Rani Syaefullah, Balita PSAB Sidoarjo, Penyandang Apert Syndrome

Sekarang Punya Jari untuk Hidup Mandiri

Senin, 03 November 2014 – 00:00 WIB
CERIA: Rani Syaefullah (tiga dari kanan) dipangku Eny Heri Maryatun bersama teman-teman di PSAB Sidoarjo. Foto: Maya Apriliani/Jawa Pos

jpnn.com - Unit Pelayanan Teknis (UPT) Panti Sosial Asuhan Balita (PSAB) Sidoarjo merawat 53 balita. Sembilan di antaranya berkebutuhan khusus. Rani Syaefullah, salah seorang anak, menyandang apert syndrome, kelainan genetik penyebab abnormalitas tengkorak.

Laporan Maya Apriliani, Surabaya

BACA JUGA: Ingin ke AS untuk Membuatkan Baju Michelle Obama

"JANGAN kaget ya. Nanti kalau di tempat anak yang besar, tasnya pasti ditarik-tarik.” Pesan itu meluncur dari bibir Ilonkan Suksmawati, kepala UPT PSAB Sidoarjo, kepada Jawa Pos. Saat itu wartawan Jawa Pos memang akan beranjak ke ruang untuk anak berumur 2–5 tahun.

Pesan tersebut ternyata klop. Rabu pagi itu (29/10), anak-anak di ruangan tersebut langsung berebut menarik tas Jawa Pos. Sebagian mereka berupaya membuka ritsleting tas. Rasanya, balita-balita yang ditelantarkan orang tuanya itu memang penasaran dengan isi tas.

BACA JUGA: Robin Lazendra, Anak Muda Penggagas Lahirnya Getfolks, Media Sosial Baru Asli Indonesia

Kamera –meski lensanya kecil– juga tak luput dari rasa ingin tahu itu. Seorang bocah juga ingin mengambil gambar. Dia menarik tali kamera kuat-kuat. ”Anak-anak penasaran dengan hal baru. Rasa ingin tahunya tinggi,” lanjut Ilonka.

Rani Syaefullah, balita spesial tersebut, juga punya rasa penasaran tinggi. Tapi, dia lebih kalem. Terlebih, dia memang tergolong anak penurut. Saat diminta foto bersama, dia langsung bergegas mendekat pada Eny Heri Maryatun, salah seorang pegawai yang merawat mereka.

BACA JUGA: Pengakuan Terbaru Mike Tyson sebagai Pecandu Narkoba

Rani duduk di atas tempat tidur, samping kiri Eny. Dia tersenyum. Setelah dijepret, Rani langsung menghambur untuk mengetahui potretnya. Saat diminta foto lagi, dengan cepat dia beringsut ke dekat Eny. ”Foto, foto...,” katanya lirih.

Rani jarang berlarian di ruangan. Hanya sesekali dia berkejaran dengan teman-temannya sambil membawa guling Piglet warna merah jambu. Saat temannya meminta kertas, Rani ikut antre. Bahkan, dia meminta bolpoin untuk menulis. Setelah itu, dia tengkurap, ndlosor di lantai. Rautnya serius saat mencoret-coret kertas.

Saat itu tampaklah jemarinya yang tidak sempurna. Jari Rani tidak simetris. Bolpoin yang didapatnya hanya dijepitkan di antara telunjuk dan jari tengahnya. ’’Dulu, saat baru ditemukan, jemarinya menyatu,’’ kata Dwi Antini Sunarsih, Kasi Pengembangan dan Pembinaan Lanjut PSAB Sidoarjo.

Seperti penghuni baru lain, saat baru datang, kondisi kesehatan Rani dicek secara keseluruhan. Dari situ terlihat bahwa Rani adalah penyandang apert syndrome atau sindrom apert. Itu adalah kelainan genetik yang mengakibatkan tengkorak berkembang secara abnormal. Bayi dengan sindrom tersebut dilahirkan dengan bentuk kepala dan wajah yang tidak normal.

Pada kelainan itu, sering dijumpai ciri-ciri tambahan berupa jari tangan dan kaki yang berselaput. Banyak anak dengan apert syndrome yang punya cacat lahir lain. Salah satu untuk mengatasi itu adalah operasi.

Sejatinya, bukan hanya jemari tangan Rani yang menyatu. Jari kakinya juga begitu. Meski demikian, Rani tidak mengalami kesulitan untuk berjalan. Bahkan, dia bisa berlarian.

”Bentuk kepalanya juga sudah tidak seperti dulu,” sambung Dwi. Kala kecil, bentuk kepala Rani seperti miring. Ukuran rongganya kecil. PSAB pun berupaya membuat Rani lebih sempurna. Mereka tidak ingin melihat bayi tak berdosa itu menderita selamanya.

Untung, ada Yayasan Citra Baru di Surabaya yang berkenan membantu Rani. Saat usia sembilan bulan, pada Agustus 2010, Rani dibawa ke salah satu rumah sakit di Adelaide, Australia Selatan. Selama empat bulan, balita yang ditemukan di meja salah seorang warga di daerah Kediri pada 9 Desember 2009 itu dirawat. Eny-lah yang mendampingi Rani untuk memperoleh kesembuhan.

Rani memang anak yang tangguh. Seolah paham akan dibawa ke rumah sakit untuk pengobatan, dia tidak rewel selama di perjalanan. Padahal, jarak tempuh yang dilalui cukup jauh.

Dia melakoni penerbangan selama sepuluh jam dengan transit ke Jakarta maupun Sydney sebelum ke Adelaide. Belum lagi harus menunggu di bandara untuk mengikuti jadwal penerbangan selanjutnya. ”Tidak merepotkan sama sekali,” ujar Eny sambil melirik Rani.

Rani baru rewel ketika berada di apartemen dan rumah sakit. Sebulan pertama, dia selalu menangis. Rani merasa asing di tempat baru itu. Apalagi suhu udara sangat jauh berbeda. Kondisi Sidoarjo cukup panas, sedangkan rumah barunya sangat dingin. Bertemu para dokter dan perawat asing juga menjadikan Rani kurang nyaman. Dia protes dengan tangisan.

Selama di Negara Kanguru, Rani dan Eny tidak mengalami kesulitan untuk makan. Bahkan, Eny biasa memasak sendiri untuk Rani jika tidak sedang di rumah sakit. Kala menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Rani memperoleh makanan. Bahkan, setiap kali diperiksa, dia mendapat hadiah dari para dokter maupun perawat. ”Pulang ke Sidoarjo itu membawa boneka satu tas, hadiah dari sana,” lanjut ibu satu anak itu.

Bahkan, oleh rumah sakit, ulang tahun Rani pada 9 Desember juga dirayakan. Penentuan hari lahir tersebut berdasar saat Rani ditemukan. Berat badan bayi Rani saat ditemukan 3,8 kilogram dengan panjang 47 sentimeter.

”Bukan hanya Rani yang ulang tahunnya dirayakan, semua anak yang dirawat di sana juga dirayakan,” lanjut Eny. Eny merasa terharu dengan perjuangan Rani. Meski masih kecil, dia mampu bertahan melalui operasi besar.

Dalam operasi perdana pembedahan tengkorak, Rani masuk ruang untuk pembiusan dan operasi selama tujuh jam. Masuk pukul 08.00, keluar ruangan pukul 15.00 dan langsung ditempatkan di ICU (intensive care unit) sambil menunggu kesadarannya pulih. Dalam operasinya kali ini, Rani mendapat cobaan. Dia harus berada di rumah sakit untuk penyembuhan cukup lama. Lebih dari sebulan karena ada infeksi pascaoperasi.

Gara-gara infeksi itu pula, tengkorak Rani tidak hanya sekali dibuka. Untuk membersihkan infeksi, tengkoraknya dibuka lagi. ”Buka kepalanya sampai tiga kali,” imbuh Eny mengenang.

Setelah operasi di kepala sembuh, barulah Rani menjalani operasi pemisahan jari tangan. Butuh waktu berjam-jam juga untuk pembedahan jari karena prosesnya rumit. Di sini ketangguhan Rani kembali teruji. Dia tidak mengeluh sama sekali. Keceriaan sebagai anak tetap dia tunjukkan hingga sembuh dan kembali ke tanah air.

Rani kecil harus kembali berada di meja operasi untuk menyempurnakan tengkorak dan jari jemarinya pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. Pembedahan kembali dilakukan untuk memperlebar volume tengkorak. Jari tangannya direkonstruksi agar lebih indah. Sebab, saat operasi pertama dulu, baru empat jari Rani yang pisah. Jari tengah dan jari manis masih menyatu.

”Operasi kedua, jari tengah dan manis dipisahkan. Sekarang lima jari terpisah,” perempuan 59 tahun itu.

Dalam operasi kedua tersebut, proses berjalan lebih lancar. Tidak ada infeksi pascaoperasi. Rani pun lebih nyaman. Tidak ada tangisan lagi. Tapi, kini Rani harus bersiap kembali untuk dioperasi. Rencananya, dia menjalani pembedahan kali ketiga untuk merekonstruksi dahi dan tulang hidung yang masuk ke dalam.

Operasi ketiga harus segera dilakukan karena Rani saat ini sulit bernapas saat tidur gara-gara bentuk tulang hidung tersebut. Karena itu, saat tidur mulutnya menganga, terbuka untuk bernapas. Jika tidak segera dioperasi, dikhawatirkan akan berakibat fatal. ”Kalau bermain-main tidak sulit bernapas. Hanya waktu tidur,” lanjut Eny.

Rani agak sulit diajak berkomunikasi. Bicaranya cedal. Untuk mengucap huruf tertentu, dia juga kesulitan. Karena langit-langit mulutnya tinggi, dia tidak bisa mengucap huruf R, L, M, maupun N dengan sempurna.

Meski demikian, Rani senantiasa terlihat gembira. Dengan rambut ikalnya dan kulit putih bersihnya, Rani pun terlihat memesona. Mengenakan pakaian apa pun, dia terlihat ayu. Meski punya kekurangan, Rani tidak ingin aktivitasnya terbatas.

Dia juga enggan memperlihatkan deritanya kepada orang. Ketika luka operasi akan diperlihatkan ke orang, dia selalu menghindar. Seolah Rani berpesan bahwa dirinya baik-baik saja. Meski dibuang orang tua, dia bisa mandiri di kemudian hari. (*/c7/dos)

BACA ARTIKEL LAINNYA... Tiga Siswa Surabaya Borong Medali pada Event Wizmic di India


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler