Muhammadiyah Bersaing dengan Negara

Jumat, 09 Juli 2010 – 00:26 WIB

MUHAMMADIYAH bak matahari bagi masyarakat pribumi yang ratusan tahun tertindas penjajahMaklum, Indonesia baru lahir pada 17 Agustus 1945, sedangkan Muhammadiyah lahir pada 1912

BACA JUGA: Teks dan Gambar : Multi Tafsir

Bahkan menurut penanggalan tahun qamariah, Muhammadiyah lahir pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah
Dus, pada 8 Zulhijah 1430 Hijriah atau 25 November 2009 sudah berumur satu abad.

Banyak “puja-puji” kepada Muhammadiyah yang punya belasan ribu proyek amal usaha di bidang keagamaan, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan sosial

BACA JUGA: Sipil Tak Siap, Militer Tampil

Namun kini terdengar kritik tajam
Muhammadiyah terlalu sibuk mengurusi belasan ribu amal usaha sehingga lupa dengan tajdid atau pembaruan yang diamanatkan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah ("Belenggu" Amal Usaha, Kompas, 6 Juli 2010). 

Muhammadiyah telah berhenti menjadi gerakan pembaruan

BACA JUGA: Partai Islam di Simpang Jalan

Baik pembaruan gagasan dan pemikiran Islam maupun dalam ranah sosial kemasyarakatanTidak ada bedanya lagi dengan yayasan swasta lainTak mampu memberikan alternatif untuk menyelesaikan permasalahan bangsaCenderung kurang peduli persoalan sosial kebangsaan.

Saya kira penilaian itu menafikan pendekatan historisSemestinya haruslah dilihat bagaimana latar belakang masyarakat kita pada saat Muhamamdiyah lahir dan dibandingkan dengan kondisi masyarakat sekarang yang bagai di antara langit dan bumi.

Tidaklah mencengangkan jika pendidikan Muhammadiyah yang sejak awal memadukan ilmu-ilmu agama dan umum sangat inovatif ketika pendidikan di masa kolonial berada dua kutub yang ektrimYang satu ditandai dengan pondok pesantren kuno dengan metode “sorogan”-nya, dan lainnya pendidikan klasikal dan sekuler ala kolonialTiba-tiba muncul pola pendidikan alternatif ala Muhamamdiyah, tentu saja sangat brilian.

Pemerintahan Hindia Belanda sendiri tak pernah menandingi pola pendidikan Muhamamdiyah, yang juga diikuiti oleh Nahdlatul Ulama (NU), Al-Wasliyah dan sebagainyaKaum kolonial juga tak menandingi pendidikan ala Taman Siswa, atau model INS di Kayu Tanam yang mengutamakan keterampilan.

Pendidikan pemerintah kolonial seperti berjalan sendiri dengan institute hukum, kedokteran dan sebagainyaDisadari atau tidak telah menciptakan keragaman dunia pendidikanSeolah-olah pemerintah kolonial memberi ruang bagi pendidikan ala Muhamamdiyah, NU, Taman Siswa dan INS Kayu Tanam untuk berkembang sesuai identitasnya.

Tak heran jika kemudian banyak lahir kader-kader dan pemimpin bangsa dari pesemaian pendidikan pribumi tersebutKader dan pemimpin pun berlahiran dari berbagai institusi pendidikan Belanda baik yang berada di Hindia Belanda maupun di negeri Belanda.

Berbeda dengan era setelah kemerdekaan, dan terlebih-lebih setelah Orde Baru, pemerintah Republik Indonesia asyik membangun pendidikan umum dan agama, yang sebetulnya sudah digarap oleh Muhammadiyah, NU, Taman Siswa dan sebagainya sejak era kolonialAPBN digunakan habis-habisan, suatu sumber dana yang tentu saja tak dimiliki oleh Muhammadiyah.

PGA dan PGAA Muhaamdiyah dan belakangan berubah menjadi Madrasah Tsanawiyah dan Aliyah Muhammadiyah bersaing dengan madrasah milik pemerintahBahkan sejak tingkat Ibdidaiyah (SD) hingga perguruan tinggi, perguruan milik pemerintah secara perlahan menggusur dan mengalahkan pendidikan kaum civil society ini.

Jelas saja perguruan milik pemerintah lebik eksisBangunannya berasal dari uang negara, juga gaji para guru dan dosen termasuk buku-buku dan peralatannyaMustahil Muhammadiyah yang mengandalkan dana masyarakat itu bisa bersaing dengan perguruan milik pemerintah yang justru dibiayai dengan APBN dan APBD, yang meskipun  milik rakyat juga.

Hal yang sama juga menimpa berbagai proyek amal usaha Muhammadiyah di bidang sosial, kesehatan, kebudayaan, perekonomian dan sebagainyaMayoritas amal usaha itu tak mampu bersaing dengan proyek serupa yang dipunyai pemerintahTak sedikit pula kemudian yang terpaksa ditutup karena ketiadaan dana. 

Dalam suasana kerepotan mengurus berbagai amal usaha itulah, Muhammadiyah kehilangan kepionirannya dibanding di masa kolonialBagaimana mungkin lagi menciptakan berbagai gerakan pembaharuan yang inovatif dan alternatif, jika mengurusi amal usaha yang rutin saja sudah menyita energy, pikiran dan dana.

Fenomena gerakan yang semakin menciut itulah yang mendorong sebagian kader Muhammadiyah masuk ke pentas birokrasi, bahkan juga ke pentas politikSelain sejak debut PAN pada awal masa reformasi, juga pada era Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di era Orde Baru serta sebelumnya via Masyumi pada 1950-an.

Posisi Muhamamdiyah yang independen memungkinkan para kadernya pula masuk ke parpol lain, seperti Golkar, PPP, PDI (dan kemudian PDIP) dan sebagainyaTak sedikit kader Muhammadiyah yang terperangkap dalam isu perebutan kekuasaanAkibatnya, Muhammadiyah kurang mandiri terhadap kekuasaan.

Sejarah perjalanan Muhamamdiyah di Tanah Air memang tak berada di ruang kosongBerbagai pengaruh eksternal sangat mempengaruhi identitasnya sebagai gerakan pembaharuan yang akhirnya kian mengendorSemakin tidak fokus jika dibandingkan dengan saat era kelahiran dan puluhan tahun sesudahnya.

Adalah tidak adil melihat gerakan Muhammadiyah dewasa ini jika tak dilihat dengan pendekatan sejarahSalah satu penyebab terbesar, adalah karena pemerintah RI juga “merebut” wilayah gerakan Muhamamdiyah, suatu hal yang ironisnya tak dilakukan oleh pemerintahan Hindia Belanda.

***
Saya membayangkan fenomena yang dialami oleh Muhammadiyah akan berjangkit ke tubuh pemerintahanSekarang saja sudah kelihatan bagaimana peranan lembaga legislatif, eksekutif dan judikatif mengecewakan masyarakatKekuasaan mereka terlalu besar, sementara yang diurus sangat banyak dan luas jangkauannya.

Tak usahlah berbicara tentang masyarakat adil dan makmur, mengurus gas elpiji yang melibatkan antardepartemen (termasuk Pertamina) saja sudah kedodoranKorban berjatuhan, sementara pemerintah masih membagi-bagi tabung gas elpiji pengganti,  berikut selang dan regulatornya, yang katanya aman dan berstandar SNI.

Sistem pendidikan nasional juga banyak dikritik ketika Negara yang tak pernah mengajar di depan siswa ikut menentukan kelulusan siswaBelum system pendidikan perguruan tinggi yang katanya harus berstatus BHP, juga menelurkan pendidikan yang semakin mahal dan jauh dari kemampuan masyarakat di lapis menengah ke bawah.

Sektor pertanian, kesehatan, UKM, pedagang kaki lima, masalah infrastruktur jalan, jembatan, irigasi dan sebagainya juga masih memprihatinkanBelum lagi kasus listrik yang masih byarpet sementara tarif dasar listrik naik pula.

Bagaimana dengan penindakan kasus korupsi yang selain makin banyak saja, juga terkesan masih “pilih kasih?” Belum lagi kasus Pilkada yang berduyun-duyung ke Mahkamah Konstitusi, biayanya juga terlalu mahal ketimbang harapan yang dibayangkan rakyat setelah si Kepala Daerah terpilih.
  
Eh, fenomena Muhamamdiyah juga diidap oleh pemerintahan, dan jangan-jangan sebagai akibat terlalu banyak mengurus berbagai aspek kehidupan masyarakatPadahal berbeda dengan Muhammadiyah, pemerintah masih disangga oleh APBN walaupun sebagian merupakan hutang luar negeri.

Jangan-jangan sejak awal bangsa ini sudah salah kaprahTidak ada semacam pembagian tugas antara pemerintah dan kalangan civil society, sehingga menjadi tumpang tindih dan di sector tertentu saling “kanibalis”, bahasa lain dari persaingan antara Negara dan dunia swasta maupun civil society.

Alangkah aneh jika Negara bersaing dengan civil society, seperti Muhammadiyah, NU, dan berbagai elemen masyarakat lain baik yang terhimpun dalam lembaga adat, keagamaan, sosial dan sebagainya.

Jika hendak diambil contoh, pemerintah semestinya tak perlu lagi mengurusi TVRI dan RRI ketika jaringan televisi dan radio swasta menunjukkan kemampuannya melayani publikMasihkah pemerintah perlu mempunyai rumah sakit  ketika RS swasta semakin canggih dan maju? Adapun askes dan jamkesnas bisa saja disalurkan ke RS swasta.

Pertanyaan sejenis bisa ditujukan kepada sektor pendidikan, yang justru telah diurus oleh Muhammadiyah, NU, bahkan juga perguruan Kristen dan Katholik sejak awalToh telah terbukti di sektor penerbangan, Garuda tak lagi terbang sendirianSudah banyak maskapai swasta, dan suatu hari pemerintah boleh mundur secara perlahan.

Penswastaan di sini tentu tak semata dalam makna privatisasi BUMN yang harus dilego sebagian sahamnya ke tangan modal asingTetapi lebih kepada pengertian bahwa sudah tiba masanya untuk menentukan mana sektor yang harus dikelola oleh pemerintah dan mana yang didorong agar ditangani oleh kalangan swasta dan civil society.

Perlu grand strategy menghadapi masa depan yang melibatkan peran berbagai pihakJika tidak, tak mustahil pemerintah pun akan kewalahan seperti fenomena yang dialami oleh MuhamamdiyahPada saat itu “gagal Negara” pun terjadi, dan saya kira itu adalah “mimpi buruk” bagi generasi mendatang(***)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Surat untuk Mahkamah Konstitusi


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler