MRP Dianggap Tidak Mempunyai Legal Standing di MK, Filep Bereaksi, Tegas

Kamis, 19 Mei 2022 – 09:59 WIB
Wakil Ketua Komisi I DPD RI Filep Wamafma. Foto: Humas DPD RI

jpnn.com, JAKARTA - Sidang lanjutan uji materi UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua terus berlanjut.

Sidang perkara Nomor 47/PUU-XIX/2021 itu diajukan oleh Majelis Rakyat Papua (MRP). Namun, Ahli yang dihadirkan dari pihak pemerintah mengatakan MRP tidak memiliki kewenangan atribusi kekuasaan yang diberikan secara langsung oleh konstitusi.

BACA JUGA: Senator Filep Uraikan 5 Intisari Pasal Pemekaran UU Otsus Papua

Wakil Ketua Komisi I DPD RI Filep Wamafma bereaksi tegas terhadap pandangan yang menganggap MRP tidak mempunyai legal standing untuk mengajukan uji materi terhadap UU Otsus Papua.

Filep menjelaskan Legal Standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat untuk mengajukan permohonan perselisihan ataupun uji materi di hadapan MK.

BACA JUGA: DPR Papua Soroti Aturan Pelaksanaan UU Otsus, Simak

Dia menyebut Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menegaskan bahwa yang dapat mengajukan permohonan judicial review ialah pihak yang merasa hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan akibat diberlakukannya suatu UU.

“Pihak-pihak itu adalah perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik atau privat, atau lembaga negara. Sekarang kita lihat, MRP di posisi mana?” kata doktor lulusan Unhas tersebut dalam keterangannya pada Kamis (19/5).

BACA JUGA: Senator Filep: Demokrasi di Tanah Papua Masih Lemah

Dosen tetap STIH Manokwari ini menyebut pemahaman tentang kedudukan MRP harus dilihat dalam kacamata kekhususan atau Otonomi Khusus (Otsus).

Menurut Filep, UU Otsus secara jelas menyebutkan bahwa MRP adalah representasi kultural Orang Asli Papua, yang memiliki wewenang tertentu dalam rangka pelindungan hak-hak Orang Asli Papua.

“MRP ini dipilih dari keterwakilan adat, perempuan, dan agama. Negara mengakuinya sebagai representasi tersebut. Pengakuannya harus ditafsirkan secara ekstensif, yaitu mulai dari Pasal 18B UUD 1945, Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang,” tegas penulis buku Perbandingan Otsus Papua, Aceh dan Yogyakarta ini.

Tokoh Intelektual Papua ini melanjutkan pengakuan negara terhadap eksistensi masyarakat adat itu kemudian diformalkan dalam bentuk MRP seperti yang diperintahkan oleh UU Otsus.

“Kesatuan masyarakat hukum adat itu kan berada dalam MRP, karena memang MRP dipilih dari sana. Sifatnya ya khusus dan istimewa. Jadi, kalau mau pakai kriteria hukum murni terkait syarat legal standing, kedudukan MRP akan disebut abu-abu. Padahal, MRP dibentuk untuk merepresentasikan aspirasi masyarakat adat. Kewenangan MRP kan di situ,” kata mantan ketua Pansus Papua ini.

“Jadi, kita harus secara ekstensif melihat posisi MRP ini. Bahkan MRP bisa masuk sebagai lembaga negara yang kewenangannya di daerah. Hal itu karena MRP ikut memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Rancangan Perdasus yang diajukan oleh DPRP bersama-sama dengan Gubernur,” ujar Filep.

“Mau disebut apa posisi lembaga yang ikut melakukan wewenang legislatif tersebut? Jelas sebagai lembaga negara juga,” kata Filep lagi.

Menurut dosen STIH Manokwari ini, posisi MRP yang bersama-sama DPRP dalam ruang legislatif daerah ini, mengafirmasi konsep bikameral.

“Bikameral adalah konsep sistem perwakilan yang terdiri dari 2 (dua) kamar/chambers. Kalau di level pusat ada DPR dan DPD. Kalau dalam kacamata Otsus, bikameral itu adalah DPRP dan MRP. Sistem ini bertujuan untuk melakukan check and balances antara kedua lembaga tersebut, melalui pengawasan satu sama lain agar tercapai good governance,” kata legal auditor ini.

Senator Papua Barat ini mempertanyakan pemahaman ahli dari Pemerintah.

Menurut dia, MRP dibentuk dalam konteks kekhususan Papua, yaitu suatu lembaga yang dihadirkan untuk menjadi representasi kultural, di mana adat, perempuan, agama, hadir dan bersama-sama Pemerintah melakukan kewenangan tertentu yang diakui oleh UU dan konstitusi.

“Mungkin kita perlu melihat kembali Yurisprudensi Putusan MK sebelum sekarang. Dalam Putusan MK Nomor 34/PUU-XIV/2016, pada pengujian UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, terkait syarat Bupati/Wakil Bupati harus OAP, MK mengakui dan menerima legal standing para pemohon, yaitu dari Wakil Ketua dan Anggota MRP sebagai representasi kultural OAP,” ujar Filep.

Apabila ditelaah secara hukum murni, kata dia, Pasal 5 UU Otsus, yang lama maupun yang baru, dalam Ayat (2) menempatkan MRP sebagai salah satu lembaga dalam Susunan Pemerintahan Otsus Papua.

“Jadi, sangat keliru bila MRP dikatakan tidak memiliki legal standing,” tegas Filep.

Menurut Filep, jika tidak punya legal standing, lalu apa gunanya MRP mengadvokasi aspirasi masyarakat adat atau ikut memberi persetujuan terhadap suatu Perdasus? Apakah cuma boneka Pemerintah saja? Satu hal yang pokok di sini, Pemerintah Pusat jangan coba-coba bermain aman dengan mempreteli eksistensi MRP.

“Pemerintah pusat harus menelusuri histori lahirnya MRP. Sehingga pemerintah tidak sewenang-wenang mengambil kebijakan atau keputusan yang menghilangkan histori lahirnya UU otsus yang didalamnya ada MRP,” ujar Senator Papua Barat ini.(fri/jpnn)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Tag

Terpopuler