Merasa Jadi Korban, Irjen Napoleon Singgung Kasus Djoko Tjandra, Citra Polri, hingga Hasrat Gibah

Senin, 22 Februari 2021 – 19:38 WIB
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte di kursi terdakwa Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11). Foto: Sigid Kurniawan/Antara

jpnn.com, JAKARTA - Mantan Kadiv Hubinter Polri Irjen Napoleon Bonaparte menyebut dirinya menjadi korban kriminalisasi dan malapraktik penegakan hukum guna menjaga maruah Polri.

Padahal, dirinya sudah dicopot dari jabatannya oleh telegram yang dikeluarkan Kapolri saat itu, Jenderal Idham Azis.

BACA JUGA: Reaksi Kabareskrim Saat Namanya Disebut Irjen Napoleon di Persidangan

Pernyataan itu disampaikan Napoleon saat membacakan pledoi dalam sidang lanjutan kasus dugaan suap penghapusan red notice terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra.

"Pimpinan Polri menyikapi dengan telah bertindak cepat dan tegas dengan telah menghukum kami melalui Telegram Nomor ST.2076 tanggal 17 Juli 2020 karena dianggap telah gagal melakukan pengawasan terhadap staf. Namun, tindakan cepat dan tegas pimpinan Polri tersebut belum cukup memuaskan publik," kata dia di kursi persidangan.

BACA JUGA: Pengacara Sebut Napoleon Berilusi dalam Sidang

Napoleon bahkan melihat publik belum puas dengan kondisi itu. Bahkan, kecurigaan meningkat atas perbuatan pidana.

"Sehingga memperkuat desakan publik kepada pimpinan Polri untuk melimpahkan perkara ini ke ranah hukum yang berujung pada persangkaan pidana korupsi kepada kami," kata dia.

BACA JUGA: Kubu Irjen Napoleon Ingin Ungkap Rekaman Percakapan dengan Tommy, Jaksa Menolak

Napoleon mengklaim dirinya merupakan korban kriminalisasi melaui media sosial yang memicu malapraktik dalam penegakan hukum.

Kriminalisasi dan malapraktik yang dimaksud yakni penegakan hukum yang terkesan tak berdasar. Sebab, penindakan hukum yang akhirnya berujung terseretnya Napoleon dilakukan hanya demi menyelamatkan muka institusi Polri.

"Masifnya pergunjingan publik akibat sinisme terhadap kekuasaan, yang telah menggeneralisasi setiap simbolnya sebagai pelampiasan hasrat gibah, sehingga memicu malapraktik penegakan hukum atas nama mempertahankan keluhuran maruah institusi," ujar Napoleon.

Napoleon menilai semua persoalan ini berawal ketika Djoko Tjandra masuk ke Indonesia pada 5 Juni 2020. Kedatangan itu, berdampak pada maraknya pemberitaan secara masif.

"Kemudian disambut oleh pemberitaan di media massa secara masif dan berskala nasional, sejak pertengahan Juni 2020, yang menuding bahwa pemerintah Indonesia, terutama penegak hukum terkait telah kecolongan," ungkapnya.

Hal ini, kata Napoleon, semakin diperparah dengan munculnya foto yang memperlihatkan surat keterangan bebas Covid-19 dengan nama Brigjen Prasetijo Utomo, Djoko Tjandra, dan Anita Kolopaking. Surat itupun tertera tanda tangan dari Pusdokes Polri.

Kepercayaan publik atas institusi Polri pun semakin menurun. Sebab, ada anggapan jika Polri merupakan biang keladi rentetan perkara Djoko Tjandra.

"Telah menggulirkan tudingan publik kepada Polri bahwa yang dianggap sebagai biang keladi tercorengnya kewibawaan pemerintah akibat kelemahan aparat hukum negara," pungkasnya.

Sebelumnya JPU menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan hukuman 3 tahun pidana penjara dan denda Rp 100 juta subsider enam bulan kurungan terhadap Irjen Napoleon Bonaparte.

Jaksa meyakini Napoleon menerima suap dari terpidana perkara korupsi cessie Bank Bali Djoko Tjandra. Suap tersebut untuk membantu proses penghapusan nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO) di Direktorat Imigrasi. (tan/jpnn)

Jangan Lewatkan Video Terbaru:


Redaktur & Reporter : Fathan Sinaga

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler