jpnn.com - BOGOR – Pengaduan sengketa atau kasus yang dihadapi kalangan Bank Perkreditan Rakyat (BPR) kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih minim. Pihak OJK berharap laporan dari BPR sangat diperlukan dalam upaya menganalisis dan mengantisipasi tindak pidana perbankan yang baru.
Kepala Departemen Perlindungan Konsumen Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo berharap kalangan pelaku usaha BPR semakin banyak memberikan laporan terkait sengketa atau kasus yang dialami, terutama dalam menghadapi konsumen. Padahal, dengan menerima pengaduan dari konsumen atau pihak lainnya, semakin banyak pengalaman praktis yang dibagikan.
BACA JUGA: Jokowi-JK Diminta Evaluasi Paket Kebijakan Ekonomi I-VI, Ada Apa?
“Sesuai aturan yang terbaru, setiap tiga bulan seharusnya OJK menerima laporan perkembangan atau kasus dari para pelaku BPR. Namun sekarang masih sangat minim,” kata Anto Prabowo dalam Seminar yang diselenggarakan Ikatan Profesional Bankir (iPro) BPR dan Fakultas Hukum Universitas Pakuan, Bogor, Rabu (25/11).
Dia mengakui, selama ini pengaduan yang disampaikan kepada OJK belum dilayani secara optimal. Namun, setelah ada bidang edukasi dan perlindungan konsumen maka OJK selalu menganalisis dan mengolah data-data tersebut sehingga bisa merumuskan strategi baru.
BACA JUGA: Pelindo II Somasi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia
Sekretaris iPro BPR, Hiras Tobing menegaskan perlunya berbagai pihak yang mempunyai otoritas dan kewenangan agar tidak menyamaratakan semua kebijakan sebagai regulator keuangan. Hal itu menyebabkan pendekatan yang dilakukan terhadap lembaga BPR pun tidak sama.
“Aturan bisa bersifat umum dan terbuka, tetapi juga harus ada yang lebih detil sehingga arahnya jelas,” katanya melalui siaran persnya.
BACA JUGA: Mantan Staf SBY Minta Pemerintah Kaji Ulang Rencana Pencabutan Subsidi Listrik
Kasubdit Perbankan Direktorat Pindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Kombes Umar Sahid menjelaskan pentingnya mencegah terjadinya tindakan pidana perbankan. Langkah tersebut, menurut dia, membutuhkan koordinasi dari semua pihak dan kontrol yang ketat.
Pencegahan juga bisa dilakukan dengan optimalisasi pengawas internal bank yang melekat dan menyatu, deteksi dini setiap atas kemungkinan penyimpangan, penyusunan prosedur yang jelas, pembenahan manajemen dan kontrol, dan mendorong budaya integritas, semangat, dan tanggung jawab.
“Banyak faktor menyebabkan terjadinya tindak pidana perbankan. Untuk itu perlu diatur seketat mungkin agar tidak terulang,” ujar Umar.
Sementara itu, Mahkamah Agung (MA) telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2/2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana diterbitkan pada Agustus 2015 lalu. Perma tersebut mengatur perkara gugatan di bawah Rp200 juta yang akan diperiksa dan diputus paling lama dalam waktu 25 hari. Jadi, waktu penyelesaian sengketa menjadi lebih singkat dari sebelumnya bisa berbulan-bulan.
Syamsul Maarif yang juga Hakim Agung MA menegaskan lahirnya Perma untuk mempercepat dan menyederhanakan penyelesaian sengketa secara tepat dan murah. Selama ini penyelesaian perkara antara konsumen dan lembaga keuangan terlalu berbelit-belit dan memboroskan banyak sumber daya.
“Kadang ada sengketa senilai Rp 30 juta tetapi memakan waktu berbulan-bulan dan harus melibatkan setidaknya 11 hakim di berbagai tingkatan persidangan. Itu jika prosesnya dari pengadilan negeri hingga kasasi atau peninjauan kembali (PK),” ujar Syamsul.(fri/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Jatah Saham untuk Oknum Pejabat Sudah Biasa?
Redaktur : Tim Redaksi