Senarai Historis Penyair Bugis

Jumat, 14 April 2017 – 20:30 WIB
Aspar Paturusi, budayawan Sulawesi Selatan. Foto: Wenri Wanhar/JPNN.com

jpnn.com - PENYAIR Taufiq Ismail bilang, Aspar Paturusi sudah menggenggam semuanya: puisi, novel, film, sinetron, teater. Kepadanya tidak ditanyakan lagi lakekomaE (mau kemana?--red).

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

Aspar Paturusi berusia 17 tahun ketika dua puisinya dimuat di rubrik Kebudayaan majalah Mimbar Indonesia, edisi September 1960.

BACA JUGA: Hario Kecik & Festival Film Asia Afrika

Amboi…bukan main senang hati Aspar. Pelajar di Sekolah Guru Atas (SGA), setingkat SMA di Makassar itu merasa, inilah dunianya. Pertama menulis puisi, langsung dimuat. Majalah kenamaan pula.

Mimbar Indonesia majalah berpengaruh pada masa itu. Redakturnya H.B Jassin, wartawan yang klotokan di jagat sastra Indonesia.

BACA JUGA: Tan Malaka di Gedung DPR

"Dua puisi itu berjudul Mereka Tercinta dan O Anak Kemana Kau?," kenang Aspar Paturusi, dalam sebuah obrolan santai dengan JPNN.com, Sabtu, 8 April 2017--dua hari menjelang ulang tahunnya yang ke 74.

Lelaki yang gemar membaca ini lahir di Bulukumba, Sulawesi Selatan, 10 April 1943. Dia pendiri Dewan Kesenian Makassar. Dewan kesenian kedua di Indonesia setelah Dewan Kesenian Jakarta.

BACA JUGA: Perempuan Berkebaya di Laman Google Kemarin Siapa Ya?

Kami berbincang di bawah langit senja, di Pulau Sekati, pulau kecil nan elok "tak berpenduduk" di gugusan Kepulauan Seribu, Jakarta.

Debut Pertama

Sebetulnya, di ranah sastra, puisi yang dimuat Mimbar Indonesia bukan debut pertama Aspar.

Tiga tahun sebelumnya, pada usia 14 tahun, saat masih belajar di Sekolah Guru Bawah (SGB) Kabupaten Pangkajene, 60 Km dari Makassar, dia pernah menulis naskah drama berjudul Akhirnya Kembali Ke Desa.

Karya itu beredar dari tangan ke tangan. Dan tiba-tiba…dua tahun kemudian, naskah Aspar dipentaskan di Gedung Panti Penghibur Makassar.

Gedung pertunjukan itu masih ada. Kini, namanya Societeit de Harmonie--sesuai nama awalnya semasa zaman kolonial dulu. Naskah karya Aspar dipentaskan teater pelajar dari SMEA Negeri Makassar.

Satu di antara siswa yang menjadi lakon dalam pertunjukan itu August Parengkuan--belakangan dikenal sebagai wartawan legendaris koran Kompas yang pada zaman SBY menjabat Duta Besar Indonesia untuk Italia.

Begitulah debut awal Aspar di gelanggang kesusasteraan. Mendapat gelar sarjana muda di Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar, dia jadi wartawan.

"Saya menjadi wartawan mulai 1962 hingga 1989," kenang ayah dari 7 anak, kakek dari 19 orang cucu. "Pernah bekerja di Harian Mercusuar, Ekspres Minggu, dan redaktur budaya di koran Jayakarta."

Bersastra

Di samping kesibukannya sebagai wartawan, Aspar tetap menulis karya sastra.

Novelnya berjudul Arus memenangkan Sayembara Mengarang Roman Dewakan Kesenian Jakarta (DKJ) 1974.

Kemudian…masih dari Makassar, naskah bertajuk Duta Perdamaian miliknya, dinobatkan sebagai pemenang Sayembara Naskah Sandiwara DKJ 1980.

Setahun kemudian, naskah itu dipentaskan Teater Koridor Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Naskah Aspar bertajuk Samindara kembali memenangkan Sayembara Mengarang Naskah Sandiwara DKJ 1981. Tahun berikutnya naskah ini pentaskan di Dewan Kesenian Makassar (DKM) dan Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Pada 1985, naskahnya yang lain Perahu Nuh II dipentaskan di TIM, Jakarta.

Nama Aspar Paturusi pun mulai berkibar-kibar di jagat sastra. Dia tergoda hijrah ke Ibukota.

Sebelum merantau, karyanya yang berjudul Jihadunnafsi dipentaskan di depan peserta yang menghadiri Persatuan Sastrawan Nusantara V di Makassar.

Ke Jakarta

Aspar Paturusi memboyong keluarganya pindah ke Jakarta pada 1987. Mereka mengontrak rumah di Bintaro Permai.

"Tiga hari di sana, terjadi tragedi Bintaro. Tabrakan kereta. Eh… setahun kemudian, dia diajak main di film Tragedi Bintaro yang disutradarai Buche Malawaw.

Di film itu, Aspar berperan sebagai kepala Stasiun Sudimara. Tragedi Bintaro, 19 Oktober 1987 cukup melegenda. Iwan Fals juga membuat lagu tentang itu.

Dalam perjalanannya, Aspar meninggalkan pekerjaannya sebagai redaktur budaya Jayakarta--surat kabar yang cukup berpengaruh pada masanya.

Dia memilih jadi bintang film. Sederet film yang dibintanginya antara lain Tragedi Bintaro (1989), Tutur Tinular (1990), Si Buta Dari Gua Hantu (1990), Ketika Cinta Bertasbih (2009), dan masih banyak lagi bila disebut satu persatu.

Sinetron yang dilakoninya antara lain Anak Hilang (1992), Ketika Cinta Bertasbih (2010) dan banyak lagi. Dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji yang cukup fenomenal tempo hari, Aspar Paturusi berperan sebagai guru sekolah dengan nama Lamakkah. Orang Bugis.

"Main film itu bekerja. Main sinetron itu bekerja. Menulis itu berkarya," kata anggota dan kemudian Ketua Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta periode 1990-2002.

Pendiri SWA Parfi bersama Ratno Timur dan Ikra Nagara pada 1988 ini pernah pula menjabat Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) periode 1990-1993.

Bagi satu-satunya pendiri Dewan Kesenian Makassar yang masih hidup itu, bekerja dan berkarya beda. "Berkarya adalah penyerahan spiritual batin yang tulus dan ikhlas bagi kreatifitas."

Tak ayal setelah membaca karya-karya Aspar, cendikiawan Mochtar Pabottinggi berkomentar, "Aspar adalah tangan yang terus mengetuk-ngetuk hati kita, hatinya sendiri, dan Penguasa Segala Hati."

60 Tahun Berkesenian

Hingga hari ini, setelah 60 tahun berkesenian, Aspar telah menelorkan skenario film, sejumlah karya drama, seribuan puisi. "Itu kurang. Harusnya beribu-ribu. Tapi, terkendala kerja."

Karyanya yang terpublikasi dalam bentuk buku, antara lain enam kumpulan puisi dan tiga buah novel.

Dalam hal berkarya, Aspar masih produktif. Dua bulan lalu dia baru saja merampungkan naskah teater. Judulnya Pengadilan Jalanan.

Bercerita tentang benturan antar massa. Kedua pihak merasa benar. Pada bagian ceritanya ada adegan masing-masing kubu menangkap provokator. Dan masing-masing mengadili.

Endingnya, wakil-wakil dari kelompok itu diminta datang ke Istana. Diminta mengeluarkan statement. Ternyata mereka itu cinta damai.
Jadi, tidak menyalahkan siapa-siapa.

Naskah yang boleh dibilang memotret siatuasi kekinian negeri ini belum pernah ditampilkan.

Sebagai bintang film, dia masih bekerja. Belum lama ini, Aspar main di film Cinta Tajmahal. Dan masih syuting untuk sinetron Siapa yang Tidur di Ranjangku. Sinetron ini belum tayang di layar kaca.

Oiya, ketika kisah ini dituliskan, Atok Aspar--begitu kawan seperjalanan saya yang dari Medan menyapanya--baru saja berulang tahun. Empat hari yang lalu. Selamat ulang tahun Atok! Tetap sehat dan bahagia ya…(wow/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Menyempurnakan Teknik Sun Tzu


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler