jpnn.com, JAKARTA - Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia meminta penghapusan pungutan ekspor crude palm oil.
Hal itu bisa dilakukan dengan mencabut Peraturan Menteri Keuangan nomor 114/PMK.05/2015 sebagaimana diubah dengan PMK 30/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
BACA JUGA: Bidik Rp 1,1 Triliun dari Ekspor Udang
Tuntutan itu juga disampaikan asosiasi saat mendatangi kantor Menteri Koordinator Perekonomian di Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Ketua Umum Dewan Pengurus Nasional Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia, M Muhammadyah mengatakan, peraturan perundang-undangan tersebut merupakan produk hukum cacat dan banyak merugikan pelaku usaha perkebunan.
BACA JUGA: Ekspor Kerajinan Indonesia Hanya Naik Tipis
"Tentu saja (merugikan) petani kelapa sawit sebagai produsen kelapa sawit yang tidak mempunyai posisi tawar dalam struktur pasar kelapa sawit yang monopoli," Muhammadyah di Jakarta, Kamis (4/5).
Dia menjelaskan, pemberlakuan pungutan ekspor selama ini juga turut menyebabkan turunnya harga tandan buah segar sawit yang diterima petani saat menjual ke pabrik untuk diolah menjadi CPO.
BACA JUGA: Uni Eropa Tetap Butuh Kelapa Sawit dari Indonesia
Sebab, perusahaan perkebunan yang terkena kewajiban untuk membayar pungutan itu menekan harga jual TBS di tingkat petani.
Karenanya, asosiasi juga mendesak Presiden Joko Widodo untuk membubarkan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit serta merevisi dengan membatalkan atau mencabut pasal 9 ayat (2) huruf b Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan.
Kemudian, pasal 11 ayat (2) Peraturan Presiden nomor 61 tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Muhammadyah mengatakan, BPDP-Kelapa Sawit termasuk pemerintah telah gagal melakukan promosi dan advokasi terhadap perkebunan kelapa sawit Indonesia.
"Akibat dari penggunaan dana sawit untuk promosi yang tidak tepat dan efektif, dapat dilihat dari ketidakberdayaan pemerintah membendung atau memengaruhi resolusi Parlemen Uni Eropa yang melarang ekspor kelapa sawit Indonesia," ujar Muhammadyah.
Selain itu, asosiasi juga menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi segera menyidik adanya dugaan penyelewengan alokasi dana sawit yang disalurkan untuk subsidi biodiesel kepada industri biofuel. DPR juga diminta segera merampungkan penyusunan RUU Kelapa Sawit yang berkeadilan dan berkelanjutan.
"Sehingga dapat menghapuskan kemiskinan sebagaimana mandat dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs),” paparnya.
Dari penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan kelapa sawit melalui pungutan ekspor CPO pada 2015 mencapai Rp 2,7 triliun. Sedangkan 2016 sebesar Rp 11,7 triliun.
Dari realisasi penerimaan tersebut, pada 2016 lalu mayoritas digunan untuk menutupi subsidi atau pengolahan biodiesel dalam program pencampuran 20 persen bahan bakar nabati ke dalam solar (B20) sebesar Rp 10,6 triliun.
Sementara untuk penggunaan dana perkebunan sawit sebagaimana perintah UU Perkebunan seperti replanting, subsidi bibit dan pupuk, promosi, pembangunan sarana dan sarana perkebunan sawit, nyaris tidak ada.
Bahkan seperti subsidi pupuk dan bibit tidak kunjung dibiayai. "Misalnya untuk replanting bagi kebun milik petani (perkebunan rakyat) tidak kunjung juga dikucurkan," jelasnya.
Menurut dia, dana itu baru akan dikucurkan dengan ketentuan petani akan dikenakan bunga komersil perbankan hingga 16 persen per tahun. "Tentu saja ketentuan tersebut sangat memberatkan petani kelapa sawit," tegasnya.
Karenanya, Muhammadyah menjelaskan, tata kelola dana yang dihimpun dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit yang dikenal dengan Crude Palm Oil Supporting Fund (“CSF”) atau dana sawit, sejak disahkannya ketentuan yang mengaturnya pertengahan 2015 hingga saat ini ternyata menimbulkan beragam permasalahan.
Mulai dari dasar hukum perumusan PP dan Perpres yang memperluas makna penggunaan dana sawit, hingga dalam implementasi pengelolaan atau penggunaannya terdapat masalah yang cukup serius.
Seperti diketahui, praktik pungutan ekspor CPO itu telah merugikan 4 juta rakyat Indonesia yang hidupnya mengandalkan dunia perkebunan tersebut. (boy/jpnn)
BACA ARTIKEL LAINNYA... Pendapatan Terakumulasi Astra Agro Lestari Tembus Rp 4,5 T
Redaktur & Reporter : Boy