Mungkinkah Kunjungan Sri Paus Fransiskus Mengobati Luka Batin Rakyat Indonesia dan Duka Tanah Papua?

Kamis, 29 Agustus 2024 – 12:09 WIB
Dosen asal Tanah Papua - Wakil Direktur Institute of Pacific Studies Universitas Kristen Indonesia Jakarta Laurens Ikinia. Foto: Dokumentasi pribadi

jpnn.com - Umat Katolik di Asia dan Pasifik menerima kabar gembira dari takhta suci di Vatikan bahwa Paus Fransiskus akan berkunjung ke wilayah ini.

Negara-negara tujuan kunjungan Bapa Paus adalah Indonesia, Papua New Guinea, East Timor dan Singapore.

BACA JUGA: Pertemuan GP Ansor dan OKP Lintas Agama dengan Paus Fransiskus Diliput Media Asing

Kabar baik kunjungan ini merupakan kunjungan yang kedua kalinya dari Pemimpin Umat Katolik di dunia setalah kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia pada Oktober 1989.

Pemimpin dari 1.250 miliar umat Katolik seluruh dunia itu dijadwalkan akan berada di Jakarta mulai dari tanggal 3-6 September.

BACA JUGA: Menjelang Bertemu Paus Fransiskus, Ketum GP Ansor Pimpin OKP Lintas Agama Temui Dubes RI untuk Vatikan

Paus Fransiskus akan menghabiskan waktu di Jakarta dengan berbagai kegiatan yang bersifat diplomatik dan apostolik.

Setelah rombongan Bapa Paus tiba di Jakarta pada tanggal 3, keesokan harinya akan melakukan berbagai agenda misi diplomatik bersama Presiden dan jajarannya.

BACA JUGA: Wakil Indonesia, Maria Anita Beraudiensi dengan Paus Fransiskus, Angkat Pernikahan Beda Agama

Pada tanggal 5, Paus ke-266 itu akan menghabiskan waktu untuk misi apostolik bersama para klerus dan kaum awam serta mitra lainnya.

Sri Paus akan menghadiri kegiatan di Masjid Istiqlal dalam rangka Pertemuan Antaragama.

Pada hari yang sama, Bapa suci juga akan memimpin misa akbar bersama umat Katolik di Stadium Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta.

Pada tanggal 6 rombongan Uskup pengganti Santo Petrus itu akan meninggalkan Jakarta lalu melanjutkan perjalanannya ke Port Moresby, PNG.

Semua kegiatan akan berpusat di Jakarta. Agenda kunjungan kali ini berbeda dengan kunjungan Paus Yohanes Paulus II.

Paus Yohanes atau Santo Yohanes Paulus II melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Indonesia, yakni Jakarta, Medan, Yogyakarta, Maumere, Medan, dan Dili di Timor Timur (saat itu masih berstatus wilayah NKRI).

Kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 35 tahun yang lalu juga bertepatan dengan kondisi Tanah Air Indonesia yang atmosfernya sedang memanas.

Terlebih di tengah konflik bersenjata yang telah menelan nyawa ribuan umat Tuhan yang tidak berdosa di Tanah Timor-Timur.

Kunjungan Sri Paus kali ini bertepatan dengan kondisi bangsa Indonesia yang tidak baik-baik saja.

Berbagai pihak telah melihat dan mengikuti sebelum dan sesudah pegelaran pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Konstitusi negara diporak-porandakan demi kepentingan politik segelintir elite.

Berbagai strategi dan taktik dalam upaya memuluskan siasat yang mengakomodir kepentingan sekelompok orang “tertentu” juga dimainkan.

Menanggapi peristiwa politik tersebut, berbagai pihak menilai tiga dari empat pilar demokrasi, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif yang merupakan orkestra yang melahirkan sebuah harmonisasi dari demokrasi cenderung bermain pada jalur yang tampak “off track”.

Dampak dari pada itu, publik pun mendengarkan nada orkestra yang mengusik jiwa rakyat.

Setelah mencerna semua peristiwa, civil society dari berbagai elemen masyarakat bertekad mengawal skenario drama politik yang telah dan sedang diorkestrasikan oleh lembaga-lembaga negara.

Wakil Presiden the International Catholic Movement of the Intellectual and Cultural Affairs (ICMICA) Pax Romana Asia-Pacific, Paulinus Prasetyo Nurhardjanto dalam sambutan selamat datang mengajak seluruh lapisan umat Tuhan untuk berjalan bersama dalam semangat persaudaraan.

Mas Pras sapaan akrapnya yang juga pengurus Dewan Presidium Pusat Ikatan Sarjana Katolik Indonesia (ISKA) mengajak semua pihak untuk mengedepankan hati, lalu melihat berbagai berbagai masalah bangsa yang sedang bergulir dalam hidup berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.

Selain itu, masalah lingkungan yang merupakan paru-paru dunia itu perlu mendapatkan perhatian yang serius.

Sebanyak 8,5 juta jiwa umat Katolik Indonesia menggantungkan berbagai harapan kepada Sri Paus dan Takhta Suci di Vatikan.

Pada kunjungan kali ini Uskup Jorge Mario Bergoglio atau Paus Fransiskus juga akan berterima kasih dan memuji bangsa dan negara atas kerukunan yang dipelihara sehingga umat Katolik di Indonesia bisa mengekspresikan imannya pada berbagai sektor.

Segala kekurangan yang ada seperti praktik radikalisme dan terorisme tentu perlu mendapatkan perhatian khusus oleh pemerintah dan berbagai elemen masyarakat.

Momentum kunjungan Bapa Suci ini juga dapat dimaknai sebagai momen untuk mempersatukan para tokoh-tokoh bangsa.

Paus Fransiskus dikenal sebagai pemersatu dan pendamai dari berbagai konflik di dunia. Oleh karena itu, personalita dirinya yang tampak rendah hati, ramah, humoris, dan penuh cinta kasih itu bisa menjadi kekuatan ampuh untuk merangsang tergeraknya batin para tokoh-tokoh bangsa.

Bagi umat Katolik Indonesia, momentum bersejarah ini akan membangkitkan semangat umat untuk menghayati bahwa mereka adalah gereja dan diutus ke tengah-tengah dunia nyata untuk  mengaktualisasikan iman kekatolikannya.

Paus Fransiskus dalam bukunya yang berjudul Let Us Dream, the Path to the Future (2020:13) menuliskan, “We are born, beloved creatures of our Creator, God of love, into the world that has lived long before us. We belong to God and to one another, and we are part of creation.”

Penggalan kalimat di atas merupakan suatu panggilan agar kita menyadari bahwa kita adalah sesama ciptaan Tuhan yang harus saling mengasihi antara satu dengan yang lain.

Mengingat agenda dalam kunjungan kali ini terlihat padat dan ketat, melalui tulisan ini penulis hendak mengumandangkan aspirasi Orang Muda Katolik di Tanah Papua yang tertuang dalam buku yang berjudul Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua.

Dari ratusan harapan yang diabadikan dalam bentuk tulisan, salah satu doa dan harapannya ialah memohon Takhta Suci menunjuk seorang Imam Asli Papua sebagai seorang Uskup di Tanah Papua.

Syukur, akhirnya doa dan penantian yang panjang terjawab dalam diri Bapak Uskup Keuskupan Jayapura, Mgr. Yanuarius Teofilus Matopai You, Pr.

Uskup Orang Asli Papua pertama yang berasal dari Suku Mee. Umat Katolik di Tanah Papua meyakini penenjukkan Uskup Yan semata-mata atas dorongan iluminatif dari Roh Kudus kepada Sri Paus. Semoga ke depan akan ada Uskup Orang Asli Papua yang lain.

Theo van den Broek dalam prolog buku tersebut (2022: xix) menyatakan, “Buku Surat Cinta Domba Kepada Gembala di Tanah Papua ini mengajak segalah unsur pimpinan di dalam gereja untuk keluar dari ‘keamanan pelayanan ritual’ dan turun ke lapangan yang sebenarnya’.

Diajak untuk mengakui peranan besar setiap anggota umat dan membuka diri sambil mengambil bagian secara kreatif dalam perjuangan bersama yang tidak memarginalkan orang, namus justru merangkul kekayaan religius yang ada pada setiap orang yang rendah hati.”

Catatan Theo van den Broek di atas menggambarkan wajah Gereja pada saat ini. Oleh karena itu dengan kedatangan Bapa Paus Fransiskus, salah satu fan pesepak bola dunia Lionel Messi itu akan membakar semangat para gembala untuk hadir di tengah-tengah luka dan duka domba-dombanya.

Selain dari pada itu, salah satu catatan penting yang perlu menjadi perhatian Sri Paus adalah dampak buruk dari implementasi Doktrin Penemuan atau “Doctrine of Discovery.

Dokrin Penemuan tersebut lahir dari Dekrit Kepausan 500 tahun yang lalu (abad ke-15). Doktrin itu digunakan oleh Bangsa Eropa untuk merasionalisasi praktik kolonialisme terutama di luar benua Eropa.

Doktrin tersebut digunakan sebagai dasar agama, hukum dan politik oleh Kerajaan-kerajaan di Eropa untuk menduduki tanah suku-suku pribumi.

Doktrin ini telah digunakan selama berabad-abad oleh banyak negara terutama yang mewarisi sistem hukum Bangsa Eropa.

Hal ini perlu menjadi catatan untuk tujuan rekonsiliasi kepada suku-suku pribumi yang hak kesulungannya dirampas oleh negara.

Dan, perlu dipastikan dalam sistem hukum Indonesia apakah masih menggunakan hukum warisan Belanda yang substansinya membahas tentang ‘Discovery Doctrine’.

Pengakuan dari Sri Paus atas kesalahan ini perlu diakui demi penyembuhan intergenerational trauma dan perasaan inferior yang sudah berakar dan tertanam dalam kesadaran kolektif masyarakat yang pernah mengalami penjajahan.

Ini juga sebagai catatan kepada negara agar tidak semena-mena mengorbankan masyarkat adat yang rata-rata hidup bergantung dari alam (hutan).

Sri Paus sudah menyatakan public apology kepada Masyarakat Pribumi atau the First Nations di Kanada pada tahun 2022 atas desakan Orang Muda Katolik dari First Nations disana.

Sebelum Paus Fransiskus melakukan permohonan maaf kepada suku pribumi di Kanada, Orang Métis dan Inuit mereka mengalami perlakuan traumatis yang berkepanjangan oleh Gereja dan juga oleh pemerintah selama bertahun-tahun.

Hal ini bisa menjadi contoh untuk berbagai komunitas Masyarakat pribumi yang mengalami perlakuan buruk yang sama oleh para penjajah yang melegitimasi kedudukan dan perbudakannya dengan 3Gs mission (Gospel, Gold, Glory).

Meki Wetipo dalam buku Pastor Frans Lieshout, OFM Gembala dan Guru Bagi Papua (2020:528) mengungkapkan, “Orang Baliem Papua hidup dalam kehidupan yang baik, kehidupan sosial budaya yang terjalin lama nan harmonis yang mana di dalamnya banyak kegiatan-kegiatan adat sebagai ekspresi jati diri dan penghormatan kepada sang Khalik, Pencipta.

Pola pertanian dan peternakan berkembang sangat baik dan terbilang modern di zaman itu serta aspek kehidupan lainnya.

Pater Frans sudah merasakan dinamika itu semenjak 1963, ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Baliem. Keadaan ini dapat disimpulkan sebagai ‘ninewe akhuni’-kami orang sejati.”

Ungkapan yang diabadikan oleh figur muda yang cukup aktif dalam berbagai kegiatan sosial gereja di Keuskupan Jayapura itu menambahkan serpian catatan yang terpendam dalam sanubari dan jiwa umat Katolik di Tanah Papua dan tentu di daerah lain. 

Sosok Romo Frans Lieshout, OFM yang kisah penggembalaannya diabadikan dalam buku setebal 625 halaman tersebut merupakan kumpulan catatan kesaksian para pemimpin Gereja,  sahabat dan anak cucu Rohani almarhum.

Kisah hidup Alm. Romo Lieshout dan misionaris lainnya di Tanah Papua, yang secara total telah mengabdikan hidupnya bagi kaum papa, sekiranya dapat dijadikan inspirasi tidak hanya bagi umat Kristen tetapi juga untuk seluruh umat manusia yang mencintai nilai-nilai kemanusian.

Selamat datang Bapa Suci, Paus Fransiskus di Tanah Suku Betawi, Jakarta, Indonesia.(***)


Redaktur & Reporter : Friederich Batari

Silakan baca konten menarik lainnya dari JPNN.com di Google News

Terpopuler