jpnn.com - Museum Fatahillah roboh. Atap museum legendaris di kawasan Kota Tua Jakarta itu retak. Retakannya menjalar cepat ke seluruh bangunan. Pilar-pilar kukuhnya pun tak kuasa menahan retakan. Dalam hitungan detik, museum tersebut luluh lantak. Suara gemuruh robohnya bangunan disambut tepuk tangan riuh ribuan orang di pelataran museum yang dulu merupakan Balai Kota Batavia, yang didirikan pada 1707, tersebut.
Malam itu, 13 Maret 2010, adalah kali pertama karya video mapping dipertontonkan di Indonesia. Dengan teknik pemetaan video, ilusi robohnya museum terlihat begitu nyata. Kreasi tersebut tidak hanya mengundang decak kagum para penonton yang hadir dalam perayaan Enjoy Jakarta2010 ketika itu, tapi juga penonton di dunia maya. Hingga kini, beberapa versi video robohnya Museum Fatahillah yang berdurasi 12 menit tersebut sudah lebih dari 50 ribu kali ditonton di YouTube.
BACA JUGA: Rani Syaefullah, Balita PSAB Sidoarjo, Penyandang Apert Syndrome
Adi Panuntun adalah sosok di balik kehebohan itu. Seniman kelahiran Bandung, 23 Desember 1978, tersebut adalah pelopor kreasi video mapping di Indonesia. Aksi di Museum Fatahillah itu adalah bagian dari tesisnya saat menyelesaikan program beasiswa S-2 bidang manajemen desain di Universitas Northumbria, Newcastle, Inggris. ”Rupanya, video mapping lebih dahsyat jika diaplikasikan di ruang publik,” ujarnya saat ditemui Jawa Pos di Kantor PT Sembilan Matahari di Bandung, Jumat (24/10).
Video mapping adalah teknik memproyeksikan video pada layar yang bertekstur. Jika film di bioskop diproyeksikan pada layar datar berwarna putih, video mapping diproyeksikan dengan proyektor beresolusi tinggi pada bangunan. Makin bertekstur bangunannya, makin rumit dan menarik video mapping yang dihasilkan. Karena itu, video mapping sering dipertontonkan dengan latar bangunan-bangunan berarsitektur klasik seperti museum atau gedung pemerintahan yang dibangun pada era kolonial.
BACA JUGA: Ingin ke AS untuk Membuatkan Baju Michelle Obama
Menurut Atun, sapaan Adi Panuntun, video mapping sebenarnya mulai berkembang di Eropa dan Amerika Serikat (AS) pada akhir 2007. Ketika itu teknik tersebut lebih sering digunakan oleh visual jockey (VJ) untuk memeriahkan suasana di dalam kelab malam atau tempat-tempat hiburan malam. ”Tapi, karena nightclub tidak menjadi budaya bagi mayoritas masyarakat Indonesia, maka video mapping tidak terangkat,” katanya.
Pendiri sekaligus creative head PT Sembilan Matahari itulah yang kemudian menarik kreasi video mapping dari dalam nightclub ke ruang-ruang publik. Tentu dengan latar yang jauh lebih besar dan tekstur yang lebih rumit. Kesulitan teknik video mapping pun menjadi berlipat-lipat.
BACA JUGA: Robin Lazendra, Anak Muda Penggagas Lahirnya Getfolks, Media Sosial Baru Asli Indonesia
Kepakaran Atun di bidang video mapping tidak muncul begitu saja. Kelihaian itu lahir dari ketekunannya. Saat mulai tertarik pada video mapping, dia melakukan eksperimen-eksperimen kecil dengan memproyeksikan video pada objek-objek bertekstur seperti rak buku atau sudut-sudut ruangan di rumahnya.
Kemampuannya terasah saat menempuh studi S-1 Desain Komunikasi Visual Institut Teknologi Bandung (ITB), lalu S-2 bidang manajemen desain di Universitas Northumbria, Newcastle. Northumbria merupakan kampus desain bergengsi di dunia. Salah satu lulusannya yang tersohor adalah Jonathan Ive, desainer genius Apple.
Video mapping butuh kejelian tingkat tinggi. Karena itu, untuk pertunjukan yang hanya berdurasi 10–12 menit, dibutuhkan waktu tidak kurang dari dua bulan untuk mengerjakannya. Seniman yang terlibat pun mencapai 20-an orang, mulai ahli video, audio, pencahayaan, hingga tenaga lapangan. Peralatan yang dibutuhkan juga kelas berat, antara lain 4–6 proyektor beresolusi tinggi dengan kekuatan cahaya sekitar 16.000 lumen. Berapa biayanya? ”Antara Rp 200 juta–Rp 300 juta, bergantung kapasitas sponsor,” ucapnya, lantas tertawa.
Atun adalah tipe seniman modern yang juga entrepreneur muda andal. Selain menjalankan PT Sembilan Matahari yang bergerak di bidang jasa kreasi multimedia dengan 40-an karyawan, dia gemar berbagi ilmu, termasuk menjadi dosen di Universitas Bina Nusantara (Binus). Ruang kerjanya yang berukuran sekitar 4 x 3 meter penuh dengan buku-buku yang tertata rapi di raknya serta belasan piala dan penghargaan yang diraih.
Atun tidak hanya fasih berbicara tentang teknologi multimedia, namun juga filosofi budaya visual yang sudah ratusan tahun mengakar di Indonesia. Misalnya relief Candi Borobudur yang merupakan bentuk mahakarya komunikasi visual yang begitu canggih. ”Relief Borobudur adalah jalinan cerita jika dilihat dengan pradaksina, yaitu dengan berjalan dari lantai dasar dengan berputar searah jarum jam, lalu naik ke atas. Jadi, objeknya berhenti dan kita yang bergerak. Sedangkan dalam seni visual modern, penontonnya berhenti, tapi objek visualnya yang bergerak,” urainya.
Karena itu, karya-karya video mapping Atun pun sangat kaya dengan pesan moral. Misalnya, saat ”merobohkan” Museum Fatahillah, Atun ingin menyampaikan pesan bahwa jika tidak dilestarikan, bangunan-bangunan bersejarah di Indonesia akan hancur. Demikian pula saat dia ”membakar” Gedung Sate, kantor gubernur Jawa Barat, untuk menggelorakan semangat Bandung Lautan Api.
Demikian pula ketika dia meraih gelar juara dunia kompetisi video mapping di ajang Moscow International Festival Circle of Light 2014 pada 14 Oktober lalu. Dalam festival yang disaksikan lebih dari 700 ribu penonton itu, Atun menyuarakan pentingnya persahabatan antarbangsa untuk dunia yang lebih baik.
Pesan itu divisualisasikan melalui boneka-boneka khas Rusia yang didandani dengan baju adat suku-suku di Indonesia. Pesan yang kuat dan detail visual yang aduhai itulah yang membuat Atun mampu mengalahkan puluhan peserta lain dari 28 negara serta mengantongi hadiah senilai Rp 320 juta. ”Kami bangga karena kontes ini diikuti oleh seniman-seniman video mapping terbaik di dunia. Artinya, kreativitas Indonesia diakui di level dunia,” katanya.
Rupanya bukan kali itu saja suami Debbie Rivinandya tersebut menjuarai ajang bergengsi. Pada 2012, dia juga berhasil menyabet grand prize juara I kompetisi video mapping dalam Zushi Media Art Festival di Kanagawa, Jepang. Karya-karyanya juga sudah dipertontonkan di berbagai negara lain seperti Taiwan, Arab Saudi, hingga Swiss.
Portofolio klien Atun pun sudah bejibun; mulai institusi internasional seperti United Nation Development Program (UNDP) dan WWF; perusahaan multinasional seperti Boeing, Blackberry, dan Shell; hingga perusahaan nasional seperti Astra International, Sampoerna, Ciputra, BNI, Mazda Indonesia, Indonesia Power, Metro TV, serta SCTV.
Di luar video mapping, Atun juga menekuni bidang film dokumenter dan film independen. Salah satu karyanya adalah film berjudul Cin(T)a yang berhasil merebut Piala Citra untuk kategori naskah asli terbaik dan film favorit pilihan penonton di Jakarta International Film Festival (Jiffest) 2009.
Peraih penghargaan Young Inspiring Creator (Indigo Awards 2010) oleh Telkom Group itu juga sukses memproduksi film edutainment Laptop Si Unyil yang ditayangkan salah satu televisi swasta. Film tersebut berhasil masuk nominasi Panasonic Awards untuk kategori program anak terbaik. Beberapa proyek animasi lain yang digarap Atun untuk stasiun televisi adalah Dunia Binatang, Risalah Si Unyil, serta Prof Jagomatika.
Meski sudah menggapai banyak prestasi, Atun masih menyimpan obsesi. Sebagai seniman video mapping, dia ingin menampilkan karyanya dengan latar bangunan ikonis. Salah satunya adalah hanggar pesawat PT Dirgantara Indonesia (dulu IPTN) di Bandung. Namun, salah satu obsesi terbesarnya adalah menggunakan Istana Negara untuk latar video mapping-nya.
Atun membayangkan, pada malam HUT RI 17 Agustus mendatang bisa menampilkan video mapping bertema kisah heroik para pahlawan di hadapan ribuan warga. Aura Istana Negara yang dipadu dengan video mapping kelas dunia dipastikan bakal menghadirkan pengalaman luar biasa bagi siapa saja yang menontonnya. ”Kalau Pak Jokowi mengizinkan, itu akan jadi proyek video mapping hebat di Indonesia,” katanya. (c11/end)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pengakuan Terbaru Mike Tyson sebagai Pecandu Narkoba
Redaktur : Tim Redaksi