Mobil Listrik APEC Pakai Dana Sponsorship BUMN

Kamis, 18 Juni 2015 – 08:00 WIB
DEMI INOVASI: Yusril Ihza Mahendra setelah mendampingi Dahlan Iskan yang dimintai keterangan terkait dengan proyek mobil listrik Rabu (17/6). Foto: Fedrik Tarigan/Jawa Pos

jpnn.com - JAKARTA – Dahlan Iskan memenuhi panggilan penyidik Jampidsus Kejaksaan Agung untuk menjelaskan proyek mobil listrik, kemarin (17/6). Sebagai saksi, mantan Menteri BUMN itu diminta menjelaskan proyek yang didanai anggaran sponsorship tiga perusahaan negara itu.

Dahlan menjalani pemeriksaan lebih dari delapan jam dengan didampingi kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Ada 32 pertanyaan yang dijawab Dahlan. Salah satunya terkait peran Dahlan sebagai menteri BUMN saat pengadaan mobil listrik terjadi.

BACA JUGA: Ini Pengakuan Terbaru Agustinus Tae

Yusril mengatakan, peran kliennya dalam proyek itu hanya meneruskan gagasan agar Indonesia memiliki mobil listrik untuk mengatasi persoalan BBM. ’’Gagasan itu beberapa kali disampaikan dalam rapat kabinet dan pidato presiden (Presiden Ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono),’’ ujar mantan menteri kehakiman dan HAM tersebut.

Presiden SBY kala itu juga mendorong berbagai pihak agar Indonesia bisa pamer mobil listrik saat penyelenggaraan KTT APEC di Bali, Oktober 2013. Ide tersebut ditindaklanjuti Dahlan dengan menggelar rapat staf.

BACA JUGA: Modus Pemberangkatan Calon Haji Lewat Filipina, 62 Nama Siap ke Mekkah

Rapat itu membahas cara pengadaan mobil listrik yang tak melanggar aturan. Akhirnya, muncul ide anggaran diambilkan dari dana sponsorship perusahaan BUMN. ’’Bukan dana corporate social responsibility (CSR) seperti yang disebutkan selama ini,’’ kata Yusril.

Dana sponsorship BUMN digunakan karena pengadaan tersebut tak dianggarkan dalam APBN. ’’Sampai di situ saja peran Pak Dahlan. Tak ada lainnya,’’ tegas Yusril.

BACA JUGA: Honorer Berijazah SMA, Kini jadi Sekjen Kemdikbud

Dahlan juga tidak mengarahkan perusahaan pelat merah mana yang harus menyediakan dana sponsorship. Dia hanya menawarkan, BUMN mana yang berminat menjadi sponsor. Ternyata ada tiga perusahaan negara yang menawarkan diri. Yakni, PT Pertamina, PT Perusahaan Gas Negara (PGN), dan PT BRI. Kontrak dan mekanisme pengerjaan sepenuhnya urusan perusahaan yang menjadi sponsor dengan pembuat mobil listrik, Dasep Ahmadi.

Dalam perjalanannya, terjadi keterlambatan penyelesaian mobil listrik. Terjadi saling menyalahkan antara BUMN dan Dasep Ahmadi. Dasep mengaku keterlambatan terjadi karena pembayaran dari perusahaan BUMN tidak lancar. Sebaliknya, perusahaan BUMN menyebut pengerjaan Dasep yang lelet.

Yusril menepis mobil listrik inovasi karya anak negeri itu tak berfungsi. Memang, di antara 16 kendaraan yang dipesan, hanya tiga yang akhirnya bisa dipamerkan dalam KTT APEC di Bali. Tapi, seluruh mobil listrik itu kini menjadi bahan penelitian di Kementerian Riset dan Teknologi serta sejumlah universitas.

Melihat fakta tersebut, Yusril menilai perkara itu sangat jauh dari unsur korupsi. Apalagi kalau dikaitkan dengan posisi Dahlan sebagai menteri BUMN saat itu.

Yusril sependapat jika publik menduga perkara tersebut bermotif politik. ’’Bisa jadi ini persoalan hukum yang dilatarbelakangi motif politik untuk mencelakakan seseorang. Itu bisa terjadi. Saya pernah mengalaminya,’’ ujar dia.

Dalam pandangan Yusril, persoalan pengadaan mobil listrik lebih ke arah perdata. Bukan korupsi. ’’Ya, itu masalah antara tiga perusahaan BUMN dengan Dasep Ahmadi,’’ tuturnya. Dahlan kemudian berusaha dikait-kaitkan karena posisinya sebagai menteri BUMN.

Mantan menteri sekretaris negara itu juga mengatakan, jaksa keliru jika menganggap dana sponsorship tiga perusahaan BUMN (yang digunakan untuk menggarap mobil listrik) sebagai uang negara. ’’Ingat definisi BUMN, yakni uang negara yang dipisahkan untuk korporasi,’’ ujarnya.

Jaksa memang berpendapat proyek mobil listrik dibiayai uang negara. Mereka menggunakan dasar UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. ’’Dalam dua peraturan itu sudah jelas definisi tentang keuangan negara itu apa saja,’’ kata Kasubdit Penyidikan Jampidsus Kejagung Sarjono Turin kemarin.

Dalam perkara tersebut, jaksa belum mengantongi nilai kerugian negara. Pengusutan kasus itu hanya berdasar pendapat kemanfaatan mobil listrik tersebut. ’’Wujud mobil-mobil itu memang ada. Tapi, kemanfaatan tak ada. Jadi, kami anggap terjadi total lost sebesar Rp 32 miliar,’’ ujar Sarjono.

Di tempat terpisah, bekas Sekretaris Menteri BUMN Said Didu mengatakan, penilaian adanya kerugian negara akibat penggunaan dana promosi tidaklah tepat. Sebab, anggaran itu habis pakai dan berbeda dengan dana CSR atau program kemitraan dan bina lingkungan (PKBL). ’’Buat bayar artis atau SPG saja boleh,’’ katanya.

Said mengatakan, uang sponsorship perusahaan itu berstatus uang korporasi. ’’Yang dilupakan penegak hukum, UU BUMN menyebut negara secara sadar memisahkan asetnya ke BUMN untuk dikelola secara korporasi,’’ terangnya.

Jadi, tidak mengikuti mekanisme yang sama dengan APBN. Dia berharap penegak hukum bisa memahami tiga jenis pengeluaran BUMN tersebut. (gun/dim/c10/sof)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Dua Bercak Darah di Tempat Tidur Margareith


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler