas. Oleh karena itu term Zero Deforestation, mungkin dipakai untuk kegiatan suatu entitas, tetapi tidak dapat dimaksudkan untuk pembangunan suatu wilayah administratif," lanjutnya.
Menurut Siti, yang terpenting saat ini adalah pengawasan untuk pemanfaatan hutan tersebut di Indonesia.
Dia memastikan saat ini angka deforestasi netto di Indonesia juga terus berkurang.
Pada periode 2014-2015 sebesar 1,09 juta hektar. Kemudian 2015-2016 menjadi 0,63 juta hektar menurut data Ditjen Planologi.
Lalu pada periode 2016-2017 semakin berkurang menjadi, 0,479 juta hektar. Sementara itu, luas hutan (forest cover) pada 2017 meliputi 93,6 juta ha
"Bisa mencapai penurunan angka itu bukan given ya. Itu ada usaha kebijakan yang berlapis-lapis yang kami lakukan. Seperti pengendalian alih fungsi lahan, moratorium pengeluaran izin pada hutan alam primer dan lahan gambut kami kencengin. Angka deforestasi tahun ini lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan hasil dari upaya dan kerja keras kita, untuk terus menurunkan angka deforestasi tahunan," imbuhnya.
Siti menjelaskan, keinginan pengurangan deforestasi itu juga dilakukan dengan Penetapan Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan dan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Areal Penggunaan Lain (PIPPIB) yang direvisi setiap 6 bulan sekali.
"Dengan adanya kebijakan PIPPIB ini diharapkan bisa menurunkan angka deforestasi sesuai dengan target NDC yang sudah kami sampaikan ke UNFCCC. Kita lihat nanti hasil workshop ini agar apa yang diharapkan tentang kesamaan pandangan deforestasi bisa diwujudkan," pungkas Siti. (flo/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Menteri LHK Dikukuhkan jadi Insinyur Profesional Utama
Redaktur & Reporter : Natalia