jpnn.com, JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi calon kepala daerah yang melakukan perbuatan tercelah dan telah selesai menjalani masa hukumannya.
Mahkamah Konstitusi berpendapat dapat menerima dalil pemohon melalui kuasa hukumnya dari kantor Highlegal Law Firm yang terdiri dari William Yani Wea, Hardizal, Harli, Irwan Gustaf dan Ignasius Watu Mudja.
BACA JUGA: Tolak Gugatan DPD soal Presidential Treshold, MK Berpotensi Melawan Kedaulatan Rakyat
Mahkamah dalam pertimbangan hukumnya juga menyatakan pelaku perbuatan tercela diberi kesempatan untuk dapat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah setelah menjalani hukuman dan jedah lima tahun.
“Pertimbangan pilihan diserahkan kepada para pemilihnya/masyarakat, namun hal tersebut tidak boleh menghilangkan informasi tentang jati diri masing-masing calon kepala daerah dan wakil kepala daerah,” tegas Suhartoyo, hakim MK dalam sidang pembacaan putusan pekan lalu.
BACA JUGA: MK Tolak Uji Materi Legalisasi Ganja Medis, Taufik Basari: DPR Wajib Tindak Lanjuti
Mahkamah Konstistusi juga memerintahkan kepada penyelenggara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, termasuk dalam hal ini pihak Kepolisian, untuk segera memformulasikan bentuk/format SKCK sebagaimana dikehendaki dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada.
"Sekalipun syarat melampirkan SKCK sebagaimana yang dipersyaratkan dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf i UU Pilkada tetap diberlakukan kepada setiap calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, namun apa pun model atau format SKCK dimaksud, hal tersebut tidak boleh menjadi penghalang bagi calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang bersangkutan untuk dapat ikut kontestasi pilkada," kata William Yani Wea.
BACA JUGA: Partai Garuda Sindir Penuding MK Macam-macam Dalam Putusan Presidential Threshold
Kuasa hukum pemohon mengungkapkan pada masa pendaftaran bakal pasangan calon Pilkada Kota Sungai Penuh 2020, salah satu bakal calon telah mendapat surat mandat dari tiga partai.
Namun pada akhir masa pendaftaran Pilkada tahun 2020 tersebut, salah satu partai mencabut rekomendasinya dengan alasan pemohon memiliki catatan kriminal sebagai pengguna psikotropika.
Informasi tersebut terungkap dari Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) yang menerangkan bahwa yang bersangkutan terlibat dalam kegiatan kriminal seperti yang tercantum pada UU 35 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
"Oleh karena tidak memenuhi persyaratan calon akibat adanya pembatalan surat rekomendasi, maka dua partai yang lain juga mengalihkan rekomendasi persetujuannya ke pasangan wali kota Sungai Penuh yang lain," kata kuasa hukum.
Menurut William Yani Wea, pemulihan kembali hak-hak dan kebebasan seseorang yang telah menjalani hukuman pemidanaan juga menjadi tujuan sistem pemasyarakatan berdasarkan UU Pemasyarakatan.
Lingkup perbuatan tercela yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf i tersebut terlalu luas, secara umum dapat dikategorikan ke dalam dua bentuk. \
Pertama, perbuatan tercela yang diatur KUHP Pidana dan Pidana Khusus, pertanggungjawaban Pidana dapat dilakukan dengan dua aspek penting, dilakukan dengan prosedur (formil) dan materiil (substantif).
"Kedua, perbuatan melanggar kesusilaan lainnya, yang tidak jelas dasar hukumnya. Sehingga luasnya perbuatan tercela dan tidak memberikan para pihak membela diri dalam Pasal 7 ayat (2) huruf i UU 10/2016, memiliki implikasi ketidakpastian hukum terhadap warga negara," lanjut dia.
Irwan Gustaf Lalegit, kuasa hukum yang hadir pada persidangan tersebut, menyambut baik putusan mahkamah.
“Kami menyambut baik putusan ini, Mahkamah telah memberikan kepastian dan keadilan hukum serta hak atas persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada prinsipal kami," pungkasnya. (dil/jpnn)
Redaktur & Reporter : M. Adil Syarif