jpnn.com, JAKARTA - Ekonom menilai terdapat masalah serius dalam tata kelola minyak goreng, salah satunya kenaikan domestic market obligation (DMO).
Kenaikan DMO telah diberlakukan Menteri Perdagangan pada Kamis 10 Maret 2022, yaitu menjadi 30 persen dari sebelumnya 20 persen.
BACA JUGA: PKS Sentil Menperin, Tolong Awasi DMO CPO dengan Benar
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan terdapat kontradiksi antara klaim pasokan crude palm oil (CPO) di hulu dengan fenomena minyak goreng langka.
"Kalau pasokan di hulu aman buat apa ada kenaikan DMO CPO jadi 30 persen," ungkap Bhima kepada JPNN.com, Jumat (11/3).
BACA JUGA: Bu Mufida Miris Melihat Mak-Mak Harus Berebut Minyak Goreng
Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi menjelaskan kebijakan tersebut ditetapkan karena sampai saat ini pendistribusian minyak goreng masih belum normal.
Artinya, masih terjadi banyak kekurangan di pasar.
BACA JUGA: Bamsoet Menyoroti Harga dan Kelangkaan Komoditas Menjelang Ramadan, Simak
Namun, menurut Bhima kebijakan DMO CPO yang sudah ada, yakni 20 persen harusnya mencukupi. Namun, sejauh ini efeknya belum dirasakan di tingkat retail minyak goreng.
"Padahal bisa di cek supply CPO di produsen berapa, kemudian berapa yang diproses menjadi migor. Dicocokkan dengan data penjualan minyak goreng seluruh produsen," jelas Bhima.
Bhima menyebut masalah di bagian CPO itu rentan permainan untuk melobi keringanan DMO.
"Alhasil masalah pasokan masih terjadi meskipun DMO-nya naik menjadi 30 persen. Jadi sama sekali tidak selesaikan masalah dalam jangka pendek," tegas Bhima.
Lebih lanjut, Bhima mengatakan akan ada efek yang perlu diantisipasi dari kebijakan penambahan DMO.
"Salah satunya adalah menurunnya pasokan CPO global, sedangkan ditengah naiknya harga minyak sawit mentah juga berimbas pada permintaan biodisel diberbagai negara," tegas Bhima.(mcr28/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Bulog Belum Bisa Turun Tangan Soal Kisruh Minyak Goreng, Ini Sebabnya
Redaktur : Elvi Robia
Reporter : Wenti Ayu