Mereka Sudah Terbiasa Membenci Polisi

Rabu, 30 Mei 2018 – 00:12 WIB
Kartini Lubis berinteraksi dengan santri Pesantren Al Hidayah Senin lalu (21/5). Foto: KHAFIDLUL ULUM/Jawa Pos

jpnn.com - Tiap selesai salat Subuh, kelas khusus deradikalisasi disampaikan di Pondok Pesantren Al Hidayah, Deli Serdang, Sumut, dalam bentuk kisah teladan. Ada pula materi kebangsaan yang disampaikan aparat. Kini banyak santri yang bercita-cita jadi polisi atau tentara.

KHAFIDLUL ULUM, Deli Serdang

BACA JUGA: Irjen Setyo Wasisto: Itu Cukup Bagi Polri

TIAP kali ada berita penangkapan terduga teroris, apalagi diwarnai penembakan, Kartini Lubis sudah bisa membayangkan apa yang akan dia hadapi di kelas. Sederet pertanyaan kritis dari para santri.

Terutama yang berkisar pada: Kenapa selalu ada penembakan? ’’Biasanya saya jelaskan, penembakan itu terjadi karena ada perlawanan. Kalau tidak salah, tak perlu melawan, menyerahkan diri saja,’’ kata salah seorang pengajar di Pesantren Al Hidayah, Deli Serdang, itu kepada Jawa Pos pada Senin lalu (21/5).

BACA JUGA: Perangi Terorisme, Panglima TNI Minta Elemen Bangsa Bersatu

Maklum, yang dia hadapi adalah anak-anak para pelaku tindak terorisme. Memang, deradikalisasi menjadi program reguler di pesantren yang berlokasi di Desa Sei Mencirin tersebut. Dan, telah membuahkan hasil.

Namun, tiap kejadian penangkapan tentu masih sangat sensitif bagi mereka. Seperti membuka lagi kenangan lama yang tengah berusaha dihapus. Apalagi, orang tua sebagian di antara mereka tewas di tangan aparat.

BACA JUGA: Polri Waspadai WNI yang Berkunjung ke Turki

Karena itu pula, setiap tamu ke pesantren yang mulai didirikan pada 2015 tersebut selalu diwanti-wanti. Jangan sampai mengungkit masa lalu orang tua mereka. Atau bagaimana mereka meninggal.

Sebab, hal itu bertolak belakang dengan semangat deradikalisasi di Al Hidayah. Upaya keras mengikis kebencian yang diwariskan orang tua setiap santri. Yang dilakukan secara rutin. Tiap selesai salat Subuh...

***

Kelas khusus itu berlangsung di kelimun pagi yang segar. Di hadapan wajah-wajah yang baru menunaikan salat Subuh.

Kepada mereka, Khairul Gazali, pemimpin Pesantren Al Hidayah, akan memaparkan materi deradikalisasi lewat kisah-kisah teladan. Misalnya, sifat pemaaf Nabi Muhammad.

’’Bagaimana ketika Nabi justru membawakan makanan dan menyuapi seorang perempuan Yahudi buta yang kerap mencercanya,’’ kata mantan narapidana terorisme itu kepada Jawa Pos.

Bukan hanya itu. Gazali juga selalu menyisipkan materi Islam rahmatan lil alamin dalam setiap pelajaran agama. Yaitu, dalam pelajaran akhlak, tauhid, fikih, dan sirah atau sejarah Islam.

Pada pelajaran akhlak, para santri diajari cara berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun. Menghormati sesama, saling menolong, saling mengasihi, serta menjauhi sifat dengki, dendam, dan marah.

’’Nilai itu sangat penting bagi siswa untuk memulihkan paradigma mereka yang selama ini membenci polisi dan pemeluk agama lain,’’ kata Gazali.

Dia masih ingat betul reaksi para santri pada masa-masa awal Al Hidayah. Ketika suatu kali polisi harus sering turun ke Desa Sei Mencirin karena adanya laporan perusakan papan nama pesantren.

Petugas dari Polsek Kutalimbaru pun bergerak cepat meredam gejolak sebagian warga yang menolak keberadaan pesantren. Mereka memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa yang dilakukan Al Hidayah justru mencegah puluhan anak berusia 13–14 tahun itu jatuh pada rayuan radikalisme.

Otomatis, polisi juga sering singgah ke pesantren. Dan, itu rupanya tidak bisa diterima dengan mudah oleh para santri. ’’Mereka sudah terbiasa membenci polisi,’’ ucap Gazali.

Dari orang tua, mereka mewarisi keyakinan bahwa polisi dan tentara adalah thaghut. Penyembah selain Allah yang merupakan bentuk kekafiran.

Nah, ketika sering melihat kembali polisi, kebencian muncul kembali. Mereka memang tidak melakukan reaksi apa pun.

Efeknya lebih ke psikologis. Diam, murung, dan selanjutnya malas belajar. Otomatis, beban para pengasuh santri jadi semakin berat.

Gazali dan para pengajar harus berupaya keras mengikis dendam dan kebencian kepada aparat itu. Perlahan, kepada para santri, ditanamkan pengertian tentang tugas mulia yang dilakukan polisi: menjaga ketertiban dan keamanan, menangkap penjahat, dan memberikan pelayanan bagi masyarakat.

Nilai kasih sayang, saling menghormati, tolong-menolong, dan saling memaafkan tak henti-hentinya diberikan. ’’Kami berusaha keras mengubah paradigma mereka,’’ ucapnya.

Begitu pula dalam pelajaran fikih, mereka diberi pemahaman bagaimana menghormati perbedaan pendapat. Sebab, fikih tidak lepas dari persoalan khilafiah. Dalam pelajaran tauhid, keyakinan mereka semakin dimantapkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah agama damai.

Polisi juga diberi kesempatan menyampaikan materi. Dalam sebulan bisa sampai dua kali. Salah satunya, materi dari bhabinkantimbas Desa Sei Mencirin Aiptu Yudilapian.

Dia memberikan materi wawasan kebangsaan. Misalnya, memahami Pancasila. Para santri juga diajak berdialog.

’’Kadang Kapolsek Kutalimbaru turut langsung memberikan pembelajaran,’’ ucapnya saat ditemui seusai salat Duhur di Masjid Al Hidayah.

Mereka juga diajak mencintai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bentuknya sederhana saja: dengan rajin belajar.

Setelah enam bulan, upaya tersebut membuahkan hasil. Dendam terkikis. Bahkan, sebagaimana disaksikan Jawa Pos saat berkesempatan menjadi pengajar dadakan, banyak di antara mereka yang kini bercita-cita menjadi polisi atau tentara.

Yudilapian mengaku, dirinya juga sering mendapat pertanyaan soal hukum membunuh orang. Pertanyaan serupa diajukan kepada Jawa Pos saat berkesempatan mengajar. ’’Saya selalu tegaskan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan pembunuhan,’’ tegas Yudilapian.

***

M. Haris Iskandar menulis sepotong kalimat yang dinukil dari Sepatu Dahlan di papan putih. ’’Siapa yang tahu Sepatu Dahlan?’’ tanya dia kepada para siswa pada Senin siang lalu.

Tak satu pun santri menjawab. Haris pun menjelaskan bahwa Sepatu Dahlan adalah judul novel yang terinspirasi kisah nyata mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan.

Dahlan kecil lahir dari keluarga tak mampu. Tapi, lanjut dia kepada para santri, karena tekun, ulet, dan bekerja keras, Dahlan akhirnya menjadi orang sukses. Menjadikan Jawa Pos koran terbesar di Indonesia, pernah menjadi direktur utama PLN dan kemudian menteri BUMN.

’’Dan yang perlu kalian ketahui, Pak Dahlan adalah alumni pesantren. Jadi, asal mau kerja keras, kalian juga bisa menjadi orang sukses seperti beliau,’’ ungkapnya.

Haris bersama Kartini adalah dua di antara enam pengajar di Al Hidayah. Mereka semua sukarelawan. Tak ada yang digaji.

Menurut Gazali, para pengajar itu hanya mendapat bagian dari hasil panen. Sebagian lahan pesantren memang digunakan untuk pertanian dan peternakan. Selain diajari pelajaran dalam kelas, para siswa diajak bertani dan beternak ikan. ’’Kami sedang menanam jagung, singkong, dan sayuran,’’ ujarnya.

Haris mengaku bergabung karena tertarik dengan cita-cita Gazali membina anak-anak para pelaku tindak terorisme. ’’Saya kenal Ustad Gazali dari media. Saya baca berita tentang sosok beliau,’’ ucapnya.

Alumnus jurusan biologi Universitas Indonesia itu pun tertantang. Dan, akhirnya memilih keluar dari Sekolah Khairul Imam dan bergabung dengan Gazali. Padahal, selain tak digaji, sering kali dia harus mengeluarkan biaya sendiri. Misalnya, untuk membeli pensil, spidol, kertas, dan kebutuhan pembelajaran lainnya.

BACA JUGA: Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris

Sama dengan Haris, Kartini bergabung karena tergerak dengan misi Gazali. ’’Tidak ada yang nyuruh, saya yang daftar sendiri,’’ tegasnya. Bagi dia, para santri Al Hidayah adalah anak-anak yang lugu dan pendiam. Mereka tidak banyak tahu dunia luar. Karena keluguan itu, mereka gampang didoktrin.

’’Mengajar mereka harus betul-betul dengan hati yang jernih dan tulus. Jangan pernah mengajarkan kebencian kepada mereka,’’ tegasnya.

Dan, dia lega karena perjuangan kerasnya bersama seluruh pengajar serta pengelola Al Hidayah mulai membuahkan hasil. Dendam dan kebencian mulai terkikis. Saat ini juga sedang dibangun enam ruang kelas.

Mulai tahun ini, Al Hidayah akan menerima santri dari luar Sumatera Utara. Juga siswa dari luar yang bukan anak mantan teroris. ’’Agar mereka nanti bisa membaur,’’ katanya. (*/c5/ttg)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Pesantren Al Hidayah, Mengikis Dendam Anak Para Teroris


Redaktur & Reporter : Soetomo

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler