Mereka Melahirkan saat Mengungsi Karena Letusan Merapi

Tak Mau Anak Pakai Nama Berbau Bencana

Jumat, 29 Oktober 2010 – 07:00 WIB
LAHIR DIPENGUNGSIAN: Mujiyati bersama anaknya yang baru dilahirkan di Muntilan kemarin (28/10). Foto: Mukhtar Lutfi/Radar Semarang

Lima warga Kabupaten Magelang mengungsi dalam keadaan hamil tuaKegembiraan pun akhirnya menyeruak di tengah kekalutan dalam pengungsian

BACA JUGA: Pilih Tahlilan Ketimbang Selamatkan Nyawa

Anak-anak mereka lahir, berimpitan waktu dengan amuk Merapi.
 
======================
MUKHTAR LUTFI, Magelang
======================
 
SUARA amarah Gunung Merapi seakan lenyap sesaat di dinding ingatan Mujiyati, warga Dusun Cabe Kidul, Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Magelang
Kengerian amuk purba yang dikeluarkan gunung paling aktif di dunia itu tergantikan oleh tangis bayi yang meluncur dari rahimnya kemarin (28/10)

BACA JUGA: Yusak Yaluwo, Bupati yang Menang Pilkada saat Dipenjara

Tangisnya cukup kuat.
 
Seberkas kebahagiaan pun menyelinap di ruang benak Mujiyati
Ruang yang sejatinya sudah cukup sesak oleh berbagai kekalutan dan sedikit kepanikan tatkala perempuan 29 tahun itu harus mengungsi dari desanya

BACA JUGA: Klantink, Musisi Jalanan yang Jadi Jawara Indonesia Mencari Bakat (IMB)


 
Ya, dalam kondisi hamil tua, Mujiyati dan keluarganya harus menyelamatkan nyawa dari ancaman aktivitas Merapi"Saya sangat bersyukurTapi ndak pernah membayangkan melahirkan saat ngungsi," kata perempuan itu di RSUD Muntilan, Magelang, kemarin.
 
Dia lalu memandangi bocah laki-laki yang baru keluar dari gua garba-nyaBocah tersebut berparas elokCakepRambutnya tebalSetelah dibersihkan perawat pascalahir, rambut bocah itu seperti disisir rapi jaliKeren.
 
Sebagai salah seorang warga yang tinggal di kawasan rawan bencana III, mau tidak mau Mujiyati memang harus mengungsiDia mulai meninggalkan rumahnya pada Rabu sore (27/10)Itu adalah hari kedua sejak "Eyang" Merapi bangkit dan menyembur-nyemburkan abu vulkanik serta wedhus gembelBersama sekitar sembilan ratus orang lain, Mujiyati harus pergi ke balai desa Srumbung.
 
Tak terbilang kepanikan yang dialamiYang pertama, dia panik lantaran harus cepat menghindar dari letusan MerapiYang kedua, tentu dirinya panik dengan "bawaan" di perutnya
 
Nah, kehadiran Mujiyati ternyata ikut menambah kepanikan warga lainnyaSebab, para pengungsi lain ikut-ikutan berupaya menyelamatkan Mujiyati"Mati lampuSemua panik, saya panikAda yang jatuh," ungkap MujiyatiKepanikan Mujiyati dan para warga Srumbung itu pun ditingkahi gemuruh Merapi yang membikin suasana sangat mencekam.
 
Dalam garis hidup Mujiyati, pengungsian tersebut bakal tercatat cukup kuatTak mudah dilupakanSuasana dan keributannya masih terngiang-ngiang"Ndak bakal lupaIni saja masih takut-takut," ungkap istri Subakir tersebut
 
Yang membikin memori itu bakal abadi adalah kelahiran anaknya di tengah-tengah aktivitas pengungsian tersebut.Tak sampai sehari setelah mengungsi, perut Mujiyati mulas-mulasKontraksiKarena itu, dia pun langsung dilarikan ke rumah sakit"Diantar suami sama penjaga di sana (pengungsian, Red)," kisahnyaAkhirnya, si jabang bayi pun lahirBeratnya 3,2 kilogramSehat.
 
Mujiyati merasakan kecapaian luar biasa setelah mengungsi lantas melahirkan bayiTapi, kegembiraannya memang tak bisa dibendungSenyum masih terus mengembang dari bibir perempuan dua anak ituDia kerap memandangi buah hatinya tersebutBocah itu pun tanggapSesekali mata kecilnya terbuka dan bertatapan dengan pandangan ibunya.
 
Siapa nama anak tersebut? Mujiyati belum punya jawabanYang terang, dia tidak akan mengabadikan peristiwa letusan Merapi ke dalam nama anaknyaDia tak mau latah ikut-ikutan orang yang kadang memasukkan suatu peristiwa besar ke dalam nama anaknya.
 
Jadi, barangkali, nama bayi mungil itu tak akan berbau Merapi, erupsi, lava, magma, apalagi wedhus gembel"Emoh (tidak mau)Mesakke anak kula (kasihan anak saya)Sebab, itu peristiwa yang mengerikan," tegasnya.
 
Mujiyati dan bayinya bukan satu-satunya peristiwa kelahiran pada momen pengungsian ituAda lima perempuan yang melahirkan di paviliun gladiol RSUD Muntilan kemarinSelain Mujiyati, ada Budiyati, 23, warga Desa Sumber; Sumini, 39, warga Kamongan; Supriyati, 34, warga desa Ngargomulyo; dan Triyanti, 20, warga Mranggen.
 
Mujiyati, Budiyati, Sumini, Supriyati, dan Triyanti sama-sama punya bayi saat mengungsi menghindari MerapiLantaran proses melahirkan yang hampir bersamaan tersebut, paviliun rumah sakit itu pun terasa riuh oleh tangis bayi-bayi mungil tersebutBeberapa petugas terlihat sibuk mempersiapkan peranti untuk jiwa-jiwa baru itu.
 
Kebahagiaan Budiyati, warga Desa Sumber, tak kalah besarKesan kelahiran itu cukup mendalam"Ini anak pertama saya," katanyaKepanikan Budiyati pun campur-baurKepanikan sebagai seorang ibu yang baru pertama punya anak plus kepanikan ala pengungsiDia masih ingat betul saat lari ke tempat aman bersama ratusan tetangganyaSuara gemuruh dan hujan abu seakan-akan terus mengancam"Saya takut terjadi sesuatu," kenangnya.
 
Dalam kondisi panik itu, dia nyaris jatuh dari kendaraanHampir saja dia celakaHampir pula si jabang bayi terancamBudiyati pun tak mau mengingat-ingat lagi peristiwa mencekam tersebutDia juga tak mau nama anaknya punya keterkaitan dengan Merapi"Biasa ajaNggak mau yang aneh-aneh," paparnya.
 
Kini, lima bayi sudah lahir di pengungsianDua lagi sedang antre hadir ke duniaDua perempuan yang juga sedang hamil tua adalah Muslimah, 20, warga Ngargosoko Srumbung; dan Narmi, 35, warga Desa Dukun, Kecamatan DukunBayi-bayi yang siap lahir untuk mewarnai dunia di tengah-tengah kepulan asap Merapi(*/jpnn/c5/dos)


BACA ARTIKEL LAINNYA... Nembak Oke, Ngajari Nembak Mau


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler