MK: Kritik pada Putusan MK Adalah Contempt of Court

Jumat, 14 Februari 2014 – 00:40 WIB

jpnn.com - JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2013 tentang MK.

Putusan yang dibacakan, Kamis (13/2) itu, menyebutkan bahwa Komisi Yudisial (KY) bukan lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi. Mahkamah juga tampaknya gerah dengan berbagai kritik dan protes yang dilayangkan oleh Komisi Yudisial (KY) selama ini.

BACA JUGA: Dahlan: Kesenian Roh Kehidupan Bangsa

Menurut Hakim Konstitusi Harjono, dalam praktik negara hukum manapun tidak pernah terjadi kejadian sebuah putusan pengadilan dapat dinilai benar atau tidak benar oleh lembaga negara yang lain.

"Komentar berlebihan dan tidak sewajarnya terhadap kekuasaan kehakiman yang dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik secara meluas, di banyak negara dikualifikasikan sebagai contempt of court," kata Harjono saat membacakan pertimbangan hukum putusan pengujian UU Penetapan Perppu MK di Jakarta, Kamis, (13/2).

BACA JUGA: KPK Kembali Sita Mobil Anggota DPRD Banten

Ini memberi kesan bahwa MK menganggap kritik maupun pandangan KY, lembaga lain, dan kalangan di luar MK terhadap putusan dapat dikategorikan sebagai bentuk penghinaan terhadap lembaga peradilan (contempt of court).

Harjono menegaskan, setiap lembaga mempunyai kebebasan untuk menyatakan pendapat. Ini, dijamin sebagai hak asasi manusia.

BACA JUGA: Kejagung Tangkap Buronan Asal Sibolga

Namun dalam kekuasaan kehakiman, ujarnya, kebebasan tersebut dibatasi dengan mensyaratkan formalitas. Bahkan, ungkapnya, pembatasan tersebut dapat berupa sanksi pidana sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang.

Menurut Harjono dalam sebuah negara hukum, kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan untuk melakukan koreksi atas kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.

"Koreksi terhadap kekuasaan eksekutif dilakukan dalam kasus atau perkara tata usaha negara, yaitu kewenangan pengadilan tata usaha negara untuk menyatakan keputusan tata usaha negara sebagai batal karena bertentangan dengan Undang-Undang," paparnya.

Dengan demikian, kata dia, berdasarkan prinsip pemisahan kekuasaan dan kebebasan kekuasaan kehakiman, bentuk campur tangan apapun kepada kekuasaan kehakiman dilarang.

"Prinsip tersebut telah diterima secara universal dan UUD 1945 telah mengadopsinya. Dalam negara hukum tidak terdapat satu ketentuan pun yang membuka peluang kekuasaan lain untuk campur tangan kepada kekuasaan kehakiman," tegasnya. (flo/jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dahlan Iskan : Indonesia Harus Bisa Ciptakan Pahlawan Masa Kini


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler