jpnn.com, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR M Misbakhun membandingkan tingkat imbal balik (yield) surat utang dari negara-negara ASEAN pada masa pandemi penyakit virus corona 2019 (COVID-19). Menurutnya, Indonesia justru memberikan yield paling tinggi dibandingkan negara lain di Asia Tenggara pada masa pandemi global itu.
“Hanya Indonesia saja yang pergerakan grafik kenaikan imbal balik surat utang pemerintahnya naik tajam dan paling tinggi pada saat negara lain anggota ASEAN menurunkan yield untuk mengatasi pandemi COVID-19 saat ini,” ujar Misbakhun melalui layanan pesan, Minggu (3/5).
BACA JUGA: Ada Rekor Baru dari Bu Menkeu soal Penerbitan Surat Utang
Legislator Golkar di Komisi Keuangan dan Perbankan DPR itu memerinci, Filipina memberikan yield 3,5 persen untuk surat utang bertenura 10 tahun. Adapun Thailand memberikan yield 1,18 persen untuk surat utang dengan tenura yang sama.
Syahdan, Malaysia memberikan yield 2,87 persen untuk surat utang bertenura 10 tahun. Sementara Vietnam memberikan yield lebih tinggi ketimbang Malaysia dan Thailand, yakni 3,05 persen.
BACA JUGA: Fitch Naikkan Peringkat Surat Utang Indonesia Jadi BBB
Di antara negara ASEAN, Singapura memberikan yield paling rendah, yakni 0,90 persen. Adapun Indonesia memberikan yield 7,89 persen.
“Grafik yield Indonesia malah naik tajam pada saat pandemi COVID-19 untuk menarik para pembeli surat utang pemerintah. Ini menunjukkan bahwa negara sebesar Indonesia surat utangnya baru menarik untuk dibeli kalau imbal baliknya tinggi,” ulas Misbakhun.
BACA JUGA: Hadapi AS, Indonesia tak Leluasa Jual Surat Utang
Oleh karena itu mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tersebut menyarankan agar pemerintah menerbitkan surat utang untuk pemulihan ekonomi nasional (recovery bond) dengan yield maksimum 2 persen. Pemerintah, katanya, juga bisa menerbitkan zero coupon bond atau surat utang yang tidak memberikan pembayaran bunga secara berkala sebagaimana obligasi pada umumnya demi menyelamatkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
“Kalau perlu untuk recovery bond imbal baliknya maksimum satu persen saja demi mengatasi pandemi dan membuat jaring pengaman sosial. Yield untuk zero coupon bond cukup 0,5 persen saja demi menyuntik UMKM,” cetusnya.
Misbakhun justru menyoroti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (Kemenkeu) dan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang tak seolah tak mau merugi pada masa pandemi. BI, kata Misbakhun, menginginkan surat utang pemerintah dibeli dengan tingkat bunga 4,8 persen atau sesuai batas minimum biaya operasi moneter bank sentral itu.
Adapun OJK, sambung Misbakhun, meminta bunga surat utang sesuai commercial rate deposito. “Commercial rate saat ini di kisaran 6-7 persen,” sebutnya.
Sementara Kemenkeu, tutur Misbakhun, ingin menggunakan mekanisme bantuan likuiditas dengan menempatkan deposito pemerintah di bank anggota Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) dengan bunga deposito komersial. “Artinya tingkat bunga yang diminta sama dengan OJK,” tutur Misbakhun.
Oleh karena itu Misbakhun menuding para pengambil kebijakan di Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) mau mencari untung pada masa pandemi. Menurutnya, hal itu justru tak sejalan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
Misbakhun menegaskan, skema dalam Perppu Corona itu sudah sangat jelas, yakni penggunaan keuangan negara sebagai biaya krisis pemulihan ekonomi bukan kerugian negara. Oleh karena itu perppu tersebut memberikan imunitas kepada pejabat Kemenkeu, BI, OJK dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam rangka menggunakan keuangan negara untuk memulihkan ekonomi.
“Sayangnya para pengambil kebijakan di KSSK pengin mengambil keuntungan dan tidak mau rugi dari proses pemulihan ekonomi ketika bantuan yang diberikan oleh negara diberikan bunga commercial rate. Sudah dilindungi dengan imunitas hukum tapi mau ambil untung. Masa krisis begini maunya untung?” pungkasnya.(ara/jpnn)
Redaktur & Reporter : Antoni