jpnn.com - ACHMAD Sjaichu, dari Nahdlatul Ulama (NU). Satu di antara arsitek Orde Baru ini belakangan hari merasa digocek Soeharto. Yah, namanya juga politik…
Wenri Wanhar - Jawa Pos National Network
BACA JUGA: Masjid Istiqlal dan Menara Bung Karno yang Tingginya Dua Kali Monas
Setelah menyingkirkan PKI dan Presiden Soekarno, Pemilu akan segera digelar tahun 1968. Begitu kesepakatannya.
"Jika Pemilu segera dilaksanakan, maka NU-lah yang paling untung saat itu, kata KH. A. Sjaichu, termuat dalam buku Kembali ke Pesantren--Kenangan 70 Tahun K.H. Achmad Sjaichu.
BACA JUGA: Bisa Bersuara Mirip Bung Karno? Silakan Ikut Lomba Baca Teks Proklamasi Ala PKS
Hitung-hitungannya, sejak menjadi partai politik pada 1952, hingga awal-awal menegakkan Orde Baru, dari empat besar partai pemenang Pemilu 1955, hanya NU yang tetap terkonsolidasi dengan baik.
Masyumi, sudah dibubarkan saat memasuki Demokrasi Terpimpin (1960). Begitu juga dengan PKI dan PNI yang porak-poranda menyusul G30S 1965.
BACA JUGA: Benarkah Bung Karno Ingin Memindahkan Ibu Kota? Sepertinya Tidak
"Memasuki masa Orde Baru praktis memang tak ada partai yang sesolid NU," tulis buku tersebut.
***
Masa-masa 1966 hingga 1967, memang masa yang genting bagi proses berdirinya Orde Baru.
"Setelah PKI hancur, babak berikutnya dari perjuangan menegakkan Orde Baru adalah menumbangkan Presiden Soekarno dari singgasana kekuasaannya," begitu tertulis dalam buku biografi Achmad Sjaichu, Ketua DPR zaman itu.
Disebutkan, Presiden Soekarno merupakan tokoh kuat yang belum pernah ada tandingannya di Indonesia. Soekarno, ketika itu, adalah seperti personifikasi dari kehendak rakyat Indonesia dan sekaligus politik rakyat Indonesia.
"Saat Orde Baru ini akan ditegakkan, kekuatan politik Soekarno masih cukup menonjol. Karena itu, proses politik--atau sebutlah "rekayasa politik"--untuk menumbangkan Orde Lama (kekuasaan Soekarno), tidak sederhana…"
Peran Achmad Sjaichu yang saat itu menduduki jabatan Ketua DPRGR sangat strategis. Penting dan menentukan.
Sidang Paripurna DPRGR, 9 Februari 1967, yang dipimpin Achmad Sjaichu menerima dan mendukung sepenuhnya Memorandum H Nuddin Lubis dan Resolusi H Djamaluddin Malik.
Memorandum Nuddin Lubis (Fraksi NU) sepanjang 10 halaman folio. Berisi 7 pasal pokok. Pada prinsipnya mengemukakan indikasi-indikasi keterlibatan Soekarno dalam peristiwa G30S.
Memorandum itu segera disusul Rosolusi H. Djamaluddin Malik (ayah artis Camelia Malik), juga dari Fraksi NU bersama kawan-kawannya. Intinya, memperkuat Resolusi Nuddin Lubis dengan meminta agar segera diadakan Sidang Istimewa MPRS.
Di samping Sjaichu, yang punya posisi penting lainnya waktu itu adalah Jenderal Abdul Haris Nasution selaku Ketua MPRS.
Bagaimana dengan Soeharto yang kemudian hari jadi Presiden Indonesia? Letjen Soeharto saat itu menduduki jabatan Ketua Presidium Kabinet Ampera.
***
MPRS menggelar Sidang Istimewa di Gelora Bung Karno, 12 Maret 1967.
Hujan turun dengan derasnya ketika anggota MPRS, tamu dan para pewarta memasuki ruangan sidang.
Pemandangan Gelora Bung Karno hari itu lain dari biasanya. Di dinding ruangan, tak ada lagi semboyan; Hancurkan Nekolim! Imperialis Amerika Go To Hell! Ganjang Malaysia!
Semua telah berubah. Kaum mahasiswa yang biasanya meneriak-pekikkan, “hidup Bung Karno” di stadion utama itu, kini menyebarkan famplet yang menyeru MPRS agar memberhentikan Soekarno.
Sejumlah mahasiswa anti-Soekarno lainnya memayungi tamu perempuan.
“Serombongan wakil mahasiswa diundang ikut bersidang. Mereka duduk di antara anggota DPR GR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong–red),” tulis O.G. Roeder, dalam buku Soeharto—Dari Pradjurit hingga Presiden.
Di dalam ruangan…
Ketua MPRS Djendral Nasution dan empat orang wakilnya duduk diapit Soeharto di sebelah kanan, dan Ketua DPR GR Achmad Sjaichu di sebelah kiri.
Sidang dimulai dengan pidato Ketua MPRS disusul pidato Ketua DPR GR.
O.G. Roeder menggambarkan, ruang sidang yang semula tenang-tenang saja, mendadak bergemuruh ketika resolusi DPR GR dibacakan. Orang-orang bersorak-sorai dan bertepuk tangan.
Hari itu, MPRS secara aklamasi telah menarik mandat dari tangan Presiden Soekarno. Seluruh jabatannya ditanggalkan. Sidang menunjuk Soeharto menjadi pejabat presiden hingga presiden yang baru dipilih MPR setelah pemilihan umum.
Soekarno dilarang berpolitik sampai pemilihan umum yang akan datang.
Sekadar mengingatkan, Resolusi DPRGR yang "menelanjangi" Bung Karno itu berpangkal dari Memorandum Nuddin Lubis dan Resolusi H Djamaluddin Malik.
Ny. H. Asmah Syahruni, anggota DPRGR dari NU membuka rahasia, KH A Sjaichu lah sebenarnya arsitek gerakan Nuddin Lubis dan Djamaluddin Malik.
Senada juga diungkap oleh Hasan Tjakrana, yang menjadi satu dia antara sekretaris Fraksi NU di DPRGR.
"Pada umumnya Resolusi itu adalah hasil pikiran Pak Sjaichu sendiri. Tetapi, karena beliau berkedudukan sebagai Ketua DPRGR, maka tidaklah layak jika seorang ketua mengeluarkan resolusi. Karena itu, nama-nama pencetusnya langsung ditunjuk Pak Sjaichu sendiri yang kemudian diminta persetujuannya lewat DPRGR."
***
Pemilu yang sesuai kesepakatan digelar pada 1968, diundur. Dan baru terlaksana 5 Juli 1971.
Golkar tampil sebagai pemenang. Dan The Smiling General–begitu Soeharto dijuluki pers Barat–meneruskan jabatannya sebagai presiden hingga lengser pada Mei 1998
Pelaksanaan Pemilu 1971 dianggap sangat mengecewakan oleh kubu NU. Sejak itu mereka mengaku sadar, "siapa sebenarnya lawan yang dihadapi," sebagaimana tertulis dalam buku biografi Achmad Sjaichu.
Lho, ada apa sebenarnya?
Ternyata ada kesepakatan empat mata antara Sjaichu dan Soeharto di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat yang…--bersambung (wow/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... NU: Sistem Khilafah Hukumnya Haram di Indonesia
Redaktur & Reporter : Wenri