Robin Lazendra, Anak Muda Penggagas Lahirnya Getfolks, Media Sosial Baru Asli Indonesia

Pakai Tulisan Tangan, Lebih Sulit Dibajak

Minggu, 02 November 2014 – 08:00 WIB
Dari kiri, Jaro Petang Widiatmoko, Dewa Made Dita Partayoga, dan Robin Lazendra menunjukkan aplikasi Getfolks di ponselnya. Foto: Dhimas Ginanjar/Jawa Pos

Demam media sosial (medsos) membuat sarana untuk bertemu dengan orang-orang baru secara virtual terus bermunculan. Salah satu yang terbaru adalah Getfolks, medsos asli Indonesia karya alumnus Universitas Bina Nusantara (Binus) Jakarta.
 
DHIMAS GINANJAR, Jakarta

GETFOLKS lahir dari kreativitas Robin Lazendra (24), seusai lulus sidang skripsi di Fakultas Teknik Informatika Binus pada Maret 2012. Semula dia sempat bingung mau bekerja apa dengan ilmu yang dimilikinya. Dari situlah, pengagum bos Microsoft Bill Gates tersebut kemudian menciptakan media sosial baru yang lain daripada medsos yang ada.

BACA JUGA: Pengakuan Terbaru Mike Tyson sebagai Pecandu Narkoba

Dia melakukan itu karena mengetahui banyak orang Indonesia yang terkoneksi dengan medsos. Apalagi, orang Indonesia termasuk pengguna terbanyak Facebook atau Twitter.

"Idenya, medsos itu harus beda. Jangan sampai meniru seperti yang sudah ada," ujar Robin ketika ditemui di kawasan Gandaria, Jakarta Selatan, Kamis (30/10).

BACA JUGA: Tiga Siswa Surabaya Borong Medali pada Event Wizmic di India

Pria berkacamata itu berpikir keras bagaimana bisa menghasilkan medsos yang lebih memainkan peran emosi penggunanya. Tidak sekadar mengetik di keyboard smartphone, lalu dikirim ke alamat penerima.

Embrionya adalah medsos yang memanfaatkan suara. Kebetulan, saat itu belum ada media serupa yang menggunakan suara untuk update status.

BACA JUGA: Anies Ganti HP, Yohana Kepikiran Nasib Mahasiswa

"Awal Juni 2012 saya mulai mencari teman kuliah untuk mewujudkan ide ini," katanya.

Prototipe awal direalisasikan Robin bareng dua temannya dengan nama Spopel atau Speaking People. Berdasar namanya, jelas medsos itu bertumpu pada suara penggunanya.

Spopel yang masih berupa storyboard dan sedikit coding tersebut tidak berumur panjang. Apalagi, kemudian dua teman Robin memilih mundur dengan berbagai alasan. Namun, Robin tidak patah semangat. Dia terus mengembangkan gagasan awal itu.

"Saya tidak mau menyerah. Saya ingin ide dan konsep tersebut jadi dan bisa membanggakan bangsa Indonesia di dunia internasional," ucapnya.

Robin lantas mencari teman lagi untuk menyempurnakan medsos karyanya tersebut. Maka, masuklah Dewa Made Dita Partayoga, 24. Mereka berdua mengubah konsep awal itu menjadi Getfolks. Bergabungnya Dewa menghasilkan Getfolks versi awal dalam bentuk website.

"Hasilnya di luar dugaan. Kami dapat banyak hujatan. Ada teman yang bilang Getfolks 100 persen nggak laku kalau tidak mengikuti selera pasar," tuturnya.

Tampilan website versi awal yang didominasi warna biru dengan logo megafon besar juga dikritik. Malah, logo megafon itu dikira gambar kapak oleh teman-temannya.

Namun, sekali lagi, kritik tersebut tidak menyurutkan semangat Robin dan Dewa untuk terus ”menyempurnakan” karya yang sudah setengah jalan itu. Mereka justru terlecut untuk memperbaiki hal-hal yang masih kurang baik. Mereka kemudian ”menemukan” tambahan fitur berupa handwriting sebagai pendamping suara. Versi itu di-launching pada Oktober 2012.

"Tapi, untuk versi webnya terpaksa kami hentikan sementara pada akhir 2012 karena kami kekurangan tenaga," terangnya.

Maklum, saat itu orang-orang yang ingin terlibat di usaha rintisan tersebut belum-belum sudah menuntut bayaran yang tidak sepadan. Padahal, selama proses kelahiran Getfolks, seluruh biaya masih ditanggung kantong pribadi. Mereka kurang lebih sudah merogoh kocek hingga Rp 50 juta.

Dari web, Robin dan Dewa lalu memindahkan area bermainnya di mobile application karena eranya sudah masuk smartphone.Sayang, perjalanan untuk mewujudkan mobile app tidak mulus. Mereka sempat tertipu oleh developer yang hanya besar mulut. Uang yang digunakan untuk membangun sistem pun raib. Akibatnya, aplikasi untuk ponsel itu terbengkalai hingga akhir 2013.

Perlahan tapi pasti, masalah demi masalah berhasil mereka taklukkan. Pada Mei 2014, tim sepakat untuk melempar produk Getfolks ke pasaran. Situs Kaskus menjadi tempat perkenalan awal medsos tersebut. Responsnya di luar dugaan. Banyak yang mendukung dan ramai-ramai mendaftar sebagai penggunanya.

”Sampai sekarang, member Getfolks menyentuh tiga ribuan orang,” terang Robin.

Robin menyebut, salah satu ciri khas Getfolks, pengguna mengirimkan kartu pos dengan tulisan tangan ke alamat penerima. Dengan tulisan tangan, sisi emosional pengguna Getfolks jadi lebih bisa diketahui. Sebab, bentuk tulisan dalam keadaan senang, galau, hingga marah tentu berbeda.

”Sisi positif lainnya, pengguna Getfolks lebih sulit dibajak statusnya. Kalau ada yang posting aneh-aneh, tinggal bilang itu bukan tulisan tangan gue,” terangnya.

Selain tulisan tangan, Getfolkspunya ciri khas lain. Yakni, mengunggah status melalui suara. Prinsipnya sama, update status melalui suara juga dirasa lebih mengena ketimbang mengetik dengan keyboard. Intonasi suara yang kerap berbeda menjadi tolok ukur sisi emosional user. Selain itu, ada cloud icon seperti senyum yang berfungsi mempertegas isi status user.

Untuk mem-posting status dengan tulisan tangan di Getfolkstidaklah susah. Setelah mengunduh aplikasi dan mendaftar sebagai member, swipe atau geser ke kanan tanda pena di halaman utama untuk menulis status. Muncul ruang kosong dengan emoticon senyum yang berfungsi sebagai area untuk update status.

Di situ ada tiga pilihan, gambar mikrofon untuk mengunggah status yang berupa rekaman suara, pena untuk menulis dengan tangan, dan kamera untuk upload foto. Kalau mau pakai cara konvensional, yakni menulis dengan keyboard, tinggal menyentuh area itu dan papan ketik akan muncul.

Sementara itu, saat mengaktifkan fitur handwriting, terdapat lahan untuk menulis lagi dengan lima warna tinta. Yakni, merah, biru, hijau, hitam, dan putih. Pengguna bisa corat-coret sesuka hati. ”Tidak hanya untuk update status. Handwriting bisa dikombinasikan dengan postcard,” jelas dia.

Meski hingga kini belum ada investor yang masuk, Robin cs tidak berkecil hati. Mereka tetap optimistis suatu hari nanti medsos karya mereka akan booming. Uniknya, untuk menopang ”hidup” mainan itu, mereka tidak segan-segan berjualan nasi goreng dan roti bakar serta mengisi seminar-seminar.

”Kelihatannya memang naif. Tapi, itu bagian dari kerja ini,” tambah dia.

Pendapatan dari usaha-usaha itu tidak banyak memang, tetapi sudah terbukti mampu membuat Getfolks dan server-nya tidak pernah mendapat masalah. Masuk November ini, mereka akan melakukan terobosan lagi supaya mobile app yang dirilis bisa mendapat pemasukan.

Dia sadar bahwa tidak sedikit medsos asal Indonesia yang hanya seumur jagung. Tapi, Robin meyakinkan bahwa Getfolks tidak akan seperti itu. Timnya terus bekerja untuk memberikan perbaikan dan fitur-fitur baru.

”Ada medsos besar dibiarkan stagnan dan kini mulai ditinggalkan penggunanya. Kami tidak ingin seperti itu. Karena itu, November ini akan ada perubahan lagi dan kami akan terus improve serta tidak menyerah seberat apa pun tantangannya,” jelasnya.

Ke depan, Getfolks mempunyai visi mengembangkan Indonesia di sektor budaya dan pariwisata serta bertahan dan menjadi social media karya anak bangsa yang membanggakan Indonesia di mata dunia. (*/c11/ari)

 

BACA ARTIKEL LAINNYA... Keturunan Raja yang Gundah Tinggal di Ibu Kota


Redaktur : Tim Redaksi

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler