Nembak Oke, Ngajari Nembak Mau

Libatkan Anak sebelum Promosi

Senin, 25 Oktober 2010 – 16:26 WIB
JENDERAL WANITA: Brigjen Sri Parmini saat ditemui di kantornya pekan lalu. Foto: Agung Putu Iskandar. Foto: Agung Putu Iskandar/Jawa Pos

PERWIRA pria yang berpangkat jenderal mungkin biasaJumlahnya sudah berjibun di korps militer maupun kepolisian

BACA JUGA: Basaria Panjaitan, Satu-satunya Jenderal Wanita di Polri

Tapi, wanita berpangkat jenderal, itu baru prestasi langka
Menjadi jenderal sekaligus ibu rumah tangga bukan pekerjaan mudah

BACA JUGA: Makin Berbahaya, Makin Istimewa

Bekerja di institusi militer menuntut mereka harus selalu siap bertugas jauh dari keluarga
Itu mungkin salah satu kendala kebanyakan perwira wanita sehingga "jarang" meraih promosi jenderal. 

Namun, di antara segelintir wanita perkasa tersebut, ada Brigjen Sri Parmini, 54

BACA JUGA: Perselingkuhan Berujung Saling Tukar Istri di Madura

Dia kini menjabat staf ahli tingkat II kawasan Eropa dan Amerika Serikat (AS)Sri menjadi seorang di antara tiga jenderal wanita di korps TNISebuah profesi langka bagi wanita Indonesia.

Ditemui di ruang kerjanya di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat pekan lalu (15/10), Sri jauh dari kesan galak dan tegas khas tentaraMengenakan pakaian dinas berwarna hijau dengan satu bintang di pundak, ibu dua anak tersebut justru lembut dan murah senyumMaklum, wanita kelahiran Boyolali itu dibesarkan dengan kultur tata krama khas Jawa Tengah, yang kalem dan penuh sopan santun.

Kultur itu pula yang membuat orang tua Sri heran saat anaknya mendaftar sebagai calon tentara pada 1981"Kowe opo wani dadi tentara (Apakah kamu berani jadi tentara, Red)?" kata Sri, menirukan ucapan sang ayahSri sejatinya juga maju mundur kala ituTapi, demi menenangkan hati sang ayah, dia mengangguk dengan tegas.

Apalagi, imbuh Sri, saat itu pendidikan Korps Wanita Angkatan Darat (Kowad) dilaksanakan di Bandung, Jawa BaratSri muda, yang baru lulus dari jurusan pendidikan sosial di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo, penasaranDia ingin jalan-jalan ke Kota Kembang tersebut"Adik sepupu saya yang ikut daftar bilang, eh nggak apa-apa, sekalian nanti lihat Bandung kayak apa," ujarnya"Maklum, saat itu kan saya masih muda banget," imbuh wanita berkulit cerah tersebut lantas tersenyum.

Orang tua Sri layak cemasSebab, Sri awalnya digadang-gadang menjadi guruKeluarga mereka juga tidak berlatar belakang militerSri bahkan sudah menghitung hari untuk mengajar IPS di sebuah sekolah di SoloApalagi, pada masa-masa itu tentara wanita masih jarang"Soalnya, dulu penasaran, seperti apa sih jadi tentaraPas ada pendaftaran wamil (wajib militer), ya sudah, ikut saja," ujarnya.

Saat menjalani pendidikan di Pusat Pendidikan (Pusdik) Kowad di Bandung, Sri kagetDia heran dengan kebiasaan di militer yang selalu tegas dan berbicara dengan nada tinggiBahkan, kepada atasan, mereka tetap bersuara keras saat mengucapkan kata "siap"

"Saya kan besar di SoloAwalnya kagetTentara kalau ngomong kok kayak marah-marah gitu, yaTapi, sekarang sudah biasa, memang harus begitu," tambah peraih penghargaan Yudha Dharma Nararya dan Kartika Eka Paksi tersebut.

Karena Sri lulusan jurusan keguruan, banyak teman semasa kuliah yang kaget saat mengetahui dirinya jadi jenderalSebab, umumnya, lulusan keguruan menjadi guru atau meniti jalur struktural pegawai negeri sipil (PNS)Saat menghadiri reuni kampus, dia diberondong banyak pertanyaan"Lho, Sri, kamu berarti bisa nembak?" katanya, menirukan pertanyaan teman-temannya"Nggak hanya bisa nembak, ngajari kamu nembak juga bisa kalau mau," jawab Sri sambil bercanda.

Saat kuliah di UNS, Sri memiliki "geng" beranggota tiga cewekGeng itu terdiri atas tiga mahasiswa sekelas yang bernama depan SriDua Sri lain menjadi guru dan kepala sekolahHanya Sri Parmini yang menyempal dari jalur sesama anggota geng"Sekarang masih sering kontak-kontakanSri Warsiti jadi kepala sekolah, Sri Hartini jadi guru," ujar dia lantas tersenyum

Selain itu, Sri Parmini harus memutar otak tiap kali dipindahtugaskan dan dipromosikanSebelum menjabat staf ahli tingkat II kawasan Eropa dan AS, dia bolak-balik dipindahtugaskanBeberapa tahun setelah lulus dari Pusdik Kowad, dia menjadi guru militerKemudian, dia menjabat Kaur di Dinas Pengamanan Sandi Angkatan Darat (Dispamsanad)Pada 1996"1998, dia menjabat wakil kepala ajudan jenderal (Waka Ajen) Kodam Jaya

Pada 2000-2004, dia kembali lagi ke Pusdik KowadKali ini ibu Ratih Pujiati, 25, dan Arif Widiatmoko, 20, itu menjadi komandan Pusdik Kowad sebelum akhirnya ditarik ke Mabes TNI pada 2005Karena prestasinya, Februari lalu dia diganjar pangkat bintang satu (brigadir jenderal) oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI George Toisutta.

Menurut Sri, mengelola rumah tangga sembari jadi jenderal susah-susah gampangYang penting, papar dia, selalu melibatkan keluarga sebelum mengambil keputusanTerutama, kedua anaknya.

Ketika dipilih menjadi segelintir orang yang harus menjalani pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) di Bandung pada 1995-1996, Sri membicarakannya dengan dua buah hatinya, Ratih dan ArifDia mengatakan kepada mereka bahwa dirinya hanya ada di rumah saat akhir pekanSri sangat khawatir saat ituSebab, Ratih masih berusia sepuluh tahun, sedangkan Arif baru berumur enam tahun waktu itu"Itu saat-saat terberat menjadi ibu dan mengabdi kepada negaraTapi syukur, anak-anak bisa mengerti," ucap dia.

Begitu pula ketika jadi komandan Pusdik Kowad di BandungItu lebih berat lagiSebab, dia harus berada di Bandung mulai Senin hingga JumatKalau tugas di Seskoad hanya setahun, di Kowad harus dijalani empat tahun

Namun, karena anak-anaknya sudah lumayan dewasa, Sri tak terlalu mengkhawatirkan merekaMalah, ketika hendak meminta persetujuan jagoan ciliknya, dia ditantang balik"Nggak apa-apa kok, BuYang penting, Sabtu dan Minggu ibu di rumah, kan" Adik sudah biasa, kok," ujarnya, menirukan ucapan anak ragilnya, Arif(aga/c11/iro)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sisa Kejayaan Sang Kaisar Kukar Syaukani HR


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler