Dihiasi dengan lantai kayu, tempat tidur kayu dan bahkan sofa kulit di ruang makan, akomodasi Wolf's Fang lebih mirip wisma liburan ketimbang pos terpencil di Antartika.
Dengan sekitar $68,000, atau lebih dari Rp 680 juta, wisatawan dapat terbang ke dan menghabiskan enam hari di perkemahan kutub yang mewah termasuk mengikuti kegiatan seperti 'hiking' dan ski.
BACA JUGA: Warga Tasmania Berkabung Atas Kematian Lima Anak-anak yang Meninggal Saat Bermain
Pengunjung yang mau menghabiskan lebih banyak uang juga bisa terbang mengitari benua itu, bertemu dengan penguin atau mengunjungi Kutub Selatan.
Pernah menjadi rumah sementara bagi para penjelajah dan ilmuwan, pariwisata di Antartika sudah berkembang dalam beberapa dekade terakhir.
BACA JUGA: Angka Pengangguran Anjlok Setelah Lockdown Berakhir di Australia
Tetapi ada kekhawatiran baru: bagaimana dampaknya pada lingkungan? Sekaleng Coca Cola bisa seharga lebih dari Rp500 ribu
Bulan lalu, pesawat Airbus A340 pertama mendarat di Antartika.
BACA JUGA: Keluarga di Australia Menunda Liburan ke Indonesia Sampai Anak-anak Divaksinasi
Dengan kapasitas hingga 254 penumpang, penerbangan sewaan itu hanya mengangkut 23 orang dan sejumlah persediaan yang dibutuhkan turis.
Wolf's Fang dan kamp lain, Whereaway, dijalankan oleh agen tur White Desert, yang menerbangkan turis dari Cape Town, Afrika Selatan, ke daerah Antartika yang disebut Queen Maud Land.
Mereka membawa maksimal 12 tamu dalam satu kali perjalanan. Tapi dengan jumlah tamu yang begitu sedikit, tetap saja biaya logistik untuk setiap perjalanan sangat besar dan mahal.
"Bagi kami, harga sekaleng Coca Cola sekitar $53 (lebih dari Rp500 ribu) begitu tiba di Antartika," kata Mindy Roberts, kepala pemasaran White Desert, yang baru saja kembali dari kunjungan ke salah satu kamp.
"Jadi biaya perjalanan kita tinggi."
Kentang dan wortel untuk makanan harus sudah dikupas di Cape Town sebelum keberangkatan, "karena ada batasan berat khusus untuk memasukkan barang ke dalam es dan mengupasnya menjadi sulit," katanya.
Sementara agen wisata lain ada yang menawarkan tempat perkemahan pribadi, kapal pesiar, dan aktivitas terjun payung. Haruskah orang bepergian ke sana?
Menurut Asosiasi Internasional Operator Tur Antartika (IAATO), 74.401 pengunjung melakukan perjalanan ke Antartika dengan operator anggota IAATO selama musim 2019-2020.
Jumlah ini naik dibandingkan dengan 56.168 pengunjung tahun sebelumnya.
Hanya 731 pengunjung yang bepergian melalui udara.
Sebagian besar wisatawan Antartika berkunjung melalui laut, sering kali dengan kapal pesiar ekspedisi yang berhenti sejenak di Semenanjung Antartika, sebelah selatan Chili.
Di saat banyak operator menyatakan komitmen mereka terhadap pariwisata yang mengedepankan lingkutan berkelanjutan, beberapa yang terlibat dalam penelitian Antartika sudah menyuarakan keprihatinan mereka soal pariwisata di Antartika.
Meski banyak negara, termasuk Australia, memiliki klaim teritorial atas beberapa bagian di benua itu, Antartika sendiri tidak diatur oleh satu otoritas tunggal melainkan oleh Perjanjian Antartika, yang diratifikasi oleh 54 negara.
Artinya pariwisata dan perilaku pengunjung dikendalikan melalui pedoman yang digariskan dalam sistem Perjanjian Antartika.
Operator juga harus memenuhi persyaratan tertentu untuk memperoleh keanggotaan IAATO.
Termasuk melakukan penilaian dampak lingkungan dan anggota sementara harus membawa pakar dari IAATO untuk memastikan mereka mematuhi standar organisasi.
Dengan pariwisata Antartika yang diperkirakan akan pulih setelah pandemi COVID-19, ada pertanyaan seputar berapa lama pedoman tersebut dapat berhasil meminimalkan dampak pengunjung terhadap lingkungan di Antartika dan apakah turis harus bepergian ke sana sama sekali.
"Ketika Anda melihat jejak ekologis orang untuk sampai ke Antartika, itu sudah jelas tidak sejalan dengan prinsip berkelanjutan," kata Freya Higgins-Desbiolles, dosen senior manajemen pariwisata di University of South Australia.
"Saya tahu bahwa beberapa orang akan mengatakan pengetahuan soal lingkungan yang didapat pengunjung akan lebih besar daripada kerusakannya, karena mereka akan menjadi pembela perlindungan lingkungan, tetapi saya pikir itu argumen yang busuk."
Tapi ia mengatakan yang lebih penting adalah aturan yang tegas.
"Mayoritas yang datang adalah influencer, pemimpin industri, para bangsawan, selebriti, orang-orang yang mampu mempengaruhi perubahan," kata Mindy. Dampak dari pengunjung
Dampak aktivitas manusia meninggalkan bekas di Antartika, mulai dari jejak karbon pesawat hingga dampaknya pada flora dan fauna.
"Kebanyakan pariwisata Antartika terkonsentrasi di area yang relatif kecil di barat laut Semenanjung Antartika dan di sejumlah situs di area itu," kata Ricardo Roura, penasihat senior di Antartika dan Koalisi Samudra Selatan.
"Bahkan sekalipun semua orang berperilaku seperti yang seharusnya, mungkin tetap ada masalah yang berkaitan dengan konsentrasi aktivitas dan efek yang kumulatif ke depannya."
Ricardo adalah seorang tamu kapal pesiar yang mengunjungi semenanjung Antartika pada Desember 2019, saat pariwisata ke Antartika sedang populer.
"Situasinya agak mengkhawatirkan, semuanya, seluruh rangkaian kegiatan," katanya.
"Dalam beberapa kasus, kami harus meninggalkan tempat lebih awal untuk membiarkan orang lain masuk, kira-kira hal semacam itu."
Namun, dia mengatakan pariwisata pedalaman juga memprihatinkan.
"Mereka akan memperlakukan sebagian besar Antartika sebagai taman bermain jika mereka punya waktu dan sarana untuk sampai ke sana," kata Ricardo.
"Jika pariwisata berbasis darat berkembang, maka akan menimbulkan serangkaian masalah baru yang harus dibahas, selain serangkaian kekhawatiran baru bagi kami."
Ada juga potensi polusi.
Perjanjian Antartika mengharuskan pembuangan limbah agar operator tidak menyebabkan dampak "kecil atau sementara" terhadap lingkungan.
Tapi tetap saja kerusakan tidak dapat dihindari jika terjadi kecelakaan.
Pada tahun 2007, MS Explorer menabrak gunung es saat berlayar di semenanjung Antartika dan tenggelam, menyebabkan tumpahan minyak di dekat tempat berkembang biak penguin.
Semua 154 orang di dalamnya selamat, setelah diselamatkan oleh kapal-kapal terdekat.
Pada tahun 2011, Organisasi Maritim Internasional melarang kapal menggunakan bahan bakar minyak berat di Antartika, kemudian pada tahun 2017, mereka memperkenalkan Kode Internasional untuk Kapal yang Beroperasi di Perairan Kutub. Masa depan industri wisata Antartika
Peneliti pariwisata di University of Canterbury, Daniela Liggett, mengatakan minat berlibur di Antartika akan tetap ada.
"Saya pikir minat itu akan meningkat lagi setelah pandemi, dan masih ada minat untuk mengunjungi Antartika sebagai salah satu 'benua terakhir' yang masih belum tersentuh oleh kehadiran manusia," katanya.
Seorang juru bicara dari IAATO mengatakan kepada ABC perkiraan awal dari Mei tahun ini menunjukkan sekitar 60.000 orang akan mengunjungi Antartika pada musim 2021-2022.
Ricardo mengatakan persaingan dalam industri untuk menawarkan pengalaman unik adalah salah satu kekuatan pendorong di balik angka kunjungan yang terus naik.
"Terkadang orang-orang merasa perlu datang ke banyak tempat, mereka merasa perlu melihat semua jenis satwa liar, mereka harus melihat segala macam hal, yang mungkin sebenarnya itu tidak mungkin atau tidak perlu."
Faktor lain yang menambah jumlah turis adalah keinginan untuk melihat hutan belantara Antartika yang belum terjamah sebelum menghilang.
"'Kesempatan terakhir pariwisata' akan menjadi fenomena yang mendorong permintaan untuk itu," kata Freya Higgins-Desbiolles.
"Tetapi dengan terlibat dalam pariwisata yang menawarkan kesempatan terakhir itu, kita sebenarnya menjadi penyumbang masalah."
Artikel ini diproduksi oleh Hellena Souisa dari artikel ABC News.
BACA ARTIKEL LAINNYA... Sebuah Perahu Terbalik di Perairan Malaysia, 25 Penumpang Asal Indonesia Masih Hilang