Hikayat Achmad Sjaichu (5)

Politik Tak Lagi Menarik Minat

Selasa, 18 Juli 2017 – 10:58 WIB
Achmad Sjaichu pidato di pesantren Al-Hamidiyah. Foto: Repro Wenri Wanhar/JPNN.com

jpnn.com - PERSIS 29 tahun lampau. 17 Juli 1988. Pesantren Al-Hamidiyah, Depok dibuka. Pendirinya K.H Achmad Sjaichu. Orang penting di panggung sejarah Indonesia.

Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network

BACA JUGA: Pertemuan Empat Mata dengan Soeharto

Ny. Solchah tak bosan-bosan mendorong Achmad Sjaichu. Umpama suporter bola, sang istri menyemangati sang suami agar mendirikan pondok pesantren.

Hingga wafat pada 24 Maret 1986, Solchah senantiasa mengingatkan Sjaichu supaya mewujudkan rencana itu.

BACA JUGA: Bang Ara Ajak Kalangan Muda Sumut Ukir Sejarah Positif

"Keinginan ada. Kemampuan ada. Bekal juga ada. Lantas apalagi yang menghalangi untuk mendirikan pesantren," suara itu terus hidup di hati Achmad Sjaichu. Menggoda.

Pada 1980, menurut cerita Sjaichu dalam biografinya, dia membeli sebidang tanah di Desa Rangkapan Jaya, Pancoran Mas, Depok yang saat itu dijual dengan harga murah.

BACA JUGA: Siapa Pimpinan DPR Waktu Presiden Soekarno Dilengserkan?

Rencana mulai disusun. Pembangunan pesantren langsung ditangani anak-anak dan menantunya.

Fisik bangunan dirancang Muhammad Sucahyo, putera ketiga Sjaichu. Seorang Insinyur Teknik Sipil dari Universitas Trisakti.

Pada 1987, Menteri Agama H. Munawir Sjadzali melatakkan batu pertama.

Lembaga pendidikan Islam yang diidam-idamkannya bersama istrinya itu, diberi Sjaichu nama Pondok Pesantren Al-Hamidiyah.

17 Juli 1988. Persis 29 tahun nan lampau, pesantren Al-Hamidiyah dibuka.

"Ternyata banyak remaja di sekitar Depok dan Jakarta yang datang mendaftar sebagai santri. Pada tahun kedua, sudah mulai ada santri yang datang dari daerah lain di luar Jakarta dan Depok," tulis buku Kembali ke Pesantren.

Cerita buku itu benar. Saya, datang dari Sumatera masuk Al-Hamidiyah pada 1992. Angkatan kelima. Para alumni angkatan ke-5 telah mendirikan LIMA. Singkatan dari Lingkar Ma'had Al-Hamidiyah.

Kawan sekamar dan sekelas, juga ada yang datang dari Kalimantan. Namanya, kalau tak salah ingat, Ufi Ahdi. Ada juga yang dari Bandung. Novi Hartawan, dipanggil Unying. Anaknya kocak.

Boleh jadi, orang tua mengirim kami jauh-jauh, bahkan menyeberang pulau untuk belajar ke pesantren itu karena nama besar pengasuhnya: K.H Achmad Sjaichu. Entah…

Sjaichu adalah Ketua Panitia Konferensi Islam Asia Afrika 1965. Dan lalu menjabat Sekjen Organisasi Islam Asia Afrika (OIAA).

Dia lah yang mendorong Bung Karno menyelesaikan pembangunan Masjid Istiqlal ketika proyek itu sempat mangkrak.

Dan, ini yang perlu dicatat. Sjaichu menjabat Ketua DPR ketika kedudukan Bung Karno digantikan Soeharto.

Abdurahman Wahid alias Gus Dur dalam naskah bertanggal 8 Juni 1991, termuat dalam buku Kembali ke Pesantren--Kenangan 70 Tahun KH. A. Sjaichu menulis:

…menjadi Ketua DPR. Berarti ia (Sjaichu--red) telah menunjukkan kemampuan untuk turut mengolah perkembangan politik di masanya. Yaitu masa peralihan dari orde lama ke orde baru.

Setelah kecewa dengan pola kepemimpinan Soeharto, dia mendirikan pesantren. Politik tak lagi menarik minat.

***

Pembaca yang baik. Tulisan ini serial kelima dari rangkaian cerita bersambung mengenang K.H Achmad Sjaichu.

Sumber utamanya merujuk buku Kembali ke Pesantren--Kenangan 70 Tahun KH. A. Sjaichu (terbit 1991) yang ditulis Gus Dur bersama kawan-kawan.

Pada serial ke-empat, cerita kita sampai pada Sjaichu keluar dari Nahdlatul Ulama, akhir 1970-an.

Ini sedikit terusannya…

27 Ramadhan 1398 H, atau 31 Agustus 1978. Sekira seratus ulama berkumpul di Pondok Pesantren At-Thahiriyah, Jakarta Selatan.

Tak hanya selingkar Indonesia, ada juga yang datang dari Singapura.

Di puncak runding, mereka sepakat membentuk Ittihadul Muballighin (persatuan para mubaligh). Nama organisasi itu diusulkan oleh Achmad Sjaichu.

Sjaichu pula yang secara aklamasi dipilih sebagai pemimpin.

Ittihadul Muballigin, dikomentari sebagian orang pada waktu itu, didirikan untuk menyaingi NU.

Dalam buku biografinya, tertulis bahwa Sjaichu mengacuhkan saja pendapat itu.

Disebutkan, lembaga inilah yang pada akhirnya mengantarkan Sjaichu pada terminal pengabdian terakhirnya, yaitu dunia pesantren.

Ia mendirikan pesantren Al-Hamidiyah, di Depok, Jawa Barat.

Dulu, di pesantren yang kini sedang merayakan ulang tahun ke 29 itu, saban Rabu malam, Sjaichu mengajar kitab al-Adzkar dan Fath al-Mu'in.

Minggu pagi, kitab al-Ahkam al-Shulthoniyah. Hampir seminggu sekali, dia menghatamkan al-Qur'an 30 juz. --bersambung (wow/jpnn)

Note: Serial berikutnya mengulas masa kanak-kanak Achmad Sjaichu. Katanya, dia pernah mimpi jumpa Nabi Muhammad.

BACA ARTIKEL LAINNYA... Masjid Istiqlal dan Menara Bung Karno yang Tingginya Dua Kali Monas


Redaktur & Reporter : Wenri

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler