jpnn.com - Anggota Komisi IX DPR-RI Kurniasih Mufidayati menyebut parlemen tidak pernah dilibatkan dari awal ketika pemerintah menggodok 15 Rancangan Peraturan Kementerian Kesehatan (RPMK).
Diketahui, RPMK itu menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan.
BACA JUGA: Kasus Bayi Tertukar di RSI Cempaka Putih Berawal dari Kejanggalan, Begini Ceritanya
Mufida menyebut DPR di sisi lain menjadi pihak yang terlibat dalam pembahasan UU Kesehatan, aturan awal dari PP Nomor 28 Tahun 2024.
Dia berkata demikian saat menjadi narasumber acara Refleksi terhadap Implementasi PP 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan yang digelar Forum Kebijakan Publik Indonesia (FKPI) di Jakarta, Rabu (18/12).
BACA JUGA: Motif Pembunuhan Siswi SMP di Serdang Bedagai Terungkap, Korban Juga Diperkosa
"Sayangnya, memang kami tidak dilibatkan oleh Kemenkes pada saat penyusunan PP dan sekarang sudah ribut-ribut di RPMK," kata legislator Fraksi PKS itu
Dia mengatakan belakangan pemerintah baru melibatkan parlemen membahas RPMK ketika memuat aturan reproduksi.
BACA JUGA: Penganiayaan Dokter Koas, Ini Alasan Polisi Periksa Lady Aurellia dan Ibunya di Polsek, Oalah
"Nanti awal Januari setelah reses kami akan fokus pada pasal-pasal tembakau,” ujarnya.
Mufida menegaskan agar pihak-pihak yang merasa belum puas terhadap penyusunan RPMK dan pembuatan PP Nomor 28 Tahun 2024 bisa mengajukan diskusi publik agar Kemenkes bisa mendengar aspirasi.
Dia pun mengingatkan Kemenkes bisa terus mendengar aspirasi publik saat merancang aturan agar ke depan tidak ada pihak yang keberatan.
“Seluruh stakeholder perlu duduk bersama dan mencari solusi terbaik untuk semua pihak," kata dia.
Hadir dalam diskusi yang sama ialah Perancang Peraturan Perundang-undangan Ahli Muda dan Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan Iwan Kurniawan, pengamat hukum Universitas Indonesia Hari Prasetiyo, serta Ketua FKPI Trubus Rahardiansah.
Iwan dalam acara menyebut Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memang meminta dilakukan penundaan pengesahan RPMK demi menyerap aspirasi banyak pihak.
"Dalam menyusun aturan, kami mengedepankan prinsip meaningful participation atau partisipasi bermakna dengan melibatkan semua pemangku kepentingan," kata Iwan.
Dia menyebut setiap aturan yang disusun memang tidak bisa menyenangkan semua elemen. Semisal, ketika Kemenkes mementingkan sisi kesehatan masyarakat membahas ketentuan tentang pembatasan tembakau.
"Ya, tetapi titik temunya selalu kami diskusikan, seperti pada forum-forum seperti ini,” ujar Iwan.
Hari dalam diskusi yang sama menyebut Kemenkes memang punya hak langsung untuk membuat aturan seperti RPMK tanpa persetujuan legislatif.
"Kemenkes memang tidak memerlukan persetujuan pihak lain dalam menyusun aturan," katanya.
Namun, kata Hari, Kemenkes perlu mendengarkan aspirasi publik sebelum menekan aturan agar stakeholder tidak terganggu.
"Ya, tetap wajib mendengarkan. Penilaian saya jika memang yang disasar oleh Kemenkes adalah penurunan prevalensi perokok anak, aturan harus dibuat berdasarkan profil risiko sesuai yang diamanatkan di UU Kesehatan," kata Hari.
Sementara itu, Trubus mengatakan bahwa pelibatan masyarakat sangatlah penting dalam suatu proses perumusan regulasi.
Dia mengatakan penerapan suatu aturan seharusnya memberikan manfaat besar bagi masyarakat sehingga diperlukan sinergitas antarpemangku kepentingan.
“Kolaborasi ini penting karena kesehatan adalah kebutuhan dasar publik. FKPI membantu mendorong keluhan-keluhan, aduan-aduan. Pelibatan pemangku kepentingan sangat dibutuhkan, terutama dalam merumuskan aturan turunan lainnya ke depan,” kata Trubus. (ast/jpnn)
Redaktur : M. Fathra Nazrul Islam
Reporter : Aristo Setiawan