jpnn.com - JAKARTA - Kurangnya kesiapsiagaan masyarakat pesisir menjadi salah satu penyebab banyaknya korban jiwa. Hal itu diungkapkan Menteri Kelautan dan Perikanan (Men KP) Susi Pudjiastuti dalam mengenang gempa dan tsunami di Aceh 2004 silam.
Pasalnya, bencana itu menelan sedikitnya 150.000 orang dan kerugian ekonomi mencapai Rp 48 triliun. Khusus untuk bidang perikanan, tercatat 12.300 kapal nelayan hancur di sepanjang pantai Nangroe Aceh Darusalam (NAD).
BACA JUGA: 10 Kapal Pencuri Ikan Bakal Dirudal
Susi mengatakan, perlu upaya meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat pesisir dalam menghadapi bencana tsunami.
"Besarnya jumlah korban jiwa tsunami di Aceh juga diakibatkan ketiadaan sistem peringatan dini tsunami dan tidak adanya sarana dan prasarana evakuasi di kawasan rawan bencana," ujarnya saat membuka International Seminar on The 10 Years Commemoration of The 2004 Indian Ocean Tsunami di Jakarta, Senin (24/11).
BACA JUGA: Setop Penetapan Anggaran Berdasarkan Negosiasi
10 tahun setelah kejadian bencana dahsyat itu, kini telah banyak dilakukan upaya mitigasi dan pembangunan sarana serta prasarana evakuasi dan mitigasi tsunami. Namun keseluruhan upaya tersebut ternyata belum cukup.
”Pengalaman dari kejadian tsunami dalam 10 tahun terakhir menunjukkan bahwa tingkat kesiapsiagaan masyarakat belum berkorelasi linear dengan peningkatan sarana dan prasarana mitigasi dan evakuasi tsunami," ungkap wanita yang turut berperan mengevakuasi korban 10 tahun lalu lewat maskapainya, Susi Air.
BACA JUGA: Menkes: Minum Jamu Harus Mulai Dibudayakan
Permasalahan kapasitas sumberdaya manusia (SDM) yang terkait dengan kebencanaan baik di level nasional ataupun di daerah juga menjadi faktor yang membuat akselerasi peningkatan kesiapsiagaan menjadi terhambat.
Dia menjabarkan, kejadian tsunami di Pangandaran 2006 dan Mentawai 2010 misalnya, memakan korban jiwa sekitar 600 orang. Demikian pula pada saat tsunami Jepang menghantam pesisir utara Papua. "Satu orang tewas di Jayapura akibat kurangnya kesiapsiagaan meskipun sarana dan prasarana evakuasi telah tersedia," kata Susi.
Pengusaha Lopster asal Pangandaran itu menambahkan, sudah seharusnya Indonesia bisa belajar dari pengalaman tersebut. Satu hal yang perlu dimaknai dengan cermat adalah kesiapsiagaan merupakan fungsi dari kondisi psikologis dan pengetahuan yang dapat berubah seiring waktu.
”Di Jepang, untuk mempertahankan tingkat kesiapsiagaan yang baik, pemerintah melaksanakan kegiatan kuliah umum untuk masyarakat, pelatihan evakuasi tingkat komunitas atau desa, meningkatkan kapasitas aparatur pemerintah yang terkait dengan urusan kebencanaan. Ini baik di tingkat nasional maupun daerah dengan jalan pelatihan berkelanjutan dan menjembatani interaksi antara peneliti dengan masyarakat dan aparatur pemerintah melalui kegiatan seminar," urainya.
Sementara KKP, dalam meningkatkan kesiapsiagaan, pihaknya menyelenggarakan seminar internasional dengan tajuk ‘Towards a Resilent Maritime Nation to Natural Disasters for Ensuring Sustainable Marine Investment and Development’.
Kegiatan seminar untuk memperingati 10 tahun tsunami Aceh tersebut dilaksanakan KKP bekerja sama dengan International Research Institute of Disaster Science (IRIDeS)-Tohoku University, Jepang dan beberapa institusi dalam dan luar negeri. Seminar tersebut berlangsung pada 24-25 November.
Langkah tersebut memiliki makna penting dalam menunjang upaya mitigasi tsunami, khususnya di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil tanah air.
Seminar ini akan memberikan ruang diskusi dan sharing ilmu serta teknologi antara pakar dalam dan luar negeri dengan masyarakat umum/penggiat mitigasi bencana serta berperan dalam peningkatan kapasitas aparatur pemerintah di bidang terkait kebencanaan. (nel)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jokowi: Apa Pernah Kenaikan BBM Diinterpelasi?
Redaktur : Tim Redaksi