Merasa Dianaktirikan, Sekolah SPK Menolak Pengenaan PPN

Sabtu, 18 September 2021 – 12:41 WIB
Haifa Segeir selaku ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia. Foto tangkapan layar

jpnn.com, JAKARTA - Satuan Pendidikan Kerja sama (SPK) secara tegas menolak wacana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada sekolah internasional.

Alasannya akan menambah beban dan bentuk diskriminasi, juga tidak sesuai amanat konstitusi.

BACA JUGA: Gus AMI: Pajak Pendidikan Bertentangan dengan Tugas Negara Mencerdaskan Bangsa

Haifa Segeir selaku Ketua Perkumpulan Sekolah SPK Indonesia mengatakan pengenaan PPN pada institusi pendidikan tidak sejalan dengan amanat UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2.

"Dalam pasal itu disebutkan bahwa Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya," kata Haifa Segeir di Jakarta, Jumat (17/9).

BACA JUGA: Penjelasan Terbaru Sultan Soal Rencana Penerapan PPN Sembako dan Jasa Pendidikan

Berdasarkan itu, pemerintah seharusnya mendorong meratanya akses pendidikan berkualitas untuk semua kalangan.

Kebijakan pengenaan PPN akan membuat pendidikan berkualitas menjadi makin tidak terjangkau bagi semua kalangan. 

BACA JUGA: Ustaz Yusuf Mansur Soroti Soal Polemik PPN Pendidikan, Begini Katanya

"Apalagi hanya sebagian kecil SPK yang memiliki siswa-siswi asing. Yang lebih banyak  warga negara Indonesia," tegasnya. 

Dia menyebutkan surat penolakan tertanggal 17 September 2021 Nomor : 112/PSSI/E/IX/2021 itu, sudah dikirimkan kepada Menteri Keuangan Republik Indonesia, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, dan Direktorat Jenderal Pajak.

Ditembuskan juga kepada Presiden Republik Indonesia, Komisi X DPR RI dan Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan.

Haifa Segeir juga membantah asumsi bahwa SPK bukan termasuk dalam sistem pendidikan nasional. SPK merupakan satuan pendidikan yang berada di dalam sistem pendidikan nasional sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 5 Ayat 1 Permendikbud 31 Tahun 2014 di mana SPK wajib memenuhi delapan standar nasional pendidikan dan secara berkala menjalani proses akreditasi yang dilakukan Badan Akreditasi Nasional.

"Anggapan itu salah dan harus diluruskan," ucap Haifa.

Haifa menambahkan selama ini SPK dianaktirikan dalam banyak kebijakan pemerintah termasuk pengecualian penerimaan dana BOS, pengecualian tunjangan profesi guru. 

"Perlu dicatat, tidak semua SPK mengenakan biaya ratusan juta rupiah atau mampu secara finansial terutama di masa pandemi seperti sekarang. Bahkan, banyak sekali SPK yang mengenakan biaya jauh di bawah sekolah swasta nasional dan guru-gurunya masih menerima gaji di bawah guru-guru sekolah negeri," tutur Haifa yang juga ketua Yayasan di SPK New Zealand School Jakarta.

Tidak adanya bantuan atau subsidi pemerintah dan pengenaan retribusi untuk tenaga kerja asing, juga fasilitas penunjang yang harus disediakan oleh SPK karena muatan kurikulum internasional menjadikan biaya beberapa sekolah SPK berbeda dengan sekolah-sekolah swasta lainnya. 

Namun, SPK tetap berkomitmen untuk memberikan pendidikan berkualitas dunia kepada anak-anak bangsa dan memberikan kontribusi terhadap pendidikan negeri sebagaimana diminta oleh pemerintah program pengimbasan maupun program guru penggerak. 

Pengenaan PPN, lanjutnya pastinya sangat memberatkan orang tua karena berimbas pada kenaikan biaya yang tidak pernah SPK inginkan. Di sisi lain, sekolah juga banyak memberikan keringanan biaya bagi siswa yang kurang mampu dan beasiswa kepada siswa berprestasi.

Pemerintah juga perlu mempertimbangkan keberadaan SPK yang membantu peningkatan investasi asing. Ditambah lagi keberadaan SPK mencegah siswa-siswi sekolah ke luar negeri untuk mendapat pendidikan berkualitas sehingga membantu devisa negara. 

"Kami dukung upaya pemulihan ekonomi tetapi caranya jangan begini. Apabila badan hukum pendidikan diputuskan harus juga dikenakan PPN maka seharusnya hal ini diterapkan tanpa diskriminasi dan dengan mempertimbangkan jumlah pendapatan dan pengeluaran," tutupnya. (esy/jpnn)

 

 


Redaktur : Djainab Natalia Saroh
Reporter : Mesya Mohamad

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler