Misteri Pesona Tersembunyi, Dijaga Buaya Kuning

Rabu, 19 Oktober 2016 – 00:08 WIB
Pulau Mintin di Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, dikenal kaya dengan sejarah dan keanekaragaman hayati. Foto:DEDY SANJAYA/RADAR SAMPIT

jpnn.com - KALIMANTAN Tengah masih menyimpan banyak pesona wisata tersembunyi.

Pulau Mintin di Kabupaten Pulang Pisau salah satunya. Meski menyimpan sejarah dan pesonanya memukau, keberadaannya seperti tidak tersentuh.

BACA JUGA: Indahnya…Bromo Masih Pamer Kecantikan Kala Siaga

DEDY SANJAYA - Pulang Pisau

Pulau Mintin merupakan sebutan untuk tiga pulau yang berada di tengah Sungai Kahayan. 

BACA JUGA: Dua Siswi SMP I Islam Menorehkan Prestasi, Selamat Ya

Keberadaannya persis diapit Desa Bontoi dan Desa Mintin, masuk wilayah Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau.  Secara geografis, Pulau Mintin terdiri dari tiga pulau. 

Untuk menjangkau pulau ini, dari Kota Pulang Pisau hanya memakan waktu sekitar 20 menit melalui perjalanan darat. 

BACA JUGA: Gusmalini, Penemu Mi Labu Kuning, Khasiatnya? Wow

Dilanjutkan menumpang perahu melalui jalur sungai sekitar 10 menit.  

Sejumlah jurnalis di Pulang Pisau melakukan perjalanan singkat ke desa dan Pulau Mintin. 

Masyarakat, tokoh, dan aparat desa sekitar menginginkan agar tiga pulau itu tidak hanya sebatas onggokan tanah di tengah sungai atau sekadar nama pulau yang disebut-sebut penuh dengan cerita keramat. 

Lebih dari itu, keberadaan Pulau Mintin diharapkan bisa menjadi lokasi wisata atau tempat yang mampu mendukung perbaikan ekonomi masyarakat.

”Pulau ini menyimpan banyak cerita sejarah, bahkan usianya bagi kami lebih tua dari usia Pulang Pisau,” ujar Uhing (60), tokoh Desa Mintin.

Sejarah itu berawal dari legenda Tamanggung Darung Bawan, tokoh sejarah yang dipercaya memiliki andil terbentuknya Pulau Mintin. Juga ada kisah-kisah mistis adanya seekor naga atau buaya kuning. 

”Buaya kuning yang menjadi penunggu pulau ini masih tersimpan dan terus kami percaya sampai hari ini,” tuturnya.

Saat menjejakkan kaki di Pulau Mintin  besar,  beragam jenis pepohonan khas Kalimantan sangat mudah ditemui. 

Misalnya, kayu kapur naga, bakau, kambalitan, karawah, tarantang, kalawit, saraka, kandarahan, latak manuk, gantalang, dan masih banyak jenis kayu lainnya.

”Hanya Pulau Mintin besarlah yang tanamannya lebih lengkap dibanding dua pulau kecil lainnya, karena pulau ini datarannya lebih tinggi. Selain itu, dulu saat ramai penjarahan kayu, Pulau Mintin besar terselamatkan berkat lokasinya dekat dengan perkampungan  masyarakat Mintin. Para penjarah kayu tidak berani menebang kayu di pulau ini,” kata Uhing.

Wawan (40), tokoh masyarakat Desa Mintin yang juga pengelola Pulau Mintin kecil mengatakan, banyak hewan liar yang hidup di pulau tersebut. 

Mulai dari buaya sapit, ular, biawak, trenggiling, tupai, monyet, kalawet, hingga beberapa burung endemik Kalimantan. 

Pernyataan Wawan benar adanya. Baru sekali putaran mengitari Pulau Mintin besar, dari atas kapal terlihat beberapa ekor buaya sapit berukuran kecil yang berenang di pinggir pulau. 

Predator itu perlahan masuk ke dalam rimbunnya hutan bakau. 

Sekitar tahun 1982, lanjut Wawan, pulau mintin besar sempat menjadi lokasi lebah hutan bersarang. 

Tidak tanggung-tanggung, di pepohonan jenis kayu saraka saat itu mudah sekali melihat ratusan sarang lebah bergelantungan.

”Dalam semalam, masyarakat bisa panen hingga tiga drum madu dari lebah hutan di Pulau Mintin besar. Masa jaya panen madu sempat bertahan sekitar lima tahun hingga akhirnya  datang penebangan dan penjarahan kayu yang membuat lebah hutan tidak mau bersarang lagi,” kata Wawan seraya menatap pepohonan yang tersisa dengan mimik wajah serius.

Kekayaan alam dan sejarah di Pulau Mintin seolah mengendap seiring kurang tersentuhnya pulau tersebut. 

Padahal, lokasi itu merupakan surga bagi pecinta wisata alami, karena hutannya yang masih terjaga. 

Hal itu dirasakan sendiri para jurnalis, misalnya, sulitnya mendapatkan akses transportasi saat akan melihat dari dekat Pulau Mintin. 

Transportasi yang tersedia hanya kapal feri besar yang dipatok seharga Rp 500 ribu sekali pakai.

Selain itu, pengunjung yang berniat masuk ke Pulau Mintin kembali kesulitan karena tidak ada jembatan atau  dermaga untuk berlabuh. 

Solusinya, mau tidak mau pengunjung memanfaatkan kayu bakau di pinggiran pulau untuk tepat bertambat. 

Kepala Desa Mintin Rusmagau mengatakan, selain keterbatasan dana, rendahnya kerja sama masyarakat juga menjadi faktor pulau itu dibiarkan seadanya. 

Selama ini, pengawasaan ketiga pulau tersebut masih tetap dilakukan, meski dengan kemampuan terbatas dan dana swadaya.

”Kami berharap peran pemerintah daerah atau pihak luar yang ingin mengelola Pulau Mintin sebagai lokasi wisata atau kawasan serupa, sehingga bisa bermanfaat bagi masyarakat. Jadi, tidak hanya membuat desa kami jadi terkenal, namun ada nilai ekonomi masyarakat yang kena imbasnya,” ujar Rusmagau.

Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Pulang Pisau Usis I Sangkai mengatakan, rendahnya peran masyarakat serta pihak lain terhadap pulau itu karena kekurangtahuan potensi dan sejarahnya. 

Kuncinya adalah rasa memiliki dan perlunya keterlibatan semua pihak untuk duduk bersama membicarakan masa depan pulau itu.

”Seperti Pulau Kumala di Kaltim. Dulunya, sebelum menjadi lokasi wisata nan indah, bisa jadi kurang terurus juga. Namun, karena adanya rasa kekompakan dan kepedulian, semua pihak duduk bersama. Dari situ kemudian muncul gagasan dan ide seperti apa sentuhan yang bisa dilakukan,” ujar Usis didampingi Plt Kepala Dinas Budaya Pariwisata (Budpar) Pulpis Damek Panahan saat ditemui dikantornya. (***/ign/sam/jpnn) 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Sepenggal Kisah Perempuan Muda di Kampung Janda


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler