Menurut Pengamat, Kejayaan Taksi Online Hanya Sesaat

Senin, 05 Februari 2018 – 07:54 WIB
Ratusan pengunjuk rasa driver taksi online berunjuk rasa di depan Kementerian Perhubungan, Jakarta, Senin (29/1). Foto: Ken Girsang/JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Pengurus Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mengatakan, masalah taksi online di Indonesia berkepanjangan dan tidak selesai tuntas dikarenakan beberapa hal.

Misalnya saja soal ketidakkompakan kementerian dalam mengatur regulasi angkutan sewa khusus yang didalamnya terdapat aturan untuk taksi online.

BACA JUGA: Menhub: PM 108 Tahun 2017 Memang ada Masalah

"Masing-masing instansi kementerian berjalan sendiri-sendiri," saat dihubungi Jawa Pos, Minggu (4/2).

Menurutnya iming-iming pendapatan besar, telah mengalihkan sebagian orang untuk beralih memilih profesi menjadi driver taksi online.

BACA JUGA: Organda Desak Permenhub 108 Tetap Berlaku Februari

Demikian pula publik yang selama ini menikmati transportasi umum dengan berbiaya mahal dapat tawaran transportasi bertarif murah, mudah didapat, dan ada kepastian tarif.

"Yang harus dipahami, aplikasi hanga berfungsi sebagai pendukung. Yang utama adalah sarana transportasinya. Tanpa sarana transportasi, aplikasi tidak bisa memindahkan orang atau barang dari satu tempat ke tempat lain. Namun tanpa aplikasi, sarana transportasi masih tetap bisa memindahkan orang atau barang," katanya.

BACA JUGA: Driver Taksi Online Tolak Permenhub, Pengamat: Maunya Apa?

Untuk mengatur operasional transportasi, Kemenhub sudah mengeluarkan Permenhub Nomor 108/2017. Sementara kementerian lain belum banyak berulah.

"Terutama Kominfo yang mengatur gerak aplikator. Hingga sekarang, kita tidak pernah tahu pasti berapa jumlah armada taksi online. Sungguh menyulitkan, bagaimana untuk mengaturnya, jika datapun tidak punya," kata Djoko.

Menurutnya aplikasi yang digunakan harus diawasi dan dilakukan audit oleh Kominfo. "Jika tidak seperti sekarang, aplikator merangkap sebagai operator transportasi umum," ucap Mantan Wakil Ketua MTI.

Penyedia jasa aplikasi menurutnya harus dipertegas, milih sebagai operator angkutan umum atau cukup aplikator.

"Jangan dibiarkan berulah seperti sekarang ini. Mengaku aplikator, tapi turut menentukan besaran tarif dan sistem bonus," imbuhnya.

Dia menyarankan agar pemerintah jangan terlalu lama membiarkan perusahaan penyedia jasa aplikasi merusak sistem transportasi yang ada.

Bagi yang tidak mau mendaftar, aplikator harus diminta segera menutup apkikasinya. "Jika masih ada aplikator masih memberi layanan aplikasi ke taksi online yang tidak terdaftar, sudah semestinya aplikator tersebut juga harus ditutup," ungkapnya.

Djoko justru menduga adanya angkutan online adalah untuk menghancurkan sistem transportasi yang sudah ada dengan dalih sharing economy dan menyediakan lapangan pekerjaan.

Hal itu bisa dilihat dari beberapa pebisnis taksi reguler sudah mulai tutup. "Artinya, menimbulkan pengangguran. Walau pengemudinya beralih ke taksi online, tapi tidak menjamin keberlangsungan usahanya," ujar Djoko.

Dia menyebut bisnis taksi online hanya memberikan kesenangan sesaat, dapat dilihat dari banyak pebisnis taksi online, yakni pemilik kendaraan, yang gulung tikar.

"Itu karena kredit macet kendaraan tidak sanggup membayar cicilan bulanan," tuturnya.

Dengan tarif yang murah menurutnya ternyata tidak cukup untuk menutup biaya kebutuhan hidup keluarga, operasional dan perawatan rutin kendaraan.

Selain itu masih ada tanggunhan dari pengemudi yakni untuk pajak kendaraan dan membayar angsuran mobil bulanan.

"Pada awal operasi taksi online, rata rata hanya bisa bertahan sekitar setahun. Setelah setahun banyak yang tutup usaha," katanya. (lyn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menterinya PHP Terus, Turunkan Sekarang Juga!


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler