jpnn.com, JAKARTA - Bersamaan dengan dikeluarkannya Penyesuaian SKB (Surat Keputusan Bersama) Empat Menteri, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) meluncurkan kurikulum khusus untuk pembelajaran di masa darurat.
Kepala Badan Penelitian, Pengembangan dan Perbukuan (Kabalitbangbuk) Kemendikbud, Totok Suprayitno mengungkapkan bahwa berdasarkan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19 telah disebutkan bahwa penuntasan kurikulum tidak diwajibkan.
BACA JUGA: Gelorakan Kemerdekaan RI, Kemendikbud Besut Nobar Virtual Battle of Surabaya
“Beberapa sekolah yang sebenarnya sudah mengimplementasikan kurikulum mandiri melalui pengurangan dan hanya mengambil materi yang esensial. Inilah yang kami lakukan dalam kurikulum khusus ini," kata Totok.
Namun, menurut Totok, ini bukan paksaan melainkan pilihan. Jadi ada tiga pilihan yang bisa diambil yaitu mengikuti kurikulum biasa atau kurikulum khusus atau kurikulum mandiri,.
BACA JUGA: Kemendikbud Ajak Orang Tua Daftarkan Anaknya ke PAUD
Untuk mengurangi risiko hilangnya pengalaman belajar, Kemendikbud juga meluncurkan modul. Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan survei di mana peserta didik jenjang bawah kesulitan belajar mandiri melalui buku teks.
Materi dalam bentuk modul ini mudah dipahami karena berbasis kegiatan.
BACA JUGA: Kemendikbud Dorong Perangkat Desa Buat Kebijakan Berbasis Kebudayaan
Modul ini disiapkan bagi peserta didik, pendidik dan orang tua agar masing-masing memiliki acuan terutama bagi para orang tua agar tidak mengalami kebingungan dalam mendampingi anak-anak mereka.
Selanjutnya, Totok menerangkan bahwa kegiatan yang terdapat di dalam modul merupakan kegiatan sehari-hari seperti memasak atau berkebun. Totok mempersilakan orang tua untuk mengembangkan kegiatan berdasarkan keseharian yang terinspirasi dari modul tersebut.
Para pendidik, lanjut Totok, perlu melakukan asesmen diagnostik terhadap setiap peserta didik karena capaian setiap anak berbeda. Selain itu ada kesenjangan yang disebabkan beberapa faktor.
“Ada anak yang mengalami kesulitan konektivitas, tidak didampingi orang tua, perbedaan status sosial, dan sebagainya. Oleh karena itu ada risiko anak itu tertinggal. Instrumen asesmen sudah kami sediakan tetapi jika guru mau membuat instrumen sendiri, kami persilakan,” pungkasnya. (esy/jpnn)
Redaktur & Reporter : Mesya Mohamad