jpnn.com, JAKARTA - Redenominasi merupakan penyederhanaan nilai mata uang dengan menghilangkan beberapa nol di belakang angka.
Redenominasi memiliki sejarah panjang. Pada abad ke-19 di Eropa, ketika negara kekurangan pasokan emas atau perak, pemerintah sering kali menyesuaikan nilai mata uang mereka. Itu merupakan bagian dari konsep redenominasi.
BACA JUGA: Redenominasi, Harga Barang Rp 10.000 Menjadi Rp 10
Namun, redenominasi dalam bentuk pengurangan atau penyederhanaan angka nol mulai banyak dilakukan berbagai negara pada 1923. Kala itu Jerman memangkas 12 digit angka 0 pada mata uangnya.
Itu merupakan rekor redenominasi terbesar sepanjang sejarah. Sejak saat itu, tercatat ada 50 negara yang melakukan redenominasi.
BACA JUGA: Beginilah Skenario BI Menyederhanakan Rupiah
Di antara sekian banyak negara tersebut, ada yang sukses, ada pula yang gagal. Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan, ada beberapa prasyarat agar redenominasi sukses. ’’Saat ini indikator ekonomi Indonesia cukup bagus,” ujarnya kemarin (25/7).
Beberapa indikator itu adalah tingkat inflasi yang rendah di level 3,3 persen. Lalu, pertumbuhan ekonomi yang sudah masuk tren rebound di angka 5,01 persen serta cadangan devisa yang besar senilai USD 123,09 miliar pada Juni 2017.
BACA JUGA: Matangkan Redenominasi, Gubernur BI Menghadap Presiden Jokowi
Selain itu, lanjut dia, pemerintah terlihat lebih serius menangani masalah struktural ekonomi. Misalnya, memperbaiki basis data perpajakan dan pola pemberian subsidi.
Jika pemerintah memang serius, perbaikan-perbaikan kondisi ekonomi harus diimbangi dengan sosialisasi yang baik kepada masyarakat. ’’Itu kuncinya,” katanya.
Menurut dia, periode krusial dalam redenominasi adalah masa transisi. Bank Indonesia (BI) sudah menyebut akan ada proses persiapan, peralihan, dan penggunaan penuh uang baru hasil redenominasi.
’’Ini harus disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat dan pelaku usaha. Selain itu, harus ada dukungan politik dari DPR,” ucapnya.
Dalam sejarahnya, pelaksanaan redenominasi memang tidak selalu mulus. Beberapa negara memang tercatat sukses, tapi ada pula yang gagal total.
Turki termasuk salah satu negara yang mencatat kisah sukses. Keberhasilan tersebut dijadikan acuan oleh negara-negara lain yang ingin menerapkan kebijakan serupa.
Berawal dari rendahnya nilai tukar mata uang lira terhadap dolar AS, pemerintah Turki mulai mencanangkan program redenominasi pada 1998.
Setelah melakukan persiapan berupa konsultasi publik maupun sosialisasi selama tujuh tahun, pemerintah Turki melaksanakan redenominasi pada 1 Januari 2005. Ketika itu, Turki menghilangkan enam angka 0 sehingga 1.000.000 lira sama dengan 1 new lira.
Sebagai gambaran, pada 2004 sebelum redenominasi, nilai tukar lira terhadap dolar AS sekitar 1,32 juta. Setelah redenominasi, nilainya menjadi 1,32 new lira per USD. Bagaimana redenominasi Turki sukses?
Pertama, Turki melaksanakan redenominasi pada awal tahun (1 Januari) sehingga seluruh pembukuan anggaran negara maupun perusahaan bisa langsung dicatat dengan menggunakan mata uang baru.
Kedua, Turki melakukannya secara bertahap. Pada tahap awal, Turki menerbitkan pecahan mata uang baru dengan kode YTL atau Yeni Turkey Lira. Yeni merupakan bahasa Turki yang berarti ’’baru’’.
Dengan begitu, pecahan terbesar mata uang lama yang mencapai 20.000.000 TL diganti menjadi 20 YTL. Setelah redenominasi, Turki memiliki mata uang kertas baru, yakni 1 YTL (menggantikan 1.000.000 TL), 5 YTL, 10 YTL, 20 YTL, 50 YTL, hingga 100 YTL.
Agar masyarakat tidak bingung, Turki menerbitkan mata uang baru yang tampilan, warna, atau desainnya serupa dengan mata uang lama.
Ketika awal redenominasi, dua mata uang beredar di Turki. Yakni, mata uang lama (TL) dan mata uang baru (YTL).
Pada saat itu, masyarakat sudah diimbau untuk mulai menukarkan mata uang lama di bank. Setahun kemudian, mata uang lama (TL) ditarik dari peredaran sehingga pada tahun ke-3, tinggal uang baru (YTL) yang beredar di pasaran.
Total, Turki membutuhkan waktu 10 tahun, terhitung mulai proses konsultasi dan sosialisasi pada 1998 hingga tuntas pada 2008.
Beberapa literatur menyebutkan, kunci sukses redenominasi Turki adalah pengawasan ketat pemerintah dalam melakukan stabilisasi harga sehingga ancaman lonjakan inflasi bisa diredam.
Selain Turki, ada kisah Rusia yang gagal total dalam melaksanakan redenominasi. Kegagalan Rusia itu harus menjadi pelajaran berharga.
Pada 1998 negara pecahan Uni Soviet tersebut melakukan redenominasi dengan memangkas tiga angka 0 sehingga 1.000 rubel sama dengan 1 new rubel.
Rusia menjalankan redenominasi dalam empat tahun. Salah satu penyebab kegagalan Rusia adalah ketidakmampuan pemerintah maupun bank sentralnya untuk meyakinkan masyarakat bahwa redenominasi tidak akan mendorong inflasi.
Sebab, rumor di masyarakat sudah telanjur menyebar. Banyak yang menganggap redenominasi merupakan cara pemerintah membodohi rakyat.
Bahkan, rumor lain menyebutkan, redenominasi merupakan cara pemerintah merampok uang rakyat karena uang 1.000 rubel hanya diganti 1 new rubel. Lemahnya mekanisme kontrol atau pengawasan harga juga menjadi pelengkap kegagalan di Rusia. Akibatnya, harga barang melesat dan inflasi pun melonjak.
Sebelum redenominasi, inflasi di Rusia sudah cukup tinggi di kisaran 14,6 persen. Pada periode transisi redenominasi, inflasi naik hampir lipat dua menjadi 27,6 persen. Lalu, setelah redenominasi berlaku penuh, inflasi makin tidak terkendali hingga mencapai 85,7 persen.
Sementara itu, kalangan perbankan mendukung penuh jika pemerintah ingin mewujudkan rencana redenominasi.
’’India kan sudah (melakukan redenominasi, Red) dan perubahannya cukup signifikan,’’ ujar Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmojo.
Dia menilai proses redenominasi tidak boleh dilakukan terburu-buru. Sebab, masyarakat perlu menerima sosialisasi yang baik dan harus benar-benar paham tentang redenominasi. Selain itu, perbankan harus beradaptasi karena redenominasi juga akan mengubah proses transaksi. (rin/c7/oki)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pemerintah Serahkan RUU Redenominasi ke DPR, Ini Rencana Misbakhun
Redaktur & Reporter : Soetomo