Merger 3 Bank tak Disetujui BI

Desakan Boediono-Sri Nonaktif Makin Kuat

Rabu, 16 Desember 2009 – 17:42 WIB

JAKARTA - Penjelasan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) di hadapan Pansus Angket Century tentang dugaan telah terjadinya pelanggaran oleh Gubernur BI Boediono saat itu dalam memuluskan proses merger Bank Century, sudah cukup jelasKarena itu, seharusnya perdebatan soal adanya pelanggaran atau tidak sebaiknya dihentikan.

“Sudah jelas semuanya

BACA JUGA: Pemeriksaan Ismeth Abdullah Tinggal Tunggu Waktu

Saya beri apresiasi yang besar kepada BPK
Dalam konsultasi dengan BPK disebut Burhanudin Abdullah yang saat itu menjadi Gubernur BI menyatakan tidak pernah memberi persetujuan untuk dilakukan merger tiga bank (CIC, Danpac dan Pikko) menjadi Bank Century,“ kata anggota Pansus Angket Century dari Fraksi Partai Hanura, Akbar Faisal kepada wartawan di press room DPR RI Jakarta, Rabu (16/12).

Atas temuan investigasi BPK tersebut, Akbar menegaskan sudah cukup alasan bagi fraksinya meminta penonaktifan Menkeu Sri Mulyani dan Wapres Boediono supaya tidak mengganggu pemeriksaan pansus

BACA JUGA: Jakarta Bakal Mirip Kalkuta

Karena penjelasan BPK dinilai sangat jelas dan telak
“Apabila tidak dinonaktifkan, saya khawatir akan ada indikasi penyalahgunaan kewenangan untuk melawan hukum dan lawan-lawan politiknya,” kata anggota Komisi III DPR itu lagi.

Meskipun demikian, imbauan ini dikembalikan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyikapinya

BACA JUGA: Sri Mulyani Dilaporkan ke KPK

“Kami para pengusung angket menyatakan dengan penjelasan BPK setidaknya Pansus sudah sejalan dalam menindaklanjuti temuan ini dan jangan ada lagi resistensi untuk membelokan isu di pansusAda upaya dari luar untuk menggiring pada hal yang tidak jelas,” tambahnya.

Sementara pembicara lainnya Presiden Negarawan Center, Johan O Silalahi mengecam langkah Menkeu Sri Mulyani yang diduga menghalangi BPK membuka rekamanKarena itu dia juga mendesak agar presiden segera menonaktifkan Sri Mulyani“Saya minta presiden menonaktifkan Sri Mulyani kalau tidak maka SBY dua kali melanggar UUD 45 pertama soal Perppu No.4 tentang JPSK dan membiarkan pembantunya melecehkan UUD pasal 23 E tentang BPK,” kata dia.

Tekait pernyataannya soal pelanggaran UUD 45 oleh Presiden SBY, Johan Silalahi menambahkan kalau SBY telah melanggar pasal 27 ayat 1 UUD 1945 tentang persamaan warga negara di depan kukum, karena telah memberikan kekebalan hukum kepada Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan semua pihak yang melaksanakan tugas sesuai Perppu 4/2008 tentang Jaringan Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). 

“Presiden telah memberikan kekebalan hukum kepada Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan atau semua pihak yang melaksanakan tugas sesuai Perppu 4/2008 tentang JPSK, dalam mengambil keputusan atau kebijakan yang berkaitan dengan Jaringan Penanganan System Keuangan,” kata Johan.

Dijelaskannya, sesuai pasal 27 ayat 1 UUD 1945, semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya“Jadi SBY telah melanggar UUD 1945,” ujarnya.

Bahkan Presiden dan Wakil Presiden sekalipun, lanjut dia, tidak memiliki kekebalan hukum dan harus tunduk pada pasal 7 dan pasal 8 UUD 1945, karena bisa diberhentikan (dimakzulkan) pada saat melaksanakan tugas dan kewajibannya apabila terbukti telah melanggar hukum, berupa pengkhianatan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan wakil presiden.

Karena sesuai dengan aturan pasal 4 ayat 1 UUD 1945, jelasnya, Presiden RI memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945Tapi tidak diberikan hak dan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memberikan kekebalan hukum  pada siapa pun dan dengan alasan apa pun tanpa kecuali“Jika melanggar, SBY bisa dimakzulkan dari jabatannya,” tegas Johan.

Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar yang juga anggota Pansus Angket Century, Chairuman Harahap menilai praktek penyelenggaraan negara diisi oleh orang-orang yang tidak memahami konstitusi.

Menurutnya, penyelenggara negara cenderung memanfaatkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) sebagai jalan pintas menyelesaikan persoalanPadahal, sesuai UUD 45, Perppu hanya bisa dikeluarkan jika keadaan genting dan memaksa, itu pun harus mendapat persetujuan DPR.

“Jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabutPerppu bukan untuk meniadakan legislatif dan yudikatifSekarang banyak yang mendorong masalah negara diselesaikan lewat PerppuPadahal ini membuka pintu penyeleweangan UUD 45,” jelasnya.

Chairuman mengatakan, ada indikasi pemerintahan saat ini menjurus diktator seperti masa pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto“Kita tidak ingin pemerintahan saat ini seperti masa lalu yang gemar mengeluarkan keppres jika ada sesuatu yang dibutuhkan presiden,” tegasnya(fas/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... BPK Tolak Berikan Dokumen KSSK


Redaktur : Soetomo Samsu

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler