Modernisasi Pertanian Jadi Andalan Hadapi Globalisasi

Rabu, 04 Oktober 2017 – 13:11 WIB
Petani di sawah. Ilustrasi Foto: JPG/dok.JPNN.com

jpnn.com, JAKARTA - Arus barang, termasuk produk pertanian seperti bahan pangan pokok akan semakin bebas dan mudah memasuki wilayah Indonesia seiring berlakunya pasar bebas atau globalisasi.

Hal itu bisa menjadi ancaman bagi petani lokal dan berpotensi menimbulkan ketergantungan pangan kepada asing.

BACA JUGA: Mbak Rina Dorong Kalangan Muda Mau Seriusi Sektor Pertanian

Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Herman Khaeron, kunci menghadapi globalisasi tersebut adalah efisiensi usaha tani.

Potensi ancaman tersebut dapat dihadapi dengan tiga langkah yang bersifat mikro.

BACA JUGA: Investor Jakarta Siap Garap Pertanian di Nunukan

Di antaranya, meningkatkan jumlah produksi sehingga tercapai kecukupan pangan nasional dan meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga produk pertanian memiliki daya saing harga.

"Kemudian, meningkatkan kualitas sehingga produk pertanian memiliki daya saing kompetitif serta mengupayakan kontinuitas suplai pangan. Secara makro, misalnya, perlunya regulasi sektor pertanian dan perlindungan yang lebih baik kepada petani termasuk perlindungan dari berbagai bencana alam serta pengembangan sarana dan prasarana pertanian termasuk pengembangan industri alsintan dalam negeri," ujar Herman, Rabu (4/10).

BACA JUGA: Pupuk Indonesia Genjot Semangat Petani Bawang Sembalun Lewat Demplot

Semua langkah tersebut, jelas Herman, tidak terlepas dari keberhasilan implementasi teknologi pertanian modern.

Kebijakan pemerintah yang mengutamakan keberpihakan kepada petani telah berdampak positif.

Yakni, menggeser kegiatan usaha pertanian dari sistem tradisional menuju pertanian yang modern.

Salah satunya dengan meningkatkan fasilitasi bantuan alat mesin pertanian (alsintan) secara signifikan.

"Modernisasi pertanian dapat dilihat pada penggunaan metode budidaya yang lebih baik dan efektif, penerapan alat mesin pertanian dengan teknologi tepat guna dari mulai pengolahan lahan, pemanenan dan penanganan pasca panen, penggunaan benih unggul, pemupukan yang tepat guna dan mencukupi, penggunaan SDM pertanian yang lebih berkualitas, serta efisiensi penggunaan sumberdaya alam terutama air irigasi, sehingga keseimbangan lingkungan tetap terjaga," imbuh Herman.

Herman menambahkan, modernisasi juga melingkupi aspek pascapanen.

Misalnya, sistem panen, pengolahan hasil dan pembuatan kemasan modern dan aman, tata niaga yang efisien, serta terus menerus menyempurnakan kebijakan pemerintah yang kondusif bagi kegiatan usaha pertanian.

"Modernisasi pertanian juga mesti mampu menjamin ketersediaan suplai berdasarkan penataan masa panen dan teknik pengemasan hasil yang baik. Modernisasi pertanian juga termasuk skim pembiayaan pada petani dan sistem penjaminan usaha tani melalui asuransi, sehingga petani mampu berproduksi dengan optimal," tuturnya.

Kementerian Pertanian (Kementan) melihat pentingnya penerapan alsintan modern agar petani lebih berdaya saing menghadapi pasar bebas Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

Pada 2010-2014, jumlah bantuan alsintan yang dibagikan hanya kurang dari 50 RIBU unit.

Namun, pada 2015–2017, jumlah bantuan alsintan berbagai jenis yang dibagikan pemerintah kepada petani berjumlah lebih dari 321 ribu unit atau naik lebih dari 600 persen.

"Melalui modernisasi pertanian terbukti bisa meningkatkan produktivitas pangan sehingga proses produksi beras bisa lebih efisien. Modernisasi pertanian yang tepat guna dan efisien akan mampu menangkal dampak buruk globalisasi dan menjadi salah satu kunci sukses menghadapinya," jelas jelas Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Pending Dadih Permana.

Menurut data Kementan, produksi GKG pada 2015 mencapai 75,55 juta ton.

Setelah petani menggalakkan penggunaan alsintan, produksi meningkat 4,66 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 70,85 juta ton.

Pada 2016 lalu, produksi GKG mencapai 79 juta ton. Pada 2017 ini, produksi GKG sebesar 85,5 juta ton atau setara 55,5 juta ton beras.

Sementara itu, konsumsi sebesar 32,7 juta ton beras sehingga masih terdapat surplus konsumsi yang diharapkan bisa diekspor.

Adapun target produksi jagung adalah 30,5 juta ton serta kedelai target produksinya 1,2 juta ton.

Menurut hitungan sederhana, lanjutnya, penggunaan alsintan mulai olah sawah, penanaman, pembersihan gulma, pemupukan sampai pemanenan menggunakan combine harvester, dapat meningkatkan efisiensi biaya antara 30-40 persen.

"Apabila satu hektare biaya produksi padi secara manual adalah Rp 6,5 juta per musim maka dengan alsintan ini dapat menghemat sampai 40 persen, yaitu sekitar Rp 2,6 juta per hektare per musim sehingga biaya produksi hanya Rp 3,6 juta juta per hektare," paparnya.

Dari 2015 sampai 2017, Kementan telah membagikan lebih dari 321 ribu unit alsintan dari berbagai jenis.

Misalnya, traktor roda dua dan empat, transplanter, combine harvester, pompa air, dryer, power thresher, dan corn sheller.

"Diperlukan pendampingan dan pengawalan dalam pemanfaatannya agar bantuan alsintan tepat arah, sasaran dan tujuan. Jika pemanfaatan bantuan alsintan dapat optimal, diharapkan akan mampu mengungkit atau mengangkat produksi padi, jagung dan kedelai," jelas dia.

Pending menambahkan, untuk mendukung pengembangan mekanisasi pertanian di Indonesia diperlukan dukungan kebijakan lintas sektor, terutama dengan Kementerian Perindustrian.

Selain itu, dibutuhkan dukungan dalam pengembangan bengkel alsintan dan industri spare part oleh industri UKM.

"Selain itu juga diperlukan dukungan kemudahan untuk investasi di bidang industri alsintan, yaitu seluruh sektor terkait alsintan disinergikan menuju kemandirian Indonesia dalam memproduksi alsintan atau bahkan sebagai ekportir alsintan," tambahnya. (jpnn)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Wujudkan Swasembada dengan Mencetak Sawah dan Membangunkan Lahan Tidur


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler