MPR: Realisasi Munculnya Haluan Negara Harus Sesuai dengan Aspirasi Rakyat

Kamis, 03 Desember 2020 – 21:44 WIB
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo. Foto: Humas MPR.

jpnn.com, JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo  mengungkapkan sejak menerima rekomendasi MPR periode 2014-2019 untuk melakukan amendemen terbatas UUD NRI 1945, khususnya dalam rangka menghadirkan kembali GBHN (MPR saat ini menyebutnya dengan Pokok-Pokok Haluan Negara/PPHN), MPR periode 2019-2024 langsung merespons  dengan mengkajinya secara sangat serius.

Namun, ia menegaskan, realisasi wacana yang berasal dari rakyat ini harus sesuai dengan aspirasi masyarakat juga. 

BACA JUGA: Bamsoet: Indonesia Memerlukan Pokok-pokok Haluan Negara

Karena itu, ujar Bamsoet, MPR dalam perjalanannya menggunakan berbagai cara untuk mendekati rakyat secara langsung guna melakukan serap aspirasi. 

Salah satunya melalui kegiatan Silaturahmi Kebangsaan dengan mengunjungi berbagai elemen masyarakat.

BACA JUGA: MPR RI Tekankan Pentingnya Pokok Haluan Negara Demi Kesinambungan Pembangunan

Antara lain para pimpinan partai politik, tokoh-tokoh masyarakat dan agama seperti NU, Muhammadiyah, PGI, Permabudhi, Matakin, sampai menyambangi sejumlah akademisi di berbagai perguruan tinggi.

Menurut dia, dari berbagai dialog dan diskusi yang dilakukan, muncul satu kesimpulan bahwa elemen masyarakat tersebut pada intinya mendukung adanya rekomendasi  tentang perlunya kehadiran PPHN. 

BACA JUGA: HNW: Pemberlakuan Kembali Calling Visa Israel Bertentangan dengan Empat  Pilar MPR RI

“Itu sangat baik menurut saya. Ditambah lagi, akhir-akhir ini saya mendapatkan sinyal baik dari pemerintah, tampaknya gayung akan bersambut terkait isu haluan negara ini, MPR menjadi makin optimis,” katanya.

Bambang menyampaikan itu dalam focus group discussion (FGD) bertema "Reposisi Haluan Negara Sebagai Wadah Aspirasi Rakyat" kerja sama MPR dengan Aliansi Kebangsaan, Forum Rektor Indonesia,  Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, di ruang rapat pimpinan MPR, Gedung Nusantara III, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (3/12).

Hadir dalam acara yang mematuhi protokol kesehatan secara ketat tersebut antara lain Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo, Pakar Hukum Tata Negara Unpad Prof. Dr. Nandang A Deliarnoor, Pakar Aliansi Kebangsaan Yudi Latief, Ph.D.

Kemudian, tokoh masyarakat Manuel Kaisiepo, pakar Akademi Ilmu Pengengetahuan Indonesia Prof. Dr. Soffian Effendi (virtual), Forum Rektor Indonesia Dr. Isharyanto (virtual), wartawan Kompas Ninuk Mardiana Pambudy dan Sekretaris Jenderal MPR Dr. Ma’ruf Cahyono.

Ketua MPR dari Partai Golkar yang biasa disapa Bamsoet ini manyatakan, restorasi haluan negara merupakan agenda nasional yang sangat penting dan mendesak harus segera diwujudkan, untuk memberikan arah bagi rencana pembangunan nasional. 

Haluan negara juga sebagai instrumen dalam mewujudkan cita-cita yang diperjuangkan para pendiri bangsa dan dirumuskan dalam alinea kedua Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yakni Indonesia merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Di sinilah, lanjut Bamsoet, peran haluan negara yang memiliki prinsip-prinsip direktif, berfungsi sebagai kaidah penuntun pembangunan nasional menjadi sangat dibutuhkan untuk mewujudkan amanah alinea kedua tersebut. 

Sebagai penuntun, lanjut Bamsoet, haluan negara berisi arahan dasar tentang bagaimana cara melembagakan nilai-nilai filosofis Pancasila yang bersifat abstrak dan nilai-nilai normatif konstitusi, ke dalam berbagai pranata publik.

"Yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan pembangunan secara terpimpin, terencana, terpadu," katanya.

Bamsoet juga menyampaikan bahwa posisi legal substantif haluan negara adalah hal menarik dan penting yang perlu didiskusikan dalam FGD ini. 

Wacana yang berkembang mengenai pemilihan ‘baju hukum’ paling tepat untuk mewadahi haluan negara ternyata mengerucut pada dua alternatif. 

Pertama, diatur langsung dalam konstitusi dan kedua, melalui Ketetapan MPR.


Menurut Bamsoet, dari berbagai aspirasi yang diserap MPR, para pakar dan akademisi banyak menyarankan agar haluan negara tetap kompatibel dengan sistem presidensial. 

Karena itu, PPHN hendaknya diatur langsung dalam konstitusi. 

Beberapa alasan mereka adalah, pertama, menempatkan PPHN dalam konstitusi dianggap tepat dilihat dari basis sosial bangsa Indonesia. 

Sebab, sebagai negara kekeluargaan, sudah selayaknya pembangunan nasional tidak dirumuskan sendiri tetapi harus dirumuskan dan menjadi konsensus bersama seluruh warga negaranya. 

Kedua, dengan menempatkan PPHN dalam konstitusi maka status hukumnya akan sangat kuat sesuai dengan ajaran supremasi konstitusi yang dianut Indonesia. 

Ketiga, PPHN yang dimuat dalam konstitusi selain bersifat prinsip dan petunjuk, juga berisikan rencana pembangunan jangka panjang nasional 25 tahun, 50 tahun atau bahkan 100 tahun. 

Dengan demikian, tujuan pembangunan nasional jangka panjang dapat lebih terencana.

Keempat, adalah implikasi hukum, karena status PPHN dalam konstitusi kuat, maka pelanggaran-pelanggaran terhadap PPHN yang dilakukan oleh presiden dan lembaga-lembaga negara lainnya harus memiliki dampak dan implikasi yang jelas baik itu implikasi politik, sosial maupun hukum.


“Implikasi sosial dan politik dapat dikeluarkan oleh MPR tetapi bersifat moral dan iimbauan saja," ujarnya.

Sementara itu, dia melanjutkan, untuk implikasi hukum pelanggaran PPHN dapat dilajukan dalam dua bentuk.

Yakni, MPR meminta DPR menggunakan hak budget-nya untuk menolak proposal RAPBN. 

Dengan demikian, presiden dan lembaga negara lainnya dipaksa untuk membentuk rencana program dan anggaran yang sesuai dengan PPHN. 

Lalu, melalui mekanisme pengadilan. Mahkamah Konstitusi (MK) sangat mungkin menerima judicial review jika ada kebijakan negara yang tidak sesuai dengan PPHN. 

“Pembahasan implikasi hukum ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tidak terjadi penolakan-penolakan dan salah tafsir,” tambahnya.

Di sisi lain, ujar Bamsoet, banyak pula pakar yang menyarankan agar bentuk hukum PPHN melalui Ketetapan MPR (TAP MPR).

Argumentasinya, pertama, pilihan bentuk hukum TAP MPR adalah alternatif yang lebih rasional.

Khususnya, ketika MPR sulit mengupayakan konsensus politik untuk mengatur agar PPHN masuk dalam konstitusi.

Kedua, hadirnya PPHN melalui bentuk hukum TAP MPR tidak perlu selalu dihadapkan dengan sistem presidensial karena PPHN, tidak serta merta menjadikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang bisa meminta pertanggung jawaban Presiden dan memberhentikannya karena melanggar PPHN.

Ketiga, kelebihan penguatan PPHN melalui TAP adalah apabila ada keperluan untuk melakukan penyesuaian substansi di tengah perjalanan, akan lebih mudah dilakukan. Karena, prosedur perubahannya lebih mudah dibanding perubahan UUD yang memerlukan prosedur khusus dan sangat ketat. 

Keempat, penegakan hukum PPHN bisa dilakukan melalui permintaan hak budget parlemen dan atau melalui pengadilan di MK. 

Kelima, PPHN hanya mengatur hal-hal pokok saja yang memuat arahan untuk  ditindaklanjuti dalam program pembangunan yang akan disusun oleh presiden dan lembaga negara lainnya sesuai dengan kewenangannya.

Intinya, PPHN harus dapat memastikan arah dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, keterbelakangan yang menjadi persoalan besar bangsa Indonesia.

Bamsoet berharap acara FGD ini akan melahirkan pemikiran-pemikiran bagus yang dapat memperkaya tujuan untuk maju ke langkah selanjutnya yang lebih konkret.

Yakni, penyiapan tahapan-tahapan menuju sidang istimewa dalam rangka menghadirkan kembali PPHN sesuai ketentuan yang ada, sebagaimana diatur konstitusi dan UU berlaku. (*/jpnn)

Simak! Video Pilihan Redaksi:


Redaktur & Reporter : Boy

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler