2 Komisaris BUMN Tak Jawab Soal CSR Dukung Gerakan Khilafah

Senin, 02 Juli 2018 – 01:21 WIB
Benny Sabdo Nugroho (kedua kiri) bersama Anggota Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN). Foto: TAKEN for JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Tim Advokasi Kedaulatan Ekonomi Indonesia (TAKEN) menyesalkan dua komisaris Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang tidak menjawab pertanyaan tentang dana CSR (Corporate Social Responsibility) BUMN yang banyak diberikan kepada gerakan khilafah di Indonesia.

Padahal dalam beberapa kali sidang sebelumnya di Mahkamah Konstitusi, pemerintah melalui kuasa hukumnya senantiasa meyakinkan bahwa CSR yang dilakukan oleh BUMN merupakan bentuk nyata dari implementasi Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945 terkait dengan kemakmuran.

BACA JUGA: TAKEN Gugat Hakim Konstitusi ke Dewan Etik, Begini Alasannya

Kedua komisaris yang dimaksud adalah Refly Harun yang menjabat sebagai Komisaris Utama PT Jasa Marga dan Revrizond Baswir yang menjabat sebagai Komisari Bank BNI. Mereka dihadirkan pemerintah sebagai Saksi Ahli dalam perkara gugatan konstitusional (judicial review) atas UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN.

UU BUMN digugat oleh AM Putut Prabantoro dan Letjen TNI (Pur) Kiki Syahnakri, pemohon perseorangan yang menganggap UU BUMN tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945.

BACA JUGA: DPR Bersiasat Mengakali Putusan MK

Pertanyaan kepada dua komisaris BUMN tersebut dilatarbelakangi oleh tudingan Wasekjen PBNU Sultonul Huda pada awal Juni lalu yang menyatakan CSR BUMN justru mengalir kepada komunitas pendukung khilafah dan anti-Pancasila.

“Kami secara tegas meminta kedua komisaris memberikan klarifikasi kepada sidang MK, yang dipimpin para negarawan ini, kebenaran tudingan tersebut supaya tidak jadi fitnah. Sebab selama ini belum ada klarifikasi resmi dari Kemeneg BUMN. Namun pertanyaan yang sangat penting itu tidak dijawab oleh Refly Harun dan Revrizond Baswir,” ujar Sekretaris TAKEN, Benny Sabdo Nugroho di Jakarta, Minggu (1/7/2018).

BACA JUGA: Anies Pastikan Tunduk Putusan MK soal Legalitas Ojol

Menurut Benny, sikap diam dari kedua ahli pemerintah ini justru menciderai rasa keadilan masyarakat. Ia menegaskan negara dalam hal ini pemerintah memiliki kewajiban konstitusional, yakni menyejahterakan seluruh rakyat dan melindungi segenap tumpah darah rakyat Indonesia.

“Ketika dalam kenyataannya BUMN memberikan program CSR kepada gerakan khilafah. Maka BUMN-BUMN telah mengkhianati konstitusi,” tegasnya.

Alumnus Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI itu menjelaskan lebih lanjut, apa yang diimplementasikan oleh pejabat-pejabat BUMN sangat bertentangan dengan NAWACITA Presiden Joko Widodo sendiri, terutama poin 1, 8 dan 9 yang berbunyi:

“Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, melalui politik luar negeri bebas aktif, keamanan nasional yang terpercaya dan pembangunan pertahanan negara Tri Matra terpadu yang dilandasi kepentingan nasional dan memperkuat jati diri sebagai negara maritim (poin 1).”

Kemudian, poin 8 menyebutkan, melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia

Selanjutnya, pada poin 9, memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Pada saat banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan, membutuhkan uang untuk bersekolah dan berobat ke rumah sakit, BUMN melalui CSR-nya justru mendukung gerakah khilafah.

Menurut Benny, pemberian program CSR kepada gerakan khilafah sama dengan mendukung gerakan menggulingkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

"Jadi Kemeneg BUMN dan BUMNnya jangan memandang remeh gerakan khilafah, mereka sangat militan dan terang-terangan dalam upaya mengganti dasar kita bernegara, yakni Pancasila," jelasnya.

Benny Sabdo juga menjelaskan, justru gugatan terhadap UU BUMN ini dilatarbelakangi oleh salah satunya agar rakyat Indonesia dapat mencapai kesejahteraan sebagaimana dimaksud UUD NRI 1945.

Ada kaitan antara berkembangnya paham-paham radikal dan terorisme dengan kesenjangan kesejahteraan, sebagaimana yang diungkapkan Busyro Muqoddas. Bahkan pada tahun lalu, dijelaskan Benny Sabdo lebih lanjut, Ketum Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, DR. KH. Makruf Amin, saat membuka secara resmi “Kongres Ekonomi Umat 2017” di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta (24/4/2017), menyatakan, kesenjangan ekonomi timbulkan radikalisme dan konflik sosial.

“Hal yang senada telah diungkapkan Menlu Retno Marsudi pada tiga tahun lalu di hadapan peserta Sidang OKI ke-42 di Kuwait City. Beliau mengatakan, kesejahteraan dan toleransi merupakan salah satu kunci utama melawan terorisme dan radikalisme. Sehingga para pejabat BUMN seharusnya tahu apa yang harus dilaksanakan agar kemakmuran dan kesejateraan bisa tercapai. Kami juga sedang meneliti apakah ada benang merahnya antara tudingan Wasekjen PBNU dan praktik CSR BUMN yang diungkapkan oleh kuasa pemerintah dalam beberapa kali persidangan. Itu bisa dilihat dari risalah sidang yang dapat dibaca oleh publik,” tandas Benny.

Oleh karena itu, Benny Sabdo mengungkapkan lebih jauh, para pemohon merasa yakin bahwa norma dasar “maksud dan tujuan pendirian BUMN” sebagaimana termuat dalam pasal 2 ayat 1 (a) dan (b) yang menjadi objek gugatan adalah kabur dan multi interpretasi. Kekaburan norma inilah yang kemudian mengakibatkan BUMN tidak dapat mewujudkan amanat Pasal 33 UUD NRI 1945. Akibat lebih jauh adalah, BUMN menjadi alat dari gerakan kelompok orang yang ingin menghancurkan NKRI dan Pancasila.

Selain Benny, TAKEN terdiri dari Liona N Supriatna, Hermawi Taslim, Sandra Nangoy, Daniel T. Masiku, Gregorius Retas Daeng, Alvin Widanto Pratomo, Bonifasius Falakhi. Gugatan terhadap UU BUMN tersebut didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD) dan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI).

Meskipun hadir dan memberi keterangan, kedudukan hukum Refly Harun dan Revrisond sebagai Saksi Ahli dalam perkara tersebut dipersoalkan pemohon gugatan karena memiliki conflict of interest (konflik kepentingan) sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, pasal 22 ayat 2.

Sementara itu, Hakim Ketua MK, Anwar Usman masih mempertimbangkan kedudukan keduanya sebagai saksi ahli dalam sidang yang berlangsung di Jakarta, Selasa (26/6/2018), meskipun sudah jelas keduanya adalah komisaris BUMN.(fri/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Kewenangan Panggil Paksa Hilang, DPR Hormati MK


Redaktur & Reporter : Friederich

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler