Menyerah, 30 Guru di Perbatasan "Kabur"

Jumat, 06 Agustus 2010 – 12:20 WIB
Jadi guru di perbatasan, siapa yang mau? Ini pertanyaan yang pasti terlontarBuktinya sudah 30-an guru tak tahan dan pulang ke Malinau atau Samarinda

BACA JUGA: Mahasiswa Tuntut Transparansi, Kena Sanksi

Apalagi ketika tahu, ternyata gaji harus mereka ambil ke Malinau, sementara perjalanan dari Long Nawang saja memakan waktu dan dana jutaan sekali pergi.


Chrisna Endrawijaya, Malinau

DESA Long Nawang adalah ibukota kecamatan Kayan Hulu yang dahulu dikenal dengan Apo Kayan
Di Long Nawang, tak susah menemukan SMPN 1 Kayan Hulu

BACA JUGA: Pendidikan Agama Solusi Ciptakan Perdamaian

Bangunannya di tepi sungai
Bila jalan kaki dari satu-satunya penginapan di seberang jembatan (diresmikan Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak 2009 lalu) hanya perlu 10 menit.

Bangunan sekolah ini sederhana

BACA JUGA: Pemerintah Ogah Angkat Guru Swasta jadi PNS

Terdiri dari tiga bangunan utamaBangunan pertama di bagian depan, di mana dua ruangan digandeng jadi satuDi dalamnya, belasan siswa tengah mendapat pengarahan dari guru

Bangunan kedua, ruang guru, persis di belakang bangunan pertama tadi

Bangunan pertama dan kedua ini terbuat dari kayu, hanya satu yang terbuat dari beton, yakni bangunan ketigaBangunan ini pun terdiri dari dua ruanganSayang, di dalamnya lebih banyak kursi dan meja yang ditaruh, sehingga lebih mirip gudangLantai ketiga gedung ini penuh tanah, karena jalanan di sekitar sekolah belum diplester apalagi diaspalPemisah antara bangunan kedua dan ketiga adalah sebidang lapangan voliDi sana belasan siswi tampak asyik bermain.

Di sekolah yang dibangun 1987 lalu ini, hanya bekerja 5 guru PNSTiga lainnya guru kontrak, yang justru memegang mata pelajaran penting, yakni matematika dan IPAIni menjadi kendala, karena kadangkala para guru kontrak itu pulang ke Malinau dan lama baru kembali lagi ke Long NawangMasalah inilah yang membuat pelajaran matematika dan IPA menjadi pelajaran tersulit bagi para siswa.

“Pernah ada guru kontrak 3 bulan tak datang lagiInilah masalah terbesar kamiKarena memang banyak tak kerasan jadi guru di sini,” kata Oktoriaty, kepala SMPN 1 Kayan Hulu.

Masalah klasik lainnya adalah ketiadaan sinyal handphone, sepi, aliran listrik dan air bersih, juga sembako mahalIni membuat guru tak kerasan

Bahkan, kata Oktoriaty yang meraih predikat kepsek terbaik kedua di Malinau 2009 lalu ini, sudah 30-an guru tak tahan mengajar di sini, dan akhirnya minggat, tak mau lagi ditugaskan ke Long Nawang.

“Ketika ditugaskan ke sini, baru dua bulan, sudah ada saja penyakitnyaAda yang ngakunya sakit keras, atau sakit-sakitan, lalu izin ke Malinau dan tidak kembali lagiItu sudah biasa kami lihatMemang tak mudah jadi guru di sini,” kata Oktoriaty.

Yang lebih parah, untuk menikmati gaji bulanan saja, para guru harus ekstra sabarGaji harus mereka ambil sendiri ke MalinauSementara untuk ke Malinau dari Long Nawang, biayanya sangat mahalSewa kapal ces Rp 300 ribu (harus berlima, bila sendirian Rp 1 juta), lalu tiket pesawat Rp 1,5 jutaPaling tidak harus siap dana Rp 2 jutaan

“Makanya kalau mau ambil gaji, harus bertepatan dengan kegiatan keluargaMisalnya ada guru yang ke Malinau, maka guru yang lain titip dengan surat kuasa pengambilan gajinya,” katanya.

Lalu, bila tak ada acara keluarga bagaimana? Menurut Oktoriaty, guru-guru biasanya harus rela tak gajianDalam setahun, mereka bisa 3 hingga 4 kali tak gajian tepat waktu, alhasil menunggu rapelan yang baru terambil ketika ada di antara mereka yang ke Malinau.

“Kalau tak ada yang naik (ke Malinau, Red.), ya cari uangnya dengan berkebunKalau hasilnya tak cukup untuk beli sembako, ya hasil kebunnya dimakan sendiriKadang juga guru urunan uang untuk mengirim satu guru ke Malinau, hanya untuk ambil gaji,” katanya.

Sebenarnya, para guru ini juga memendam kekecewaanKarena insentif mereka sama saja dengan insentif guru di MalinauPadahal di Long Nawang, mereka tiap hari harus menghadapi masalah tadi.

“Insentif sama saja nilainya dengan yang di kotaApa itu adil? Kalau pun ada bedanya, paling cuma selisih Rp 100 ribuApa artinya itu? Di Long Nawang, Rp 1.000 saja hanya cukup beli permen satu biji,” jelasnya.

Meski dengan segala keterbatasan, tapi prestasi SMPN 1 Kayan Hulu tak bisa dianggap sebelah mataTingkat kelulusan ujian nasional (UN)-nya sejak 2005 lalu selalu 100 persenItulah yang membuat 44 siswa kelas 9 dari 128 siswa SMPN 1, percaya diri menghadapi UN.

“Saya percaya bisa lulusKami sekolah karena ingin pintar,” ujar Irene, siswi berparas manis kelas 9 yang ditemui media ini.

Yang sekolah di SMPN 1 ini tak hanya pelajar di Long Nawang, tapi juga dari Desa Long Betaoh, Long Baru, hingga Long PayauKarena mereka ke Long Nawang harus lewat jalur sungai atau jalan kaki kurang lebih 4 km (misalnya dari Long Betaoh), maka sekolah baru dimulai pukul setengah Sembilan pagi.

“Kalau kami mulai terlalu pagi, masih kabutKasihan siswa di desa lainnyaApalagi sangat berbahaya naik perahu di sungai kalau masih kabut,” sambung Guris Kuleh, salahsatu guru.

Untuk ujian, sebenarnya para guru di perbatasan tak setuju dengan taraf UN“Bagaimana mungkin siswa di perbatasan tak punya buku seperti siswa di kota, tak punya alat peraga, hanya belajar seadanya, harus menerima soal yang sama tingkatannya dengan di kota? Ini jelas tak adil,” katanya.

Secara umum, masalah pendidikan seperti ini menghantui warga perbatasanBeruntung, kini kondisinya mulai membaikUntuk Long Nawang, Long Ampung, dan desa di sekitarnya, sudah ada SD, SMP dan SMA yang terletak di Long NawangSementara perguruan tingginya ada di Long Ampung
Nah, perguruan tinggi ini, adalah kerjasama antara Pemkab Malinau dengan Universitas MulawarmanSistemnya, dosen terbang, lokasi kuliahnya di gereja yang berada di Long Ampung

Tiap beberapa minggu, dosen dikirimkan ke Long Ampung untuk mengajarSistem yang dikembangkan Prof DR Adri Patton (kini kepala Badan Pengelola Kawasan Perbatasan, Pedalaman dan Daerah Tertinggal/BPKP2DT Pemprov Kaltim) sejak 2009 lalu ini ternyata berhasilKini sudah ada 96 warga perbatasan di Long Ampung dan Long Nawang yang jadi wisudawan

Tapi jangan dikira gampangPara mahasiswa perbatasan ini harus jalan kaki berpuluh-puluh kilometer dulu untuk ke Long NawangKarena sebagian mahasiswa ada yang dari Long Apari dan Data DawaiBahkan ada mahasiswi yang mengaku harus berjalan kaki dulu tiga hari supaya bisa kuliah di Long Nawang

Jadi kalau kuliahnya hari Kamis, maka hari Senin dia sudah berangkat jalan kakiSelama perjalanan melintasi hutan, dia menginap di pos-pos jaga TNI yang dilewati.

“Siapa bilang warga perbatasan tak bisa jadi sarjana? Lihat buktinya, sudah 96 orang diwisudaKalau semua berkomitmen, pasti bisa bangun perbatasanSekali lagi, kuncinya komitmen,” kata Adri Patton, pria kelahiran Long Nawang ini.***

BACA ARTIKEL LAINNYA... Akses Sekolah Sulit, Siswa Jalan Kaki 4 Kilometer


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler