jpnn.com - ACHMAD Sjaichu senantiasa menjaga wudhu'nya. Mengaku pernah bermuka-muka dengan Nabi Muhammad. Dalam mimpi sekali waktu.
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Politik Tak Lagi Menarik Minat
Anak kecil itu menggambar seekor anjing. PR dari sekolah.
Abdul Manan, ayah tiri si anak naik pitam. Menurut dia, anjing adalah binatang yang najis mughaladhah. Najis berat. Manan yang bermazhab Syafii, lantas memindahkan sekolah si anak.
BACA JUGA: Pertemuan Empat Mata dengan Soeharto
Dari Sekolah Rakyat Mardi Oetomo ke Madrasah Taswirul Afkar.
Madrasah yang didirikan oleh KH Wahab Chasbullah, KH Mas Mansur dan KH Dachlan Achyat.
BACA JUGA: Bang Ara Ajak Kalangan Muda Sumut Ukir Sejarah Positif
Dulu, madrasah ini bersebelahan dengan Masjid Ampel.
Anak itu bernama Achmad Sjaichu. Lahir di Ampel, Surabaya, 29 Juni 1921. Ibunya, Fatimah nikah lagi dengan Abdul Manan pada 1927, setelah Abdul Chamid, ayah Sjaichu berpulang ketika Sjaichu berusia 2 tahun.
Pada 1934, lulus dari madrasah yang digadang-gadang sebagai embrio NU setelah Nadlatul Wathan di Kawatan, Surabaya tersebut, Sjaichu kecil langsung bekerja di perusahaan sepatu milik Pakdenya, Mohammad Zein bin H. Syukur.
Dia tak lanjut sekolah. Apa sebab? Abdul Manan, ayah tiri yang menyayanginya bak ayah kandung, meninggal beriringan dengan kelulusannya di Madrasah Taswirul Afkar.
"Setelah punya bekal yang dianggap cukup, hasil bekerja selama dua tahun, Sjaichu kembali ke bangku sekolah," tulis Gus Dur dan kawan-kawan dalam buku Kembali ke Pesantren.
Dia masuk Madrasah Nahdlatul Wathan yang didirikan KH. Wahab Chasbullah bersama KH Mas Mansur dan HOS Tjokroaminoto.
Sembari sekolah, ia bekerja pada Mohammad Yasin, penjahit kenamaan di daerah Pacar Keling.
Yasin punya anak gadis bernama Solchah, yang di kemudian hari (5 Januari 1945) dibawanya naik pelaminan.
"Dua tahun ia bekerja di sana, mulai dari belajar memegang jarum sampai bisa menjahit dan membuat disain sendiri."
Setelah menikah, bersama Solchah, Sjaichu mengembangkan home industry sepatunya. Pekerjanya 15 orang.
Di sela-sela kesibukan bisnisnya, Sjaichu membuka kelas bahasa Arab dan Inggris untuk pemuda-pemuda Surabaya di rumahnya. "Kursus bahasa ini masih juga dikenang oleh banyak orang di Surabaya," tulis Gus Dur dan kawan-kawan.
Mimpi Nabi Muhammad
Pada 1937 Sjaichu lulus dari Nahdlatul Wathan. Kini, ia sudah punya ayah baru lagi. Ibunya dinikahi KH. Wahab Chasbullah, yang mendirikan Madrasah Taswirul Afkar dan Nahdlatul Wathan--dua sekolah tempat Sjaichu menempa ilmu agama.
Wahab Chasbullah kawan dekat Bung Karno.
Tahun itu juga, di usia 16 tahun, pemuda Sjaichu bekerja di bagian listrik bengkel Marine Establishment (ME). Kini, PT Pal, di daerah Ujung, Surabaya.
"Pada zaman Hindia Belanda, ME adalah galangan kapal terbesar di Asia Tenggara," tulis buku Jejak Intel Jepang.
Saat bekerja di galangan kapal itulah, sebagaimana dikisahkan Sjaichu dalam buku biografinya, suatu siang dirinya mimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW di Masjid Ampel.
Dalam mimpinya, Nabi Muhammad mengambil selembar tikar. Kemudian menyerahkannya kepada Sjaichu. Sjaichu membentang tikar itu di depannya. Nabi Muhammad naik mimbar. Berkhotbah.
Sampai di situ, Sjaichu tersentak. Jaga dari tidurnya.
Mimpi itu diceritakan kepada KH Wahab Chasbullah. Guru yang telah jadi ayahnya.
"Saya ingin belajar dan mengaji lagi untuk memperdalam pengetahuan agama, ayah," pinta Sjaichu di ujung cerita.
Pada 1938, Wahab mengantar Sjaichu ke pondok pesantren Al-Hidayah, Lasem. Berguru ke KH Ma'shum, yang dikenal Mbah Ma'shum.
Karena pandai berkawan-kawan, ketika ada ajang pemilihan Lurah Pondok, para santri memilih Sjaichu.
Entah karena titipan Wahab, orang notabene disegani, atau karena kepandaiannya membawa diri, Sjaichu disayang Mbah Ma'shum.
Kemana-mana, Mbah Ma'shum kerap mengajak Sjaichu turut serta.
Masa itu, pesantren Al-Hidayah sedang dibangun secara bertahap. Sjaichu terlibat dalam penyelesaian pembangunan.
Bermodalkan pengalaman inilah, di kemudian hari, setelah pensiun dari dunia politik, pada 1980-an akhir, ia mendirikan pondok pesantren Al-Hamidiyah di Depok, Jawa Barat--resonansi dari nama ayah kandungnya Abdul Chamid.
Sekadar mengingatkan, Abdurahman Wahid alias Gus Dur dalam naskah bertanggal 8 Juni 1991, termuat dalam buku Kembali ke Pesantren--Kenangan 70 Tahun KH. A. Sjaichu menulis:
Sjaichu adalah otodidak yang melalui jenjang organisasi politik mampu meraih kedudukan pemerintahan yang cukup tinggi. Yaitu Ketua DPR.
…menjadi Ketua DPR. Berarti ia (Sjaichu--red) telah menunjukkan kemampuan untuk turut mengolah perkembangan politik di masanya. Yaitu masa peralihan dari orde lama ke orde baru.
Oiya, pondok pesantren Al-Hamidiyah yang didirikan Sjaichu baru saja berulang tahun yang ke 29, 17 Juli tempo hari. Selamat... (wow/jpnn)
Baca juga:
Masjid Istiqlal dan Menara Bung Karno
Pimpinan DPR Waktu Soekarno Dilengserkan
Pertemuan Empat Mata dengan Soeharto
BACA ARTIKEL LAINNYA... Siapa Pimpinan DPR Waktu Presiden Soekarno Dilengserkan?
Redaktur & Reporter : Wenri