Merayakan Konferensi Wartawan Asia Afrika

Jumat, 28 April 2017 – 10:10 WIB
Koran Harian Rakjat, 25 April 1963 menjadi KWAA sebagai laporan utama. Foto: Dok.Warung Arsip.

jpnn.com - 54 TAHUN lampau. Para jurnalis dari benua Asia dan Afrika berkumpul di Indonesia. Acara Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA).

Hari itu, 30 April 1963. KWAA melahirkan Djakarta Declaration. Bunyinya, "Asia Afrika journalist dedicate themselves to struggle against imperialism-colonialism."

BACA JUGA: Nah...Ini Orang Tionghoa yang Melegenda di Jakarta

Segera saja diterjemahkan menjadi, "wartawan-wartawan Asia Afrika mengabdikan dirinya kepada perjuangan melawan imperialisme-kolonialisme."

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Sejarah Masuknya Orang Tionghoa ke Jakarta (1)

Dihadiri utusan jurnalis dari 40 negara, KWAA dihelat selama sepekan. Mulai 23 hingga 30 April 1963. Ketua panitianya Hartini, istri Bung Karno.

Ibukota bersolek. Para seniman urunan karya. Membuat patung-patung raksasa. Spanduk-spanduk bertuliskan kata-kata bertenaga bertebaran di jalan-jalan. Artistik.

BACA JUGA: Senarai Historis Penyair Bugis

Jakarta semarak. Apalagi, peserta konferensi menyertakan keseblasan negaranya.

Pertandingan sepakbola di Gelanggang Olahraga (Gelora) Bung Karno menjadi penanda dibukanya Konferensi Wartawan Asia Afrika (KWAA), Rabu, 23 April 1963.

Kompetisi sepakbola yang mengiringi berlangsungnya KWAA memperebutkan Sukarno Cup.

"Pialanya dibikin seniman-seniman patung dari Yogyakarta," kata Muhidin M Dahlan, peneliti sejarah pers Indonesia kepada JPNN.com, dalam sebuah obrolan santai di kedai kopi pojok belakang gedung Dewa Pers, Kamis, 16 Februari 2017 lalu.

Dalam pidatonya, kepada para pendekar pena di benua Asia Afrika, Presiden Soekarno berpesan, jangan memisahkan jurnalistik dengan kenyataan politik imperialisme yang mengamuk di Asia dan Afrika.

Si Bung menyeru, lewat kerja jurnalistik dan sepakbola, umat manusia mesti disatukan dalam satu kapal imipian yang megah. Membangun dunia masa depan yang lebih baik.

Kompetisi sepakbola KWAA dimenangkan Mesir, setelah mengalahkan Cina. Keseblasan Indonesia di posisi 3 setelah menang dari Vietnam 3-1.

"Kompetisi Sepakbola yang diselenggarakan para jurnalis itu, menjadi tapak penting sebagai pra pembuka bagi lahirnya Olimpiade Negara Kiri yang bernama Ganefo tujuh bulan berikutnya di Indonesia, 10 November 1963," papar Muhidin.

Setelah memeriksa sejumlah literatur, entah kenapa, Rosihan Anwar yang digadang-gadang sebagai wartawan legendaris Indonesia itu tajam menyendir KWAA.

"Kaum komunis pintar sekali menggunakan Hartini dengan menjadikanya, misalnya, tokoh utama dalam usaha pengumpulan dana bagi Konferensi Wartawan Asia Afrika di Istana Bogor tahun yang lalu," tulis Rosihan Anwar dalam buku Sukarno, Tentara, PKI.

Bukankah Rosihan pernah jadi pimpinan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang notabene panitia inti KWAA?

Mari kita simak sejenak tulisan Muhidin Dahlan tentang sejarah KWAA berikut ini.

Oiya, Muhidin baru saja merampungkan buku bertajuk Konferensi Wartawan Asia Afrika. Bila tak ada aral melintang segera diluncurkan dalam waktu.

Sebelumnya, pengelola Warung Arsip itu juga pernah mengulasnya dalam essei bertajuk KWAA: Jurnalis Progresif Asia Afrika Bersatu!

Berikut cuplikannya...

Boleh dibilang, KWAA menjadikan kota Jakarta jadi kota historis dalam solidaritas jurnalis Asia-Afrika. Jika Bandung dikenal sebagai leluhur dan ibukota Konferensi Asia Afrika (KAA), maka Jakarta menjadi ibukota jurnalis progresif se-antero Asia Afrika.

Kepada PWI dan pemerintahan revolusioner Indonesia, jurnalis-jurnalos dari RRT, Ghana, Republik Demokrat Vietnam, Korea Utara, Iran, Kuwait, Kenya, Kamerun, bahkan Kuba dan Yugoslavia mengelu terima kasih.

Nah, rupanya, sebagaimana hasil penelitian Muhidin, PWI terseret perkubuan hebat paska KWAA. Perkubuan ini dimenangkan jurnalis kiri dalam tubuh PWI yang mendapat restu Presiden Soekarno.

"Ini sejak 1955 sebenarnya. Indikasinya, Starweekly korannya PK Ojong sama sekali tidak meliput KAA. Padahal itu koran terkenal dengan pemberitaan internasionalnya. saya sudah periksa koran itu," kata Muhidin seraya menyalakan rokok kreteknya.

Terlepas dari pendapat Rosihan dan perkubuan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, sejarah membuktikan bahwa KWAA tercatat sebagai konferensi jurnalis terbesar yang pernah dihelat di Indonesia.

"Saya bisa memastikan inilah konferensi jurnalis terbesar yang diselenggarakan di Indonesia yang melibatkan negara-negara di Asia Afrika dan juga komunitas jurnalis yang diundang secara khusus dari pelbagai negara sosialis di Jerman, Yugoslavia, Kuba, dan Uni Sovyet," tulis Muhidin.

Di tengah berlangsungnya KWAA, Kanote Djamil seorang delegasi dari Republik Mali mendapat kabar dari istrinya. Bahwa bayi mereka telah lahir. Lelaki. Sehat. Mungil.

Bayi yang lahir nun jauh di tengah Afrika sana itu pun langsung diberi nama Sukarno oleh Kanote dari Indonesia.

"Dalam keterangan mengapa ia berikan nama SUKARNO bagi bayinya, Kanote menyatakan bahwa nama Presiden Sukarno tak asing lagi," tulis surat kabar Bintang Timur, 30 April 1963.

Pada puncak acara, 30 April, para wartawan mencetuskan Djakarta Declaration. Yang berisi: Wartawan-wartawan Asia Afrika mengabdikan dirinya kepada perjuangan melawan imperialisme-kolonialisme.

Karena semaraknya perhelatan itu, sasusnya Bung Karno ada rencana menetapkan 30 April, puncak perayaan KWAA yang mencetuskan Djakarta Declaration menjadi Hari Pers Nasional.

Namun, kandas. Haluan berubah menyusul huru-hara 1965. Jangankan jadi Hari Pers, sejarah KWAA-pun senyap.

Bahkan Djawato, pimpinan Kantor Berita Antara yang menjabat Ketua PWI sekaligus lakon dibalik KWAA terbuang jauh di negeri orang. (wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Hario Kecik & Festival Film Asia Afrika


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler