jpnn.com - JAKARTA - Pemindahan sekitar 500 napi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Labuhanruku, Batubara, ke 13 Lapas/Rutan di Sumut, mendapat sorotan dari Indonesia Police Watch (IPW).
Ketua Presidium IPW Neta S Pane menilai, langkah pemindahan itu menunjukkan manajemen di jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (PAS) dan jajarannya di daerah, masih amburadul.
BACA JUGA: Listrik Padam 15 Jam
Menurut Neta, Ditjen PAS hanya cari enaknya saja, yakni memindahkan napi ke rutan-rutan yang berada di kota-kota besar di Sumut yang sudah jelas over kapasitas, tanpa mempertimbangkan potensi rusuh akibat bertemunya napi limpahan dari LP Tanjungusta dengan napi dari LP Labuhanruku.
Padahal, potensi rusuh di lapas-lapas yang dijadikan lokasi pemindahan bisa dihindari. Yakni, menurut Neta, dipindahkan saja ke lapas-lapas yang ada di Kepulauan Nias.
BACA JUGA: Diperkosa hingga Hamil, Dikeluarkan dari Sekolah
"Jangan hanya dipindahkan ke kota-kota besar saja. Mestinya pindahkan ke Nias. Kalau di sana belum ada lapas, ya bangun dong. Tempatkan napi di wilayah-wilayah terpencil. Bisa juga di Tapsel atau perbatasan Madina," ujar Neta S Pane kepada JPNN di Jakarta, kemarin (21/8).
Terpisah, Jubir Ditjen PAS, Akbar Hadi Prabowo, mengatakan, langkah pemindahan yang dilakukan saat ini merupakan upaya langkah cepat dalam rangka evakuasi. "Kalau ke Nias, itu jauh, sementara kita perlu waktu cepat. Lagipula setahu saya di Nias tak ada lapas," kata Akbar kepada JPNN.
BACA JUGA: REI Dukung Perubahan KKOP Polonia
Sementara kalau pun harus dibangun lapas di Nias, hal itu membutuhkan waktu. "Sedangkan kita harus gerak cepat," imbuhnya.
Seperti diketahui, sedikitnya tiga lapas dan satu rutan di Sumut memiliki 'status' rawan rusuh. Kekhawatiran itu muncul lantaran Lapas Kelas II B Tebingtinggi, Lapas Kelas II A Pematangsiantar, Lapas Kelas II B Siborong-borong, dan Rutan Kelas II B Sidikalang yang mengalami over kapasitas kembali mendapat limpahan napi asal Labuhanruku. Sebelumnya, pada Juli lalu, napi asal Lapas Kelas I A Tanjunggusta yang lebih dulu melakukan pembakaran dan kerusuhan sudah dipindahkan ke empat lokasi tersebut.
Kembali ke Neta. Menurut aktivis yang juga 'anak Medan' ini, sebenarnya pemicu utama rusuh di lapas karena perlakuan diskriminatif yang ditunjukkan para petugas lapas.
Selama ini, kata Neta, napi-napi berkantong tebal bisa memilih untuk ditempatkan di lapas-lapas yang ada di perkotaan. Fasilitasnya pun berlimpah. Berbeda dengan napi kere, yang dibuang di lapas-lapas non perkotaan, dengan fasilitas minim.
"Napi tak punya uang, untuk mendapatkan air saja susah. Sementara napi berkantong tebal, air melimpah ruah. Ini menimbulkan kesenjangan, yang memicu emosi dan terjadilah kerusuhan," kritik Neta.
Karenanya, Neta menantang jajaran Ditjen PAS dan Kanwil-kanwil, untuk berani melakukan perombakan besar-besaran. "Napi berkantong tebal juga harus disebar di lapas-lapas terpencil," ujarnya.
Untuk pengamanan, Neta menyarankan, pihak Ditjen PAS juga harus menjalin kerjasama dengan aparat kepolisian secara berjenjang, mulai Polsek dan Polres. "Sehingga polisi punya kewenangan untuk melakukan patroli di lapas-lapas. Ketika ada kerawanan, bisa langsung diantisipasi," kata Neta.
Jika pihak kepolisian merasa kewalahan saat menghadapi napi, barulah kepolisian minta bantuan TNI.
Jangan sampai, kata Neta, pengamanan oleh TNI atas permintaan napi, bukan atas permintaan polisi. "Napi itu orang yang sudah melakukan kejahatan dan sedang dihukum. Jangan permintaan-permintaan mereka dituruti. Jangan petugas lapas diatur-atur napi," pungkasnya. (sam/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... BBPOM Tarik 698 Item Obat dan Kosmetik
Redaktur : Tim Redaksi