jpnn.com - Pada 7 September 2004, 17 tahun yang lalu, dalam penerbangan Garuda Indonesia menuju Belanda, di atas ketinggian 40 ribu kaki di wilayah hukum Rumania, Munir Said Thalib, atau lebih dikenal sebagai Munir saja, dinyatakan meninggal dunia.
Ia ditemukan tertidur di atas kurisnya. Ketika dibangunkan, badannya sudah dingin tanpa nyawa.
BACA JUGA: Haris Azhar Yakin Kasus Pembunuhan Munir Bakal Tuntas Pada Era Jokowi?
Sesampai di Bandara Schiphol Amsterdam, Belanda, jasad Munir diautopsi, dan ketahuan bahwa di pencernaannya terdapat sisa racun arsenik.
Munir mati diracun dalam penerbangan transit dari Bandara Changi, Singapura. Jus jeruk yang diminumnya atas courtesy pilot Garuda Pollycarpus Budihari Prijanto, ternyata sudah dibubuhi racun maut.
BACA JUGA: Kabar Duka, Mantan Terpidana di Kasus Munir Meninggal Dunia
Pollycarpus ikut terbang bersama Munir, dan kemudian mendekati dan memperkenalkan diri. Polly mengundang Munir ke kursi eksekutif, menyodorinya minuman, dan membubuhkan arsenik yang sudah disiapkan sejak dari Jakarta.
Racun mematikan tanpa rasa dan warna itu diminum begitu saja oleh Munir tanpa curiga.
BACA JUGA: Munir, Oh Munir
Sepanjang penerbangan dari Singapura sampai Belanda, Munir mengalami diare parah dan muntah-muntah hebat.
Seorang dokter, yang kebetulan ada dalam penerbangan itu, mencoba mengobati Munir dengan stok obat seadanya yang dia bawa. Munir tidak terselamatkan.
Ketika sampai di Schiphol, ia tertidur, mulutnya mengeluarkan cairan, dan ketika dibangunkan badannya sudah dingin tak bernyawa.
Pollycarpus yang menjadi aktor dalam skenario pembunuhan jahat ini seharusnya dihukum mati.
Dia hanya dihukum 14 tahun. Setelah menjalani separuh hukumannya, Polly bebas.
Muchdi Purwopranjono, dikenal sebagai Muchdi PR, Wakil Ketua Badan Intelijen Negara (BIN) ketika itu, diadili. Namun, dinyatakan tidak bersalah dan bebas murni. Muchdi bebas, dan kasus pembunuhan Munir menjadi misteri sampai sekarang.
Munir meninggal dalam usia 39 tahun. Dalam usianya yang masih tergolong muda itu Munir menjadi sosok aktivis demokrasi yang ditakuti sekaligus dibenci.
Badannya yang kurus dan ringkih ternyata menyimpan kekuatan yang bisa mengancam kekuasaan dan oligarki. Tidak ada jalan lain, Munir harus disingkirkan dengan segala cara.
Hidup Munir sangat sederhana. Ke mana-mana dia lebih suka naik sepeda motor. Dari kota kecil Batu, Malang Jawa Timur, Munir menyelesaikan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang.
Ia kemudian aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya pada pertengahan 1990. Sejak bergabung dengan LBH semangat Munir sebagai aktivis demokrasi berkobar-kobar. Ia tidak kenal takut membela kepentingan hukum rakyat kecil.
Pada 1996 Munir hijrah ke Jakarta. Ketika itu situasi politik sudah semakin panas oleh gerakan demokratisasi para aktivis demokrasi dan mahasiswa.
Munir mendirikan Kontras, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan. Sebuah langkah yang benar-benar berani.
Orde Baru sedang berada pada masa-masa matang, dan Munir menantang kekuasaan secara terbuka.
Gerakan reformasi kemudian pecah dan mencapai puncak pada 1998. Banyak aktivis demokrasi yang hilang, ada yang diculik, ada yang menjadi korban penembakan, dan banyak yang hilang begitu saja tanpa jejak.
Penyair kuli bangunan, Widji Thukul, adalah salah satu saja dari aktivis yang hilang tanpa bekas.
Beberapa aktivis demokrasi diculik. Ada yang dibebaskan, tetapi banyak yang akhirnya hilang tidak ketahuan bekasnya.
Munir melakukan investigasi untuk membongkar kejahatan itu. Ada dugaan keterlibatan Tim Mawar yang dipimpin oleh Prabowo Subianto dalam salah satu operasi itu. Dugaan itu tetap menjadi dugaan, sampai akhirnya Munir dihabisi.
Munir mendirikan Kontras, tetapi kematiannya sendiri menjadi kontras. Munir seperti orang hilang yang kematiannya tetap misterius sampai sekarang. Para aktivis demokrasi tanpa kenal lelah menuntut pembunuhan ini diungkap tuntas.
Istri Munir, Suciwati, menjadi aktivis yang tidak kenal lelah menuntut pembongkaran pembunuhan suaminya.
Sebuah tim pencari fakta dibentuk di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Tim pencari fakta ini bekerja dengan sangat serius, dan akhirnya menghasilkan sebuah dokumen buku putih yang menjelaskan kronologi pembunuhan Munir.
Dokumen hasil kerja TPF itu sudah lebih dari cukup untuk mengungkap misteri pembunuhan Munir, sekaligus merunut siapa saja yang mungkin terlibat di dalamnya.
Sebuah dokumen rahasia negara yang penting ternyata hilang. Ironis sekali negeri ini.
Dalam momen pergantian kepresidenan dari SBY ke Jokowi, dokumen orang hilang ternyata hilang. Katanya disimpan di laci kepresidenan, tetapi bisa hilang.
Saling tuding, saling tuduh, sampai sekarang tidak terlihat ada niat politik yang serius untuk mengungkapnya.
Ironi negeri ini. Dokumen negara bisa hilang. Buron negara seperti Harun Masiku bisa hilang.
Kalau saja Munir masih hidup, dan ada yang melaporkan hilangnya Harun Masiku ke Kontras, pasti Munir akan bekerja keras membongkarnya.
Jangan-jangan Harun Masiku memang sudah benar-benar dihilangkan nyawanya, seperti Widji Thukul dan kawan-kawan.
Kasus-kasus korupsi bisa hilang, data presiden bisa hilang dicuri orang dan disebarkan di media sosial. Pantas saja muncul pertanyaan mengenai profesionalisme para aparatur negara.
Pantas saja muncul kecurigaan terhadap keseriusan negara dalam menangani problem-problem serius, seperti korupsi dan pembunuhan politik.
Kasus Munir menjadi bagian panjang dari daftar pembunuhan politik yang tidak terungkap.
Di Yogyakarta, seorang wartawan yang jujur dan sederhana mati terbunuh pada 1996. Wartawan itu, Fuad Muhammad Sjarifuddin, atau dikenal sebagai Udin, didatangi seorang laki-laki di rumahnya di Parangtritis. Laki-laki itu menghajar Udin habis-habisan sampai Udin pingsan.
Udin dilarikan ke rumah sakit, dirawat selama empat hari. Lukanya terlalu parah, nyawanya tidak terselamatkan. Udin dibunuh karena berita-berita yang ditulisnya di Harian Bernas mengungkap praktik korupsi di pemerintah daerah Bantul.
Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo, sangat gerah oleh pemberitaan yang dibuat Udin.
Alih-alih membongkar kasus pembunuhan, yang terjadi kemudian skenario yang dibuat-buat untuk mengaburkan kasus yang sebenarnya.
Dibuatlah skenario perselingkuhan antara istri Udin dengan seorang laki-laki bernama Dwi Sumaji.
Laki-laki ini kemudian mengakui bahwa dialah yang membunuh Udin atas motif perselingkuhan.
Namun, kemudian pengakuan itu dicabut semuanya. Dwi Sumaji mengaku bahwa dia dipaksa untuk mengaku sesuai skenario.
Ada oknum polisi yang memaksanya untuk menjalani skenario. Tujuannya untuk menyelamatkan Bupati Sri Roso Sudarmo dari tuduhan pembunuhan.
Para kolega Udin, wartawan-wartawan Jogja, berjuang keras untuk membongkar kejahatan ini. Tim pencari fakta sudah dibentuk dan hasilnya sudah diserahkan kepada polisi.
Namun, kasus ini tidak pernah secara serius dibongkar. Sampai sekarang kasus ini tetap misterius.
Sudah 25 tahun kasus Udin berlalu. Mungkin kasus ini sudah menjadi kasus yang kedaluwarsa untuk dibongkar, dan akan dibiarkan menjadi misteri selama-lamanya.
Kasus Munir juga bisa jadi mengalami nasib yang sama, dibiarkan berlarut-larut sampai menjadi kedaluwarsa. (*)
Redaktur : Adek
Reporter : Tim Redaksi