jpnn.com, JAKARTA - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya dalam keterangan bersama menteri-menteri terkait, Rabu (7/10) menegaskan, tidak benar bahwa Undang-Undang Cipta Kerja (UU CK) atau UU Omnibus Law yang baru disahkan DPR, ada kemunduran terkait analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau AMDAL dalam melindungi lingkungan.
Selain itu, Siti Nurbaya menegaskan UU ini juga mengatur bahwa untuk AMDAL yang harus dikenakan kepada UMKM maka pemerintah akan memberikan fasilitasi seperti teknis dan pembiayaan dan lain-lain. Demikian bunyi UU-nya di Pasal 32 seperti itu. Secara teknis nanti akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
BACA JUGA: KLHK Tetapkan Izin Baru Hutan Alam Primer Seluas 66,27 Hektare
Menurut Menteri LHK, prinsip dan konsep dasar pengaturan AMDAL dalam UU-CK tidak berubah dari konsep pengaturan dalam ketentuan sebelumnya; perubahan lebih diarahkan untuk penyempurnaan kebijakan dan aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan UU-CK yang memberikan kemudahan kepada pelaku usaha dalam memperoleh persetujuan lingkungan dengan tetap memenuhi ketentuan yang ditetapkan.
“UU CK mengintegrasikan kembali Izin Lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha dalam rangka untuk meringkas system perizinan dan memperkuat penegakan hukum, tanpa mengurangi tujuan dan fungsinya,“ tegas Menteri Siti.
BACA JUGA: Izin Amdal dalam RUU Cipta Kerja Dikabarkan Dihapus, Menko Airlangga Bilang Begini
Lebih jauh, Menteri Siti Nurbaya menjelaskan soal AMDAL dalam konteks UU CK yang baru ini. Pertama, memperpendek birokrasi perizinan. Dengan kembali diintegrasikannya Izin Lingkungan ke dalam Perizinan Berusaha, maka yang semula pada UU 32 Tahun 2009 terdapat 4 tahapan yaitu proses dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL UPL), persetujuan lingkungan, Izin Lingkungan dan IzinUsaha; menjadi hanya 3 tahap yaitu: proses dokumen lingkungan (AMDAL atau UKL UPL), persetujuan lingkungan, dan Perizinan Berusaha.
Kedua, lanjut Menteri Siti, untuk memperkuat penegakan hukum. Dalam konstruksi Izin Lingkungan terpisah dari Perizinan Berusaha, apabila ada pelangaran, kemudian dikenakan sanksi administrative berupa pembekuan atau pencabutan izin, maka yang dikenakan adalah Izin Lingkungan.
BACA JUGA: HNW Ungkap Banyak Keanehan RUU Cipta Kerja, Ada Kata Dipaksa
Selama Izin Usaha tidak dicabut, maka kegiatan dapat tetap berjalan. Dengan diintegrasikan kembali ke dalam Perizinan Berusaha, kata Menteri LHK, maka apabila ada pelanggaran, maka yang akan terkena konsekuensi adalah Izin utamanya yaitu Perizinan Berusaha.
Kondisi ini menyebabkan pelaku usaha tidak perlu mengurus banyak perizinan yang kita tahu bahwa sangat kompleks dan menyulitkan untuk masyarakat untuk berusaha bahkan dalam usaha yang sederhana.
Hal ini merupakan salah satu semangat yang didorong dalam omnibus law untuk menyederhanakan regulasi perizinan menjadi lebih sederhana.
Gugatan Tetap Dibenarkan
Masih terkait AMDAL ini dan pandangan masyarakat yang masih belum paham, Menteri Siti Nurbaya menjelaskan terdapat pandangan bahwa kekhawatiran bahwa masyarakat tidak dapat melakukan gugatan terkait lingkungan.
Hal ini tidak benar sebab gugatan dapat dilakukan terhadap Perizinan Berusaha-nya (sebagai Keputusan Tata Usaha Negara/TUN), dimana Persetujuan Lingkungan menjadi dasar penerbitan Perizinan Berusaha.
Siti Nurbaya menjelaskan, hak setiap orang untuk melakukan gugatan Keputusan TUN diatur dalam Pasal 53 UU Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dalam UUCK, Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
1) persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
2) penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup; atau
3) kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.
Berkaitan dengan “Risk Based Approach”
Menteri LHK Siti Nurbaya juga menjelaskan konsep perizinan berusaha dalam UU-CK berbasis kepada berbasis pada model Risk Based Approach (RBA) yang pada dasarnya sudah sejalan dengan dokumen lingkungan (AMDAL, UKL-UPL dan SPPL).
Konsep RBA yang dirumuskan dalam UU-CK hanya diperuntukkan bagi pelaku usaha, di sisi lain pengelolaan dampak lingkungan juga diwajibkan bagi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah yang pengaturannya diusulkan dalam bentuk persetujuan pemerintah pusat.
“Dalam UU-CK perizinan berusaha akan memuat persyaratan lingkungan yang dihasilkan dari proses dokumen lingkungan. Persyaratan dan kewajiban lingkungan dapat dilakukan enforce dalam penegakannya,” ujar Menteri LHK.
Sedangkan fungsi persetujuan lingkungan lanjut Siti Nuraya, sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (Izin Usaha/ Perizinan Berusaha) dan Komitmen pengelolaan lingkungan pelaku usaha dapat diawasi dan ditegakkan hukum (termuat dalam Perizinan Berusaha).
Dalam hal ini prosesnya dilakukan melalui sistem OSS sehingga dapat dipastikan bahwa ketentuan “sebagai prasyarat dan termuat” dalam perizinan berusaha akan dapat dilaksanakan.
Dari data penilaian AMDAL oleh KPA yang berasal dari data tahun 2015 hingga 2019, jumlah rencana kegiatan yang membutuhkan layanan penilaian kelayakan lingkungan (AMDAL) pertahun secara nasional sebanyak 1000 sd. 1500 kegiatan/tahun.
Dari data ini kemudian terjadi overload beban penilaian AMDAL pada 17 tempat (Pusat, Provinsi, Kabupaten/kota) dan terdapat beberapa tempat dengan beban penilaian AMDAL yang rendah. Untuk itu maka diperlukan Komisi Penilai AMDAL yang sesuai dengan beban kerja.
Adapun dasar pemikiran penggantian sistem Komisi Penilai Amdal dengan Sistem Uji Kelayakan adalah berdasarkan evaluasi dan praktik saat ini banyak daerah yang mengartikan lain pedoman NSPK yang telah dibuat dan banyak daerah yang kemudian berinisiatif dan berinovasi membuat aturan sendiri sehingga pelaksanaan di daerah menjadi berbeda-beda dengan penerapan sistem uji kelayakan oleh lembaga uji kelayakan maka akan tercipta standarisasi sistem.
Konsep pada RUU CK, Uji Kelayakan dilakukan oleh lembaga uji kelayakan yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat. Dalam melaksanakan tugasnya lembaga uji kelayakan membentuk tim uji kelayakan untuk membantu gubernur, bupati/walikota melaksanakan kewenangan menerbitkan Persetujian Lingkungan. Dengan mekanisme ini dapat dipastikan Uji Kelayakan dilaksanakan sesuai NSPK dan terstandarisasi.
Jumlah tim uji kelayakan yang membantu Gubernur, Bupati/Walikota disesuaikan dengan beban penilaian AMDAL di masing-masing daerah, sehingga keterlambatan penilaian AMDAL akibat tumpukan beban dapat dihindari.
Keterlibatan Masyarakat
Terkait dengan keterlibatan masyarakat, Mnteri Siti Nurbaya menjelaskan, konsep keterlibatan masyarakat dalam UU-CK adalah Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan.
Fokusing pelibatan masyarakat pada masyarakat terkena dampak langsung adalah untuk memberikan perhatian lebih terhadap kepentingan masyarakat yang terkena dampak langsung dari rencana usaha dan/atau kegiatan.
Dari hasil evaluasi selama ini, kata Siti Nurbaya, kepentingan masyararakat terkena dampak langsung seringkali terdilusi oleh kepentingan lain di luar kepentingan masyarakat terkena dampak langsung, namun tetap membuka ruang bagi pemerhati lingkungan dan LSM Pembina masyarakat terkena dampak.
Dalam pengaturan integrasi izin PPLH, norma yang diatur dalam RUU-CK sudah sejalan dengan pengaturan Pasal 123 UU Nomor 32 Tahun 2009.
Integrasi kajian terkait dengan penyimpanan, pengumpulan, pemanfaatan, pengolahan dan penimbunan B3, LB3, pembuangan air limbah ke laut, pembuangan air limbah ke sumber air, pemanfaatan air limbah untuk aplikasi ke tanah integrasi kajiannya dalam dokumen AMDAL atau UKL-UPL.
Pengaturan tentang mekanisme keterlibatan masyarakat, kriteria usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting, sertifikasi kompetensi penyusun dan penilai AMDAL, pelaksanaan uji kelayakan, jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib UKL-UPL akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.
Pengaturan tentang pengawasan: Pemerintah pusat atau Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya berdasarkan NSPK yang ditetapkan wajib melakukan pengawasan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan terhadap perizinan berusaha atau persetujuan Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah.(jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi