jpnn.com, BATAM - Program relokasi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, menyisakan masalah hak asasi manusia (HAM) bagi mereka yang pro maupun kontra. Sudah banyak narasi yang memunculkan pihak yang bertahan atas kampungnya. Namun, bagi mereka yang menerima relokasi, ternyata tak lebih parah penderitaannya. Padahal visi mereka hanya satu, ingin hidup yang lebih baik.
Seperti Juliana, warga Kampung Pasir Panjang, Kecamatan Sembalung, Pulau Rempang. Dia harus menerima hukuman sosial karena menerima program relokasi dari Badan Pengusahaan (BP) Batam.
BACA JUGA: Heboh Relokasi Penempatan PPPK ke Sekolah Asal, Dirjen Nunuk Angkat Bicara
Janda tiga anak itu diasingkan dari kampung halamannya bahkan dianggap pengkhianat oleh warga setempat.
Perempuan yang karib disapa Yana ini tak bisa berbuat banyak. Yana sudah berpisah dari suaminya sejak 2019. Menjadi seorang janda di kampung tentu tidak mudah. Yana tak bisa banting setir bernelayan seperti mata pencarian yang dilakukan pria di sana. Bertani pun, Yana tak punya lahan yang cukup.
BACA JUGA: BTN Relokasi Kantor Cabang di Cirebon
Sejak 2019 menjanda hingga saat ini, Yana berjuang sendiri. Tak ada yang membantunya. Tiga anaknya, ikut pada Yana. Padahal, Yana di kampung itu bukan orang sembarangan. Dia tokoh masyarakat. Ketua RT dua periode, sejak 2016 hingga 2020. Di eranya-lah, listrik masuk kampung. Di eranya juga musala, lapangan olahraga, hingga fasilitas lainnya terbangun.
Setelah tak menjadi RT sejak 2020, Yana pun memilih bekerja di kota. Tiga anaknya harus diberi makan, pendidikan, hingga pakaian yang layak.
BACA JUGA: Kapolresta Barelang: Relokasi PSN Rempang Eco City Berjalan Aman
"Selama ini, saya pulang pergi dari rumah ke Pasar Jodoh Batam setiap hari. Saya bekerja di pasar itu," kata Yana dengan wajah lesuh saat ditemui di Kota Batam, Selasa (1/3).
Jarak antara rumahnya dengan Pasar Jodoh hampir 70 km. Itu dia tempuh dengan sepeda motornya lebih dari sejam. Tergantung dengan kondisi lalu lintas. Bukan hal yang mudah bagi perempuan kelahiran 1991 itu.
Begitu juga dengan adanya tawaran relokasi dan proyeksi investasi di Pulau Rempang. Mulanya, Yana adalah tokoh vokal menyuarakan penolakan. Namun setelah menyimak dengan kepala dingin, Yana akhirnya melihat peluang. Dia tak mau hidup begitu terus.
"Dari dulu kehidupan di sini ya begini-begini saja. Tidak ada perkembangan. Yang laki-laki nelayan, ibu-ibu, ya, berkebun atau mengurus rumah tangga. Dari dulu saya di sini ya tidak ada perubahan apa-apa," kata Yana.
Foto: Kondisi rumah di Sembulang.
Yana ingin ada perubahan dalam hidupnya. Bukan hanya itu, dia sangat menginginkan ketiga anaknya mendapatkan banyak kesempatan di tanah kelahirannya. Yana mengatakan sejumlah perusahaan dan industri akan dibangun di Pulau Rempang. Penyerapan tenaga kerjanya juga sangat besar. Putra daerah menjadi prioritas untuk bekerja. Belum lagi melihat kesempatan yang muncul dari geliat ekonomi di sini.
"Saya hanya ingin perubahan. Ingin hidup berubah, terutama untuk anak-anak. Karena yang saya kerjakan dan usahakan jauh sebelum rencana investasi ini ialah memang untuk anak-anak," kata Yana.
Namun apa daya, pilihan Yana untuk mengubah hidup kini mendapat kecaman dari orang kampung yang menolak relokasi. Dia bahkan terkesan diusir dari kampung. Memang di pintu masuk kampung, warga sudah membuat portal. Di situ ada tulisan yang menyebutkan warga yang menerima relokasi dilarang masuk. Ada juga tulisan "Tolak Relokasi".
Yana juga sudah tidak pernah masuk ke kampungnya dalam dua-tiga bulan ini. Awal dia menerima program relokasi, dia mendapat tekanan. Terutama adiknya yang berada di rumah. Pernah suatu ketika, saat Yana berada di luar, warga berbondong-bondong datang ke rumahnya. Adiknya yang di rumah sampai takut. Melalui telepon video, Yana melihat sang adik menangis ketakutan.
Yana juga mendapat perlakuan tak mengenakkan, mulai dari sindiran hingga cemoohan yang merendahkan perempuan. Yana sampai tiga kali melaporkan kejadian itu ke aparat kepolisian. Yana juga menerima semua permintaan maaf dari warga sehingga berhenti di jalur damai.
Yana akhirnya tidak nyaman dengan kondisi itu. Dia menyebut sang anak dulu masih sekolah di kampung tersebut. Sampai-sampai, dia harus menitipkan anaknya kepada eks mertuanya. Namun, Yana tak masuk ke kampung, hanya menunggu di persimpangan.
"Sekarang saya memilih untuk menghindar saja," kata Yana.
Selain Yana, ada juga Anisah. Warga Kampung Sembulang Tanjung ini juga memilih untuk relokasi. Dia punya alasan yang sama dengan Yana.
Anisah yang juga bekas ketua RT di kampung tersebut ingin kehidupan yang lebih baik lagi. Anisah yang merupakan generasi keenam di kampung tersebut melihat kondisi daerahnya begitu-begitu saja sejak dulu.
Namun, Anisah mengatakan pihak yang menolak keras dirinya ialah pendatang. Anisah juga dianggap pengkhianat dan penjual kampung. Padahal, Anisah meyakini tidak ada tanah ulayat seperti yang disebut-sebut oleh pihak yang menolak relokasi. Menurut dia, tidak ada acara atau festival tahunan yang menunjukkan budaya yang kuat di tanah tersebut.
"Saya juga bingung kenapa sekarang dirayakan Hari Tani. Dulu tidak pernah ada itu, terus mana ada warga di sini bertani, Melayu Rempang, ya, nelayan," kata Anisah.
Anisah juga mengatakan langkah pemerintah memberi pergantian kepada warga untuk rekolasi sudah adil. Setiap jengkal tanah dan bangunan dihargai. Begitu juga tanaman milik warga. Anisah juga menyampaikan sudah 80 persen penduduk di Kampung Sembulang Tanjung (sebelumnya terdapat kesalahan penulis, ditulis Hulu) sudah menerima untuk relokasi.
Foto: Rumah relokasi yang disediakan BP Batam kepada warga
"Saya dulu salah satu tokoh yang aktif menolak, tetapi saya ingin perubahan," kata Anisah.
Di sejumlah kampung yang ada di Sembalung memang terlihat terdapat portal. Ada juga spanduk dengan berbagai pesan, yang intinya menolak relokasi. Setiap orang yang ingin melewati portal itu ditanyakan maksud dan tujuannya.
"Mau ke mana? Kalau tidak punya kepentingan dilarang masuk," kata seorang warga yang menjaga posko sembari menutup portal arah masuk ke kampung.
Salah satu warga yang tidak mau disebutkan namanya mengaku datang ke daerah Sembalung pada 2002. Saat tiba di daerah itu, sejauh mata memandang ialah hutan. Warga perantauan dari Pulau Jawa itu mengaku mengenal daerah ini karena ikut dalam pembangunan Camp Vietnam era Presiden Soeharto.
"Dulu di sini hutan. Banyak babi liar," kata laki-laki yang membuka kedai di kampung tersebut.
Singkat cerita, dia membawa istrinya ke daerah itu. Pria berusia lebih dari 50 tahun itu mematok tanah dan menempati lahan tersebut. Kini setelah adanya rencana relokasi, dia sebenarnya tidak memiliki sikap yang tegas. Namun, dia menanyayangkan sikap pemerintah yang kurang apik dalam melakukan sosialisasi.
Namun di sisi lain, dia juga khawatir akan kesehatan dirinya. Karena kedai yang juga rumahnya sering didatangi oleh aparat keamanan untuk makan atau sekadar mengopi, hal itu mendapat sorotan dari warga sekitar. Pria yang mengenakan baju kerah ketika ditemui ini takut dianggap prorelokasi oleh warga sekitar karena kedainya ramai aparat keamanan.
"Saya sebenarnya serba salah. Menerima aparat bisa dibilang pengkhianat. Padahal mereka ya cuma ngopi. Saya takut kalau nanti rumah saya dibakar," kata dia. (jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Atang Sampaikan Sejumlah Rekomendasi Terkait Wacana Relokasi Pasar Bogor
Redaktur & Reporter : Tim Redaksi