BACA JUGA: Muhammadiyah Bersaing dengan Negara
Termasuk kasus kenaikan tarif dasar listrik (TDL) yang membuat harga kebutuhan pokok membubung, sehingga rakyat dibikin repot.Kedua kasus itu, agaknya, bagaikan mendefinisikan civil society versi Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-)
BACA JUGA: Teks dan Gambar : Multi Tafsir
Bahwa masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publikRuang publik itu antara lain diisi oleh masyarakat pers
BACA JUGA: Sipil Tak Siap, Militer Tampil
Juga berbagai asosiasi bisnis, seperti Apindo, LSM dan berbagai demonstrasi yang menyoal kasus tabung gas maupun kenaikan TDL.Meski tidak sepenuhnya berhasil, tapi pemerintah menarik kembali tabung gas 3 kg yang dibagikan secara gratis karena termasuk program konversi minyak tanah ke gasIni dimaksudkan untuk memotong jumlah subsidi minyak tanah dalam APBNHanya saja, rakyat masih harus membayar Rp 35.000, walau dulu dibagi-bagikan secara gratis.
Definisi civil society ala Cicero (106-43 SM) hingga Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704) dan Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), tampaknya sudah kunoMaklum, kala itu ditafsirkan bahwa civil society dianggap bagian yang integrated dengan negaraSeolah-olah tindakan negara adalah tindakan rakyat jugaTidak, tentu sajaBuktinya, kasus gas dan TDL made in pemerintah itu diprotes masyarakat juga.
Memang, barulah sejak Adam Ferguson (1723-1816) dan Thomas Paine (1737-1809) mulai dibedakan antara civil society dan negara dalam posisi diametral, bahkan sebagai anti tesis terhadap negara.
Toh, ada juga naik-turunnyaHegel (1770-1831) misalnya, senada dengan Karl Marx (1818-1883) yang menilai civil society sebagai masyarakat borjuisHegel menganggap hanya melalui negara, kepentingan masyarakat bisa terselesaikanTapi Marx menganggap negara sebagai eksekutif kaum borjuis, karena itu harus dihapuskanNamun Hegel meramalkan masyarakat sipil-lah yang akan runtuh.
Antonio Gramsci (1891-1937) juga memandang civil society sebagai milik kaum borjuis yang akhirnya menjadi pendukung negaraNamun Alexis de Tocqueville (1805-1859) melihat bahwa masyarakat sipil tidak apriori subordinatif terhadap negaraTapi, otonom dan berkemampuan menjadi kekuatan penyeimbang atas intervensi negara.
Kemudian, itu tadi: Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-) kemudian memperkuatnya dengan konsep "a free public sphere"Bahwa masyarakat memiliki akses penuh terhadap setiap kegiatan publikSenada pula dengan Ernest Gellner (1925-1995) bahwa ruang publik adalah jalan menuju demokratisasi modern.
Sesungguhnya, terminologi civil society selalu bermetamorfosis selaras dengan kehendak zamanJika diurumuskan, maka civil society punya tiga ciriYakni adanya kemandirian individu dan kelompok masyarakat saat berhadapan dengan negara, adanya ruang publik bebas sebagai ekspresi politik warga negara, dan adanya kemampuan membatasi kuasa negara agar tidak intervensionis dan otoriter.
Nah, inilah pembuktiannyaKasus tabung gas sudah ditinjauKita masih menunggu masalah kenaikan TDL yang membuat berbagai harga bahan pokok membubung dan menyusahkan masyarakat ituBahkan, masyarakat industri berancang-ancang akan melakukan PHK, jika kebijakan tersebut tak ditinjauMaklum, semula dijanjikan kenaikannya hanya maksimal 15 persen, eh, ini ada yang melejit hingga 40 persen, 50 persen, dan bahkan ada yang 80 persen.
DPR pun masih slow but not sureKita pun teringat teori hegemoninya Gramsci, bahwa DPR sebagai jelmaan suara rakyat alias demokrasi, belum bergerak untuk meralat kebijakan ituSeolah-olah DPR merupakan bagian dari pemerintah dan melupakan bahwa "jembatan" mereka menuju gedung DPR di Senayan, Jakarta, adalah masyarakat sipil.
Padahal, merunut narasi Alexis de Tocqueville (1805-1859), bahwa suara masyarakat yang direpresentasikan melalui DPR, mestilah sebagai check and balances atas kebijakan negaraBahkan, Hannah Arendt (1906-1975) dan Jurgen Habermas (1929-) dengan konsep "a free public sphere", (menyebut) semestinya masyarakat memiliki akses atas setiap kebijakan publikPendapat Ernest Gellner (1925-1995), bahwa ruang publik adalah jalan menuju demokratisasi, sesungguhnya sudah terlampaui dengan adanya DPR.
Namun sikap pemerintah masih mendua hatiJika Menteri ESDM dan Menteri Perindustrian mulai menampung keluhan dunia usaha, Menko Perekonomian malah melihat banyak rekening listrik dunia industri akan turun dengan kebijakan TDL ituMemang belum finalKita masih menunggu perkembangan day to day, dan tampaknya akan putus sepekan ke depan.
Dalam suasana mendebarkan itu, civil society harus membusungkan dadaMusim Orde Baru ketika suara rakyat masih terpasung sudah lampauBersama zaman baru, sesungguhnya ruang publik terbuka untuk menyuarakan ekspresi politik warga negara terhadap pemerintahan yang melayaninya.
Civil society tak boleh beku dan kaku, jika DPR belum berkenan mengabulkan keluh kesah masyarakatApindo dan berbagai asosiasi dunia usaha, NU, Muhammadiyah, Walubi, PGI, MAWI dan sebagainya, harus berlakon sebagai "pengeras suara" masyarakat sipil terhadap pemerintah dan DPR.
Negara ini punya kita bersamaPemerintah dan DPR hanya diamanahkan untuk mengurusnyaLagi pula, dalam negara demokrasi semua kebijakan haruslah berdasarkan kepentingan rakyat.
Kita ingatkan bahwa jika keluh-kesah masyarakat sipil di kota-kota dan desa-desa, di siang dan di malam hari dianggap bagai angin lalu, maka definisi-definisi tentang civil society itu akan menguap bagai embun pagiLalu, sirna.
Alangkah sunyinya sebuah pemerintahan yang bertahta di pucuk-pucuk kekuasaan, seraya menutup telinga supaya tidak mendengar suara rakyatnyaSemoga "mimpi buruk" itu tak terjadi(*)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Partai Islam di Simpang Jalan
Redaktur : Tim Redaksi