Teks dan Gambar : Multi Tafsir

Sabtu, 03 Juli 2010 – 00:20 WIB

ADA sebuah iklan soft drink berbentuk karikatur di Bangkok yang menggambarkan ekor kucing keluar dari sebuah lubang karena tubuh dan kepalanya masuk ke lubang ituTak jauh dari ekor yang menjulur itu, tergeletak sebuah kaleng bekas minuman diet kalori rendah.

Pesannya, seekor kucing pun bisa masuk ke lubang yang sempit itu setelah menikmati minuman diet rendah kalori

BACA JUGA: Sipil Tak Siap, Militer Tampil

Konsumen tak perlu merasa dianggap seekor kucing, dan lalu memboyong rasa keterhinaan itu ke meja hijau


Itulah kehebatan karikatur

BACA JUGA: Partai Islam di Simpang Jalan

Ada nuansa humor dalam adegan dramatik
Estetis pula

BACA JUGA: Surat untuk Mahkamah Konstitusi

Emosi dan otak penikmat dihargaiTidak main tembak langsung.

Syahdan, karikatur adalah gambar olok-olok yang mengandung pesan, sindiran, dan sebagainya yang dibuat dengan cara melebih-lebihkan gambaran seseorang atau sesuatu dengan tetap mempertahankan kemiripan visual dengan orang atau benda aslinyaMeski itu bukan realitas seseorang atau sesuatu itu

Bisa berupa sindiran atau pujian dan dapat pula dimaksudkan untuk tujuan politis atau dibuat semata-mata untuk hiburanKarikatur politik biasa ditemukan di kartun editorial, atau di sampul sebuah majalah atau halaman depan suratkabar.

Kasus gambar, karikatur dan  teks tidak selalu lucuBahkan, dalam sejarah peradaban sering berujung di meja hijauGalileo dikucilkan ketika nekad mengatakan bumilah yang mengitari matahari, dan bukan sebaliknya seperti diyakini kaum Paderi, yang memonopoli pemaknaan teks zaman itu.

Buku-buku Hamzah Fansury dibakar, dan sang sufi dimakzulkan sebagai imam istana kerajaan di Aceh masa lalu nan jauh ketika ia berkata tentang “Wahidatul Wujudiyah.”

Saya pernah dipermainkan seorang teman“Suka nasi gulai ayam atau Kefcy (KFC),” katanya ketika bertandang ke rumahnyaSaya spontan bilang “tak usah repot-repot.” “Aduh, sory, saya bukannya hendak menjamu Anda, tetapi ingin tahu apakah Anda orang yang suka proses atau hasil secara instan,” katanyaBusyet!

Pentas sajak Rendra, lakon Teater KOMA, dan lirik lagu Iwan Fals pernah dilarang penguasaHarian Indonesia Raya dan Majalah TEMPO pernah dibredelJuga Bung Karno dan Bung Hatta tersandung “haatzaai artikelen” dan diasingkan ke pulau pembuangan.

***
Ada satu anekdotGondang yang larut merantau di Eropa, pulang kampung ke Sibolga bertemu Gabe, kawan masa kecilnyaDari jarak empat meteran, Gabe berteriak, maaf, “Anjing-babi, sudah kaya makin tampan kamu!” Gondang membalas, dengan kalimat yang sama.

Mungkin, teman dari Jawa akan merasa keduanya akan bergaduhIa berdebar menunggu perkelahian segera meletusTapi ia kecele, karena ternyata Godang dan Gabe yang setelah saling merapat malah saling tertawa dan berpelukan.

Panggilan anjing-babi ternyata bukan perkara berangTapi distimulus oleh kedekatan dan rasa rindu, meski bukan sebuah doktrin di etnik BatakIni hanya sebuah bahasa pasaran.

Dalam pesta adat, orang Batak sangat santunMisalnya, tak pernah bilang “ulu” (kelapa) tapi “simanjujung” alias yang menjunjung.  Bahasa pasaran beda dengan bahasa adat, tentu saja.

Lagi pula apa dosa “anjing” jika konotasinya ditafsirkan “buruk”? Bukankah anjing dikenal sebagai hewan yang setia? Namun, dalam suatu masyarakat yang konvensional, pastilah sangat gawat jika terhadap kawan yang setia, lalu dipanggil dengan ucapan “wahai anjing.”

Walaupun dalam komunitas tertentu (yang rasional), hal itu, mungkin, jamak saja dan tak perlu membuat yang lainnya terluka.
 
Ada asumsi, ada konteksTapi dalam asumsi dan konteks yang beda, teks yang sama bisa bebeda maknaKaya tak selalu diukur dengan rupiahBisa juga karena pengalaman budi pekerti dan rohani yang tinggiSi miskin juga bisa ditujukan kepada seseorang yang miskin pergaulan, maupun miskin cita-cita dan fantasi.

Tunjukkanlah gambar buaya kepada beberapa orang, dan dengar komentar merekaMungkin, ada yang bilang “itu jenis reptile.” “Wah, saya teringat lelaki di sana itu bak buaya darat,” kata yang lain“Kulitnya bisa menjadi ikat pinggang,” kata seseorangSeorang pujangga terkenang pula pada ungkapan, “buaya muncul di sangka mati, jangan percaya mulut lelaki, berani sumpah takut mati.”

Orang Barat yang melihat temannya jatuh akan berkata “Are You fine?” Tak membuat yang jatuh lalu marah“I’m fine, thank you.” Coba kalau orang kita, wah, Anda bilang “fine” lagi, lihat nih, jari kakiku terluka.”

Jika orang kita bertanya tentang umur adalah lumrah sajaTapi jika yang ditanya cewek bule, ia tak enak hati melihat AndaApalagi bertanya, “apa sudah nikah dan apa agamanya”, ia melengos berlalu meninggalkan ANDA.

Bahasa dan gambar pastilah sulit dibakukanApalagi dibekukanTinggi tak selalu ukuran meter, bak pada tiang listrikApakah gedung Pengadilan Tinggi lebih tinggi dibanding Pengadilan Negeri? Bukan ukuran meter atau budi pekerti, misalnya yang satu maaf, “tinggi hati” dan lainnya ”rendah hati.” Tapi hirarki belaka.

Papua Merdeka dan Riau Merdeka itu, konkrit atau abstrak? Tergantung konteksnyaJika bermaksud hendak merdeka dari kemiskinan dan keterbelakangan, tak usahlah risauTak perlu tentara dikerahkan, dan para aktivis ditangkap.

Penyair Chairil dalam sajaknya “Di Mesjid” menulis rindunya kepada Tuhan dengan kiasan “Ini ruang (tentang masjid itu) gelanggang kita berperang.” Beda dengan kerinduan penyair Amir Hamzah, yang menulis, “Engkau ganas, engkau cemburu/ Mangsa aku dalam cakarmu/Tapi, baik rezim kolonial Belanda dan fasis Jepang tidak menyeret kedua penyair itu ke meja hijau.
 
Teks dan gambar mempunyai peluang makna yang tak terbatasBukan makna tunggal yang absolutAntarkita, mungkin, merasa saling memahami hal yang sama, karena asumsi yang sama, dan mungkin sering ngobrol kendati kerap pula terjadi salah sangka dan tafsir dalam berkomunikasi.

Tapi lain lingkup gaulnya bisa lain tafsirnya, baik karena usia, etnik, agama, gender, sosiolgis dan historis dan sebagainyaToh tak ada patokan mana paling benar, apalagi paling suci dan agung, mana yang pusat dan pinggiran ruwet mendefenisikannya.

Asumsi pun selalu liarTidak menetapKarena tak terelak bahwa selain produser teks dan gambar ada juga konsumen teks dan gambarKonsumen sekaligus menjadi produser karena ia menafsirkan si produser yang bisa saja maknanya beda-beda

Dungu berarti bebalBisa juga “tidak tahu.”  “Saya dungu soal nuklir,” kata seorang penyairMana mungkin si penyair tahu segalanyaSudah kodratnya dungu dalam banyak hal, dan tak dungu, serta mungkin cerdas, dalam sedikit hal

Yang Maha Tahu hanya Allah, dan sudah kodrat insan jika dungu untuk bidang nan tak diketahuinya.(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Biarkan Tumbuh, Lalu Berguguran?


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler