jpnn.com, JAKARTA - Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menjelaskan, berdasarkan Undang-undang Cipta Kerja pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) bisa mengembangkan Multi Usaha Kehutanan.
Model bisnis Multi Usaha Kehutanan itu juga dinilai bisa memicu produktivitas, sehingga nilai ekonomi riil lahan hutan bisa meningkat dan akan berdampak besar pada pencapaian agenda Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
BACA JUGA: Wujudkan Emisi Nol, KLHK Perkuat Kolaborasi dengan Astra
"Pengembangan diversifikasi usaha di sektor kehutanan ini, mengintegrasikan pemanfaatan kawasan, hasil hutan kayu dan non kayu," kata Agus saat sesi talkshow pada Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi Terbarukan di Jakarta, Sabtu (16/9).
Agus menyatakan paradigma pemanfaatan hutan yang hanya berorientasi pada kayu sudah tidak relevan lagi.
BACA JUGA: KLHK Gelar Operasi Pengendalian Polusi Udara Jabodetabek
Apalagi, potensi kayu yang menurut berbagai literatur tak lebih dari 5 persen.
Menurutnya, kini 95 persen potensi lansekap hutan lainnya harus dikembangkan melalui diversifikasi usaha kehutanan untuk meningkatkan nilai ekonomi lansekap hutan.
BACA JUGA: KLHK Apresiasi SUCOFINDO Dalam Kelestarian Lingkungan
“Skema multiusaha dianggap mampu meningkatkan nilai ekonomi riil lahan hutan yang saat ini masih rendah," lanjutnya.
Dia menyebutkan mengacu pada PermenLHK No. P.08/2021 PBPH dapat melakukan penyesuaian perubahan usaha kegiatan pemanfaatan hutan melalui Multi Usaha Kehutanan.
Namun, dalam percepatan pelaksanaan PBPH Multi Usaha Kehutanan di antaranya ada bebarapa hal yang mesti dicermati seperti meningkatkan koordinasi dengan BKPM terkait OSS, koordinasi dengan BPS dalam hal penyesuaian KBLI dari semula KBLI berbasis jenis izin menjadi KBLI PBPH berbasis Multi Usaha Kehutanan, dan sinergitas antar lembaga.
“Penyesuaian KBLI menjadi sangat penting karena menyangkut perhitungan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDRB,” jelasnya.
Dia menyatakan implementasi model bisnis Multi Usaha Kehutanan menjadi bagian dari pencapaian agenda pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) dari kehutanan dan penggunaan lahan lainnya (Forestry and Other Land Use/FOLU) untuk pengendalian perubahan iklim, Indonesia’s FOLU Net Sink 2030.
Sekjen Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto mengungkapkan hingga saat ini sudah ada sekitar 40 perusahaan PBPH yang mengajukan untuk implementasi multi usaha kehutanan.
Menurut Purwadi, pelaku usaha kehutanan butuh insentif yang bisa menjadikan implementasi multi usaha kehutanan sebagai bagian dari value chain perusahaan.
Tak hanya itu, dia mencontohkan pengembangan hutan tanaman industri dengan pola agroforestry yang bisa mendapat nilai tambah dari bisnis karbon dengan metode ARR (Aforestation, Reforestation, Revegetation).
"Dengan adanya insentif maka perusahaan pemegang PBPH akan menginternalisasi multi usaha kehutanan dalam business process-nya dan tidak mengangap sebagai kewajiban," kata Purwadi.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Silverius Orcar Unggul menjelaskan multi usaha kehutanan merupakan peluang yang harus dimanfaatkan oleh pelaku usaha di Indonesia.
Dia menjelaskan Kadin mulai mengintip peluang multi usaha kehutanan ketika Indonesia mengalami kekurangan bahan baku obat saat pandemi Covid-19.
Selain itu permintaan akan energi terbarukan dalam bentuk pelet kayu mulai meningkat. Ditambah lagi dengan semakin berkembangnya model bisnis regenerative product di produsen-produsen dunia.
“Kebetulan kini ada model bisnis multi usaha kehutanan yang bisa diimplementasikan, makanya ini menjadi peluang,” kata Silverius. (mcr8/jpnn)
Kamu Sudah Menonton Video Terbaru Berikut ini?
BACA ARTIKEL LAINNYA... KLHK Sebut Penyumbang Polusi Udara Terbesar di Jakarta Bukan Batu Bara, tetapi....
Redaktur & Reporter : Dedi Sofian