Mereka Capek karena Intervensi

Selasa, 23 Februari 2016 – 00:14 WIB
KPK akan melakukan pengawasan pengelolaan APBD sebagai bentuk pencegahan tindak pidana korupsi. Foto: ilustrasi.dok.JPNN

jpnn.com - KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai menggalakkan langkah pecegahan, terutama di daerah-daerah yang punya potensi besar terjadinya tindak pidana korupsi.

Beberapa waktu lalu, KPK mengundang Sekretaris Daerah dari enam provinsi rawan korupsi. Yakni, Banten, Sumatera Utara, Riau, Papua, Papua Barat, dan Aceh.

BACA JUGA: Membalap dengan Mobil Tercanggih

Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, KPK ingin daerah mengimplementasikan e-budget, e-procurement, dan perizinan Sumber Daya Alam (SDA) dengan  benar, supaya tindak pidana korupsi dapat dicegah. Di samping itu,  juga untuk mencegah kongkalikong maupun permainan dalam pengelolaan APBD.

Dia menegaskan, setelah belajar dari kasus-kasus yang menjerat kepala daerah sebelumnya, ada tiga permasalahan krusial yang terjadi di beberapa daerah. 

BACA JUGA: Lebih Kuat Lorenzo Ketimbang Rossi

“Pengelolaan APBD diintervensi dari luar, masalah di pengadaan barang dan jasa, dan perizinan sumber daya alam terkait pertambangan dan kehutanan,” kata Pahala saat berbincang-bincang dengan JPNN.com, Minggu (21/2).

Berikut petikan wawancara wartawan JPNN.com Mohamad Kusdharmadi dengan Pahala Nainggolan.

BACA JUGA: Andai Presiden Tahu Persoalan Honorer

Bagaimana bentuk pengawalan KPK terhadap pengelolaan APBD di sejumlah daerah, termasuk yang Sekdanya sudah diundang ke KPK beberapa waktu lalu?

Awalnya kami punya program untuk 269 daerah yang baru saja menggelar pemilihan kepala daerah.  Tadinya, kami punya program untuk mereka. Kami terbayang untuk bagaimana mereka menerapkan e-budgeting, e-procurement. Kami minta Kementerian Dalam Negeri kali ini memaksa mereka, karena selama ini ogah-ogahan menerapkan dikarenakan belum ada sanksinya. Kalau ini berhasil maka untuk pengadaan barang dan jasa misalnya, akan tersentralisasi. Kemudian, kami juga ingin agar perizinan untuk pengelolaan SDA dilelang terutama untuk perkebunan dan pertambangan.

Jadi, awalnya dibuat untuk 269 daerah yang baru menggelar pilkada itu. Namun, dalam perjalanannya ternyata ada kebutuhan mendesak untuk kami lakukan di enam daerah, yakni Banten,  Sumut, Riau, Papua, Papua Barat dan Aceh. Jadi kami dahulukan untuk enam daerah ini.

Kenapa Sekdanya yang diundang, bukan gubernur atau wakil gubernurnya?

Sekda merupakan PNS karir paling tinggi di jajaran Pemprov. Kalau kepala daerah datang silih berganti, tapi Sekdanya sebagai pejabat karir tidak bisa kemana-mana. Ini juga agar ketika nanti kepala daerah pergi meninggalkan masalah, mereka tidak menanggung beban persoalan. Kami undang agar mereka berdiskusi dan membicarakan permasalahan yang selama ini terjadi terkait APBD, pengadaan barang dan jasa maupun perizinan sumber daya alam. Pertama kami undang itu dari Sumut, Riau dan Banten, tiga terlebih dahulu. Kemudian, Papua, Papua Barat dan Aceh.

Lalu bagaimana reaksi mereka?

Mereka mengakui ada intervensi dari pihak luar  mulai dari pembahasan hingga implementasi APBD.  Misalnya, ada oknum anggota DPRD mempunyai rekanan kontraktor, mengintervensi agar proyek-proyek diarahkan ke rekanan mereka tersebut.

Ada juga yang nitip proyek untuk dimasukkan dalam APBD, padahal tidak ada dibahas dalam musyarawah perencanaan pembangunan. Nah, kalau dengan e-budgeting kan tidak bisa terjadi seperti ini, akan ketahuan semua.

Kemudian, ada yang memaksa mendapatkan dana bantuan sosial. Lalu, soal perizinan SDA ada pejabat yang bermain. Biaya perizinan resmi memang kecil, tapi biaya gelapnya yang jadi permainan. Itu problem mereka. Kalau DPRD mengancam biasanya tidak akan mengesahkan APBD mereka mau tidak mau menuruti.

Tiga provinsi, Sumut, Riau, Banten, biasanya ada ancaman dari DPRD lokal.  Sedangkan kalau perizinan, biasanya ada partai politik yang membekingi pengusaha. Bahkan, ada pengusaha yang dibekingi purnawirawan.

Nah, mereka meminta agar dilakukan memorandum of understanding agar KPK mengawal pemerintah daerah. Tapi, kita tidak mau. Nanti kalau mereka yang curang bagaimana menindaknya? Kan sudah ada MoU? Jadi kami tidak mau kalau MoU seperti itu.

Lalu bagaimana kalau pembahasan APBD deadlock karena berbagai persoalan di atas sehingga pembangunan akan terhambat?

Sempat terpikir paling gampang kalau pembahasan APBD deadlock, hubungi KPK dan KPK datang ke daerah tersebut. Kalau cara itu manjur, tidak apa-apa. Tapi, kalau masih maksa-maksa, nanti kita bersama-sama mereview APBD tersebut. Nanti bisa ditunjukkan dimana anggaran-anggaran yang diselipkan.  Kalau tidak juga,  kami panggil “ngobrol-ngobrol” di KPK. Kita koordinasi dengan penindakan.  Jadi, ada berbagai macam bentuk kerjasama yang bisa dilakukan agar persoalan itu bisa diselesaikan dan tidak berpotensi terjadinya pidana. Namun, kalau MoU kami tidak mau, nanti kami tidak bisa melakukan kontrol. Saya pun tegas menyatakan kalau ada pasukan anda (pemerintah daerah) yang main-main, KPK tidak segan-segan menindak.

Artinya KPK juga akan sering turun ke tiga daerah ini?

Ya, nanti kami juga akan datang ke Medan, Pekanbaru dan Banten. Nanti kami akan kumpulkan mereka dan berdiskusi serta mengingatkan  mereka. Biar kami beritahu apa yang boleh dilakukan, dan tidak dilakukan supaya tidak terjadi tindak pidana korupsi.

Bagaimana dengan persoalan di Papua, Papua Barat dan Aceh?

Selain seperti persoalan di atas (intervensi, permainan pengadaan barang dan jasa, serta perizinan), di Papua, Papua Barat dan Aceh tambah lagi persoalan intervensi dari pihak lain terkait dana alokasi khusus yang besar. Mereka dilepas begitu saja oleh kementerian untuk berkoordinasi dengan yang berwenang membahas anggaran. Bahkan, sering terjadi negosiasi. Mereka sempat bertanya bagaimana kalau KPK mengawal dalam melakukan negosiasi dana infrakstruktur di dana alokasi khusus itu. Saya bilang, boleh, tapi saya bawa bagian penindakan biar langsung diproses (ditangkap) semua.

Apa solusi yang ditawarkan?

Memang mereka capek karena intervensi-intervensi itu. Tapi, nanti kami akan ingatkan mereka. Kami akan sering turun ke Papua, Papua Barat dan Aceh. Nanti di sana kami  kumpulkan semua. Kami  panggil juga DPRD-DPRD hingga bupati-bupatinya.  Yang pasti, kami tidak mau ada MoU, tapi kami akan berikan peringatan-peringatan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan.

Lalu bagaimana mengingatkan pihak yang berwenang menentukan anggaran dana infrastruktur?

Nanti kami  akan hadir di pembahasan-pembahasan rapat penentuan besaran dana infrastruktur itu. Kami  tongkrongi saja, “tidak melakukan apa-apa”. Kalau masih saja nakal, kami  akan berkoordinasi dengan penindakan. (boy/jpnn)



 

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Cek E-KTP Harus ke Kantor Dinas


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler