Mereka Preman, Bukan Mahasiswa

Selasa, 29 April 2014 – 16:51 WIB
Anton Medan. Foto: dok.JPNN

jpnn.com - AKSI kekerasan yang berakibat melayangnya nyawa mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Marunda, Jakarta Utara, asal Medan, Dimas Dikita Handoko, menambah catatan hitam dunia pendidikan.

Sebagaimana pernah terjadi beberapa kali di kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), aksi kekerasan yang dilakukan tujuh mahasiswa STIP itu dinilai sejumlah kalangan sebagai bentuk arogansi senior kepada yuniornya.

BACA JUGA: Belum Ada yang Usulkan NIP

Namun, mantan penjahat kelas kakap, Anton Medan, punya penilaian lain.  Menurut pemilik nama asli Tan Hok Liang yang kini menjadi penceramah kondang itu, ada sejumlah faktor lain yang disinyalir ikut mendorong Angga dkk bertindak brutal kepada Dimas dan enam rekan seangkatannya.

Berikut wawancara wartawan JPNN.com Soetomo Samsu dengan Anton Medan, yang cukup mengenal kawasan Marunda lantaran punya ribuan "anak binaan" yang sebagian mantan preman dan pengguna narkoba di kawasan itu, di Jakarta, Senin (28/4).

BACA JUGA: Honorer K2 Bodong Ditinggal Saja

Menurut Anda, faktor apa saja yang memicu aksi kekerasan mahasiswa STIP itu?

Saya melihat dari faktoe geografis ya. Marunda itu daerah para perantauan. Marunda itu daerah panas. Para perantau dari daerah-daerah panas kumpul di situ. Makassar, Batak, Banten, di situ banyak sekali. Aksi kekerasan cukup sering terjadi di situ. Daerahnya padat, panas. Cuaca juga panas, daerah pantai, pelabuhan. Ini saya yakin ikut mempengaruhi.

BACA JUGA: Ini Tontonan Konflik yang Tidak Islami

Tapi ini baik pelaku maupun korban semuanya dari Medan. Bagaimana Anda melihatnya?

Memang egoisme sebagai senior dari satu daerah, juga berpengaruh. Bisa juga kemungkinan ada faktor balas dendam pelaku terhadap korban. Bisa jadi, saat semasa masih SMA di Medan, antarsekolah mereka pernah terjadi tawuran pelajar. Nah, di STIP itu dijadikan ajang balas dendam. Karenanya, saya sarankan, di masing-masing daerah itu biasakan bangun keakraban antarsekolah. Caranya bisa dengan main bola bareng, atau apa pun, supaya mereka saling kenal dan akrab, berteman, bukan bemusuhan.

Jadi bukan semata arogansi senior terhadap yunior?

Bisa jadi itu tapi kemungkinan memang pelaku sudah punya mental menjadi preman. Begitu dia (Angga, red) menjadi Ketua Mahasiswa STIP asal Medan, maka dia memamerkan kekuasaannya. Dia unjuk gigi sebagai penguasa ala preman. Mereka itu bukan mahasiswa, bukan intelektual, tapi preman.

Anda menyebut Marunda daerah panas,  apa perlu kampus STIP dipindah lantaran aksi kekerasan bukan kali ini saja?

Tidak mungkin kampus dipindah karena sekolah pelayaran memang harus dekat laut. Yang perlu dilakukan, pihak kampus mengurangi faktor-faktor pemicunya. Antara lain, model pengawasan yunior yang diserahkan ke senior, itu tidak baik. Mereka itu kan juga kos di daerah Marunda, daerah panas, warga perantuan temperamen tinggi, keras, mereka akan terpengaruh.

Jadi apa solusi yang efektif?

Yang perlu dilakukan perlu diefektifkan peran tokoh agama di sana. Termasuk di titik-titik yang banyak anak-anak kosnya. Misal seminggu sekali ada pencerahan dari tokoh agama, biar adem. Pihak kampus bekerjasama dengan para tokoh agama. Itu kawasan rentan gesekan. Tokoh-tokoh agama yang bisa menyejukkan.

Kalau proses hukum, apa bisa mengerem terulangnya kembali peristiwa kekerasan?

Ya, proses hukum harus tegas. Mereka para pelakunya itu harus diproses karena itu aksi premanisme, bukan kenakalan. Kalau proses hukum tegas, akan menimbulkan efek jera, tidak akan terulang lagi. Tapi sekali lagi, faktor-faktor lain tadi juga harus diperhatikan.***

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Saya Siap Melawan


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler