jpnn.com, JAKARTA - Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma menanggapi penetapan proyek pembangunan PT Pupuk Kalimantan Timur (Pupuk Kaltim) di Kabupaten Fakfak, Papua Barat sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) oleh Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian).
Senator Filep mengaku heran dengan penetapan itu lantaran nama PT Pupuk Kalimantan Timur tidak pernah disebutkan sebagai PSN Papua Barat dalam Peraturan Presiden (Perpres) termasuk dalam beberapa kali perubahannya.
BACA JUGA: Intan Fauzi Dorong Adhi Karya Selesaikan Beberapa Proyek Strategis Nasional
Akan tetapi, Kick Off Ceremony pembangunan proyek sudah dilakukan oleh jajaran Direksi bersama Dewan Komisaris Pupuk Kaltim pada Selasa, 10 Januari 2023.
“Sejauh pengamatan saya, tidak ada penyebutan PT Pupuk Kalimantan Timur sebagai PSN Kawasan Industri Pupuk di Kabupaten Fakfak Papua Barat dalam Perpres, termasuk dalam beberapa kali perubahannya,” ungkap Filep, Senin (16/1/2023).
BACA JUGA: Gandeng Jusung, GRP Ikuti Tender Proyek Strategis Nasional USD 310 Juta
Filep mengkhawatirkan akan menjadi persoalan serius mengingat pengalaman sosial politik masyarakat di Papua Barat secara umum yang seringkali bersinggungan dengan pemerintah, terutama jika berhubungan dengan penggunaan lahan masyarakat adat.
Filep menerangkan ketentuan mengenai Proyek Strategis Nasional diatur dalam Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
BACA JUGA: Pemerintah Dorong Pengembangan PSN Prioritas di Berbagai Wilayah Indonesia
Khusus untuk Papua Barat, terdapat PSN berupa Pembangunan Pelabuhan Sorong, Teluk Bintuni, dan Percepatan Infrastruktur Kawasan Ekonomi Khusus Sorong.
Perpres ini diubah dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang dalam lampirannya menyebutkan Pembangunan Pelabuhan Sarong Seget, Proyek Tangguh LNG Train 3, Kawasan Industri Teluk Bintuni, dan Kawasan Ekonomi Khusus Sorong.
Perpres ini diubah lagi dengan Perpres Nomor 56 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang dalam lampirannya menyebutkan Proyek LNG Tangguh Train 3, Kawasan Industri Teluk Bintuni, dan Kawasan Ekonomi Khusus Sorong.
Selanjutnya, Perpres ini diubah lagi dengan Perpres Nomor 109 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang dalam lampirannya menyebutkan PSN di Papua Barat adalah Pengembangan Pelabuhan Sorong Eksisting dan Arar, Pembangunan Bandar Udara Siboru Fakfak, Kawasan Industri Teluk Bintuni, Proyek Tangguh LNG Train 3.
“Tidak ada penyebutan PT Pupuk Kalimantan Timur itu. Jadi, saya harap pemerintah betul-betul konsisten dalam menerapkan kebijakan investasi di tanah Papua,” kata Senator Filep.
Selain itu, lanjut Filep, dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko Perekonomian) Nomor 9 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional, disebutkan bahwa PSN di Papua Barat meliputi Pengembangan Pelabuhan Sorong, Pembangunan Bandar Udara Siboru Fakfak, Kawasan Industri Teluk Bintuni, Proyek Tangguh LNG Train 3, dan Pembangunan Kelapa Dalam dan Industri Provinsi Papua Barat Turunannya.
Dalam Permen ini juga tidak ada penyebutan PT Pupuk Kalimantan Timur sebagai PSN Kawasan Industri Pupuk di Kabupaten Fakfak Papua Barat.
“Namun, dalam Pasal 3 Ayat (2) PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, disebutkan bahwa Menteri/kepala lembaga/kepala daerah dan Badan Usaha mengajukan usulan Proyek Strategis Nasional kepada Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Mungkin berdasarkan ini, Kemenko Perekonomian pun menetapkan PSN itu,” kata Filep.
Terkait hal itu, Wakil Ketua Komite I DPD RI ini mengingatkan perihal pengalaman masyarakat 7 suku di Kabupaten Teluk Bintuni terkait BP Tangguh.
Menurut Filep, penyelesaian pembayaran ganti kerugian harus melewati prosedur yang panjang, perdebatan, demonstrasi, dan hal-hal lainnya untuk mendapatkan hak-hak bagi masyarakat adat.
“Dalam ruang lingkup itu, penguatan posisi masyarakat adat dalam UU Otsus Papua yang baru juga harus diperhatikan. Eksistensinya harus terus diakui, dipertahankan, dipelihara, dan dikembangkan. Itulah sebabnya 10 persen dari Dana Bagi Hasil (DBH) Migas diperuntukkan bagi pemberdayaan masyarakat adat,” ungkap Filep.
Lebih lanjut, Filep menuturkan berkaitan dengan pemanfaatan tanah untuk PSN, PP Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional, mewajibkan Menteri untuk melakukan koordinasi penetapan strategi kebijakan dan persetujuan atas penanganan dampak sosial yang diajukan oleh menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/wali kota.
Artinya, pemerintah diharuskan memiliki kebijakan untuk menangani dampak sosial misalnya penolakan masyarakat adat, penolakan ganti kerugian, termasuk dampak lingkungan yang ditimbulkan.
“Pertanyaannya, apakah pemerintah daerah sudah mengajukan bentuk atau jenis dampak sosial untuk dianalisis oleh pemerintah pusat?” tanya Filep.
Filep mengingatakan pengalaman traumatis masyarakat adat di Papua Barat kaitan dengan pembangunan sudah sering dialami.
“Jangan sampai ini menjadi bumerang bagi pemerintah karena PP tersebut menegaskan bahwa menteri melakukan fasilitasi penyelesaian permasalahan dalam perizinan berusaha dan pengadaan tanah bagi Proyek Strategis Nasional,” ujarnya.
Dalam PP ini, Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota harus menyiapkan program dan anggaran untuk penanganan dampak sosial bagi masyarakat terdampak langsung, yaitu masyarakat yang menguasai tanah negara atau tanah yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, BUMN, atau badan usaha milik daerah, masyarakat yang memiliki hak atas tanah, atau masyarakat yang mengalami kerugian secara langsung dan terukur.
“Dengan demikian, dampak sosial, misalnya pengadaan tanah untuk PSN di Papua Barat, harus dapat diselesaikan secara terintegrasi, efektif, dan efisien, tanpa meninggalkan konflik berkepanjangan,” ujar Filep.
Dalam kesempatan yang sama, senator Filep juga menyoroti sosialisasi yang dinilainya tidak cukup terdengar terkait lokasi proyek Pupuk Kaltim.
Filep menilai langkah dengar pendapat, penjaringan aspirasi, pelibatan masyarakat terdampak sama sekali kurang terdengar.
Padahal, semua poin itu sangat penting bagi ruang hidup masyarakat dan kelanjutan Otsus Papua Barat.
Oleh sebab itu, Filep menekankan sejumlah poin penting terhadap penetapan PSN Pupuk Kaltim di Fakfak.
1. Harus ada kepastian hukum terkait keberadaan PT Pupuk Kaltim yang ditetapkan sebagai PSN di Fakfak Papua Barat, baik di level Perpres maupun di level Kepmen, yang disesuaikan dengan kebijakan dalam UU Otsus Papua;
2. Harus ada sosialisasi dan penjaringan aspirasi masyarakat secara menyeluruh terkait PSN tersebut, khususnya kepada masyarakat terdampak, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah;
3. Harus ada kejelasan pengelolaan dan penanggulangan dampak sosial yang ditimbulkan dengan adanya kawasan industri pupuk tersebut;
4. Harus ada pelibatan masyarakat terdampak dan masyarakat Fakfak seluruhnya terkait perekrutan tenaga kerja;
5. Tidak diperkenankan adanya konsinyasi yang akan berdampak pada kerugian secara finansial yang dialami masyarakat terdampak, khususnya bila berkaitan dengan masyarakat adat.
Menurut Filep, apabila hal-hal di atas tidak diatur dengan baik, maka selayaknya muncul pertimbangan bahwa PSN Pupuk Kaltim tersebut dibatalkan atau ditunda dulu.
"Pembatalan ataupun penundaan ini akan memberikan kesempatan kepada pemerintah daerah untuk memfokuskan pelaksanaan Otsus jilid 2 agar afirmasi terhadap harkat dan martabat OAP dapat dicapai, daripada sekedar mendatangkan industri yang menihilkan pelibatan OAP,” ujar Filep.(fri/jpnn)
Redaktur & Reporter : Friederich Batari