jpnn.com - jpnn.com - Anggota Komisi XI DPR yang membidangi keuangan dan perpajakan mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) memperluas objek cukai. Menurutnya, perluasan objek cukai untuk mengejar pemasukan negara jelas lebih baik ketimbang menerapkan praktik ijon.
Misbakhun mengatakan, saat ini barang yang dikenai cukai hanya tokok, etil alkohol dan etil. Padahal, katanya, ada beberapa komoditas yang berpotensi dikenai cukai.
BACA JUGA: Plt Gubernur Wacanakan Revisi UU Kekhususan DKI
"Saya setuju kalau Ditjen (DJBC) menambah banyak cukai. Supaya anda tak capek hanya mengurusi rokok dan etil alkohol saja," katanya dalam rapat kerja Komisi XI DPR dengan Dirjen Bea Cukai Kemenkeu Heru Pambudi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (16/1).
Politikus Golkar itu lantas membandingkan Indonesia yang hanya menjadikan tiga komoditas sebagai objek cukai dengan negara lainnya. Misalnya, Thailand menerapkan cukai terhadap 16-19 komoditas.
BACA JUGA: Misbakhun Ingatkan Pemerintah soal RUU Pertembakauan
Karenanya Misbakhun akan mendukung jika DJBC juga memperluas objek cukai. “Bila anda minta, saya siap galang teman-teman agar disetujui," kata dia
Legislator asal Pasuruan, Jawa Timur itu menegaskan, perluasan objek cukai bisa menjadi solusi bagi praktik ijon. Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu itu mengaku mendengar informasi tentang praktik ijon cukai demi menutup kekurangan penerimaan negara.
BACA JUGA: Produksi Menurun, Desak Pemberantasan Rokok Ilegal!
Misbakhun mengatakan, para pengusaha yang mengeluhkan praktik ijon pun tak kuasa menolaknya. “Mereka bilang, ‘masa kami menolak. Toh yang meminta kan pemerintah kita’,” kata Misbakhun.
Lebih lanjut Misbakhun mencocokkannya dengan data statistik tentang penerimaan negara dari cukai. Selama di Januari hingga Februari 2016, pemasukan cukai cenderung stagnan di angka Rp5 triliun.
Tapi mulai Maret 2016, ada lonjakan Rp 18 triliun yang terhenti di angka Rp 19 triliun pada Juni 2016. Sedangkan pemasukan paling tinggi dari cukai sepanjang 2016 adalah pada Desember yang kisarannya antara Rp 30 triliiun- Rp 36 triliun.
"Kalau terjadi lonjakan pada Desember, lalu Januari dan Februari berikutnya turun, ini kan sangat aneh. Sebab idealnya, sepanjang bulan itu kan seharusnya flat," kata Misbakhun.
Dia menegaskan, meski lonjakan penerimaan cukai bisa menutupi kekurangan pemasukan negara dari pajak, namun hal itu menjauhkan upaya mewujudkan APBN yang kredibel dan tanpa kamuflase. Padahal, katanya, Menkeu Sri Mulyani selalu menginginkan adanya APBN yang kredibel.
"Saya apresiasi penerimaan cukai tahun ini di tengah penerimaan pajak yang turun. Tapi kan Menkeu bilang ingin membangun kebijakan yang trusted. Jadi tak boleh ada kamuflase, kita harus berterus terang," tegasnya.
Selain itu, Misbakhun juga mengingatkan DJBC agar jangan sampai kebijaknnya membunuh industri tembakau. Sebab, pemerintah bersikap mendua karena di satu sisi memburu pemasukan yang tinggi dari cukai rokok, tapi di sisi lain juga berupaya mengendalikan industri tembakau.
"Ini saya membela konstituen saya. Mereka petani dan buruh pabrik yang hidupnya tergantung dengan itu. Mereka juga punya hak hidup," kata legislator asal daerah pemilihan Jawa Timur II yang meliputi Pasuruan dan Probolinggo itu.
Dia lantas mengutip hasil penelitian dari sebuah lembaga riset kondang dari mancanegara pada 2013 yang menunjukkan industri rokok Indonesia paling kebal terhadap krisis. Menurutnya, jika pemerintah memang masih memprioritaskan penerimaan negara dari sektor cukai industri tembakau, seharusnya membatasi diri pembicaraan soal pembatasan konsumsi.
"Aneh ketika Kemenkeu bilang batasi konsumsi. Selalu dikatakan harga rokok di Indonesia sangat rendah. Tapi tak pernah dibandingkan pendapatan perkapita rakyat. Seakan pendapatan kita sama dengan Singapura dan Australia," ulasnya.(jpg)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Aduhai Anggunnya Bu Sri Mulyani Berjilbab, Nih Fotonya
Redaktur & Reporter : Antoni