JAKARTA—Dalam melakukan evaluasi program penuntasan buta aksara, pemerintan seharusnya lebih fokus pada faktor kualitatifNamun sayangnya, hingga saat ini justru yang dilihat hanya dari segi kuantitatifnya saja.
Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untukUNESCO, Arief Rahman mencontohkan, evaluasi kualitatif itu bisa dilihat dari sikap seseorang
BACA JUGA: Pemda dan Budaya Hambat Pemberantasan Buta Aksara
“Itu kan harus dievaluasi
BACA JUGA: Saatnya Evaluasi Kebijakan UN dan RSBI
Itu yang tidak dihitungBACA JUGA: Sekolah Berasrama Cocok di Perbatasan
Bukan seperti itu,” ungkap Arif ketika ditemui di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Jakarta, Jumat (21/10).Menurutnya, penilaian terhadap semua produk pendidikan termasuk keaksaraan itu harus menghitung pada kuantitatifTetapi juga pada hal-hal yang intangible (tidak berwujud) dan kualitatif.
Selain itu, Arif juga menyebutkan ada tiga masalah yang penting di dalam program penuntasan buta aksara iniYaitu, attitude (sikap), habit (kebiasaan), dan dorongan-dorongan bahwa tanpa bisa baca saya bisa punya uang.
Artinya di sini adalah, lanjut Arif, ada benturan antara materi dan filosofi kehidupan yang lebih luhurNilai-nilai ini dikalahkan, lalu orang menganggap kemampuan membaca tidak pentingMereka berpikir, lebih baik tidak bisa membaca tetapi punya uangMereka tidak tahu bahwa dengan membaca nilai-nilai luhur dari bangsa dan kehidupan itu yang harus lebih dipegang.
“Kalau materi atau uang tidak sustainable (berkelanjutan), tetapi kalau nilai-nilai sustainableItu sebabnya, perdamaian dan pembangunan karakter tidak bisa hanya dicapai di sekolah-sekolah yang hanya mementingkan nilai akademikHarus diukur pada sikap-sikap pribadi seperti kejujuran, bertanggungjawab, dan lain sebagainya,” imbuhnya(cha/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendidikan di Perbatasan, Perlu Perhatian
Redaktur : Tim Redaksi