jpnn.com, JAKARTA - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi atas UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama terkait pasal citra diri dan larangan beriklan. Sidang perdana digelar Selasa 3 Juli 2018.
Citra diri ada pada Pasal 1 angka 35 UU Pemilu 2017 yang berbunyi: “Kampanye Pemilu adalah kegiatan Peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program dan/atau citra diri Peserta Pemilu.”
BACA JUGA: Bangkitkan Ekonomi, PSI Sarankan Dua Jurus Ini ke Jokowi
PSI, khususnya Sekretaris Jendral Raja Juli Antoni dan Wakil Sekretaris Jenderal Satia Chandra Wiguna, telah dilaporkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI kepada Polri terkait dugaan pelanggaran tindak pidana kampanye di luar jadwal.
“Pelaporan oleh Bawaslu ini didasarkan melulu pada ketentuan pasal 1 angka 35 khususnya frasa “… dan/atau citra diri” yang kemudian ditafsirkan secara sepihak dan tanpa melalui prosedur hukum yang benar oleh Badan Pengawas Pemilu yang kemudian menimbulkan kerugian bagi Pemohon,” kata Surya Tjandra, anggota Jaringan Advokasi Rakyat Partai Solidaritas Indonesia (Jangkar Solidaritas) yang mewakili PSI, dalam keterangan pers.
BACA JUGA: 2 Komisaris BUMN Tak Jawab Soal CSR Dukung Gerakan Khilafah
Pemohon berpendapat pelaporan Bawaslu dan kemungkinan terkena sanksi pidana pemilu merupakan bentuk kerugian konstitusional yang dialami Pemohon, sebagai akibat keberadaan frasa “citra diri” yang cenderung multi-tafsir dan bersifat karet.
“Karena bisa ditafsirkan secara sewenang-wenang oleh Badan Pengawas Pemilu maupun Komisi Pemilihan Umum, layak pasal citra diri itu dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” lanjut Surya.
BACA JUGA: TAKEN Gugat Hakim Konstitusi ke Dewan Etik, Begini Alasannya
Perihal larangan berikan, ini terkait Pasal 275 ayat 2 UU Pemilu yang berbunyi: “Kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, huruf f, dan huruf h difasilitasi KPU, yang dapat didanai oleh APBN” serta Pasal 276 ayat 2 yang berbunyi: “Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 275 ayat (1) huruf f dan huruf g dilaksanakan selama 21 (dua puluh satu) hari dan berakhir sampai dengan dimulainya Masa Tenang.”
Dengan kehadiran dua pasal ini, hak konstitusional PSI telah dibelenggu untuk menyampaikan pendidikan politik dan untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat melalui berbagai medium periklanan, menyampaikan gagasan politik, mengenalkan visi, misi, dan program.
“PSI sebagai partai politik yang baru telah dipasung haknya untuk berpolitik secara penuh karena sudah dipaksa untuk tidak beriklan, dan hanya beriklan dengan alokasi yang sama dengan berbagai partai yang sudah puluhan tahun ada di Republik Indonesia, itupun hanya dalam masa 21 hari sebelum masa tenang, yang sudah merupakan masa kritis sebelum hari pemilihan,” kata Rian Ernest, angggota Jangkar Solidaritas lain.
Sebagai partai politik baru, PSI tentu tidak punya titik mulai yang sama dengan partai yang sudah berdiri puluhan tahun. “Tidaklah adil dan melanggar hak konstitusional Pemohon bila setelah mengalami beratnya verifikasi yang dilaksanakan Kementerian Hukum dan HAM serta Komisi Pemilihan Umum, Pemohon tidak diberi kesempatan melakukan iklan serta sosialisasi politik,” lanjut Rian.
Fakta UU Pemilu yang telah membatasi partai baru mengindikasikan adanya kartel politik yang dilakukan partai-partai lama. Kartel ini hanya menguatkan posisi mereka yang sudah di parlemen dan secara sistematis menghambat pemain baru seperti PSI.
Dengan sejumlah argumentasi di atas, PSI memohon untuk menyatakan pasal-pasal terkait dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. (dil/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pileg 2019: PSI Minta KPU Tak Mempersulit Caleg
Redaktur & Reporter : Adil